Langsung ke konten utama

Puisi-Puisi Lukman Mahbubi

Neng

I
Neng, segeralah ke laut.
Ambil dayung.
Pergi kemana pun kau mau.
Tapi kembalilah ke hatiku.

II
Neng, malam telah larut.
Kenapa masih bermain air?
Tak bisakah kau bawakan selimut untukku
sebagai bekal rindu dalam tidurku.

III
Neng, ingin kuceritakan pada pagi
tentang sunyi yang merajam malamku
karena rindu padamu dikekalkan waktu.

Sumenep, 01 Agustus 2012

Sajak Sebelum Subuh

Riuh seluruh
Tubuh berpeluh

Aku hadapkan wajah
Menghaturkan segala resah

Sebelum dan sesudahnya,
Aku pasrah: Allahu Akbar.

Sumenep, o1 Juli 2012

Senandung Kemerdekaan

Kemerdekaan itu gemuruh, Bunda
Dalam dada
Dalam labirin yang kau sebut Indonesia

Suara pecah
Darah kembali membuncah
Anak kecil kehilangan ayah
Ibunya berbaur dengan sampah

Lalu kemerdekaan ini milik siapa, bunda
Bila hati tak semerah warna bendera
Dan cinta tak putih bagai kainnya

Orang-orang berarak mengibarkan bendera
Sedang engkau, merayakannya dalam doa

Sumenep, Agustus 2012

Tanah Itu

Tanah itu mengekalkan kesedihanku, ibu
Disaat orang-orang mengasah airmata pisau
Wajahmu tergantung di daun mataku
Lalu mengembalikan aku ke masa lalu

Aku lahir dari keringat kuningmu
Dimana rahimmu yang semerbak bunga
Membuat hatiku rindu
Untuk kembali melukis tangisan pertama

Sebab, antara seru dan tawamu
Aku menemukan tulusnya pengorbanan

Tanah itu, ibu
Tanah tanah yang menyimpan gelisah
Saat aku masih menyecap manis susumu

Lalu kau membawaku berlari-lari di halaman
Sambil kau ajari aku mencumbui luka
: Segala yang yang tersisa dari senja
Adalah kekalnya cinta

Sumenep, 2011-2012

Malam Berkah

Neng, purnama sudah.
Buang resah.
Bakar di kolong sampah
Lalu kemarilah
Mari bertukar gelisah.

Neng, ini malam berkah.
Mari berbenah
Memperbaiki kisah
Yang pernah pecah

Neng, ini malam berkah.
Besok kamu puasa kan?
Maka besahurlah dengan cintaku.

Sumenep, 02 Agustus 2012

Tentang Penulis


Lukman Mahbubi, lahir pada tanggal 05 April 1986 di Pulau Ra’as, Sumenep. Menetap di PP. Annuqayah daerah Lubangsa Raya Blok A/17 Guluk-guluk Sumenep Madura 69463. No. HP: 082139199942/082330812231. Tulisan-tulisannya juga dipublikasikan di berbagai media yang ada di Indonesia. Di antaranya: Horison, Radar Madura (Jawa Pos Grup), Kabar Idonesia, Memorandum, Annida, Kompak, Muara, Dinamika, Yasmin, Harian Pagi Jogja, Fajar, dll. Karyanya juga terkumpul dalam: Tirta (2010), Reportase yang Gagal (MA 1 Annuqayah, 2010), Merpati Jingga (Balai Bahasa Surabaya, 2007), Risalah yang Membumi (COTOT, 2011), dll. Dan bukunya yang telah terbit: Monolog Terakhir (antologi cerpen), Riadhah Rerumputan (antologi puisi). Cerpennya yang berjudul Sepenggal Kejujuran Iblis, juga terkumpul dalam Antologi 12 Cerpen Pilihan ANNIDA-ONLINE Sebuah Kata Rahasia (SMG, 2010) bersama sebelas cerpenis lainnya. Selain itu, ia juga pernah aktif di berbagai komunitas. Diantaranya: Sanggar Andalas, Komunitas Penulis Lepas, Puitika, Bengkel Puisi Annuqayah, Ngarai Sastra Pesantren (NgaSaP), Dapur Arisan Sastra (DARSA), dls. Saat ini bergabung bersama Bengkel Puisi Swadaya Mandiri yang diasuh oleh Dimas Arika Miharja.

Karya-Karyanya juga bisa dijumpai di:
http://lelakipulauluka.blogspot.com
http://mtsnurulanisiyah.blogspot.com
http://lukmanmahbubi.wordpress.com

Rekening BNI cabang Madura, 0202807913, atas nama Lukman Mahbubi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...