
tak ada nyala api berkobar/tak ada bunyi-bunyi ledakan/tak juga rintihan/raga mengabu/ruh telah di sana/dalam bayangannya.
Begitulah saat diperabukan melukiskan ‘akhir kehidupan’ manusia, dengan tenang, sekaligus menyiratkan ‘keyakinan’ aku lirik bahwa si mati menjelma ruh, telah di sana/dalam bayangannya.
Sementara akhirnya merekam adegan pemberangkatan si mati sejak dimandikan dikafan/disholati dikebumikan/lubang dalam timbunan tanah//segala yang berbau dunia/ menguap sudah/tinggal bekasnya.
Kedua puisi ditempatkan berdampingan, 59 dan 60, seperti ingin menegaskan bahwa bagi sang penyair, persoalan ‘perjalanan akhir’ adalah paham utama yang jadi perhatiannya. Yang setiap pembahasannya (termasuk melalui puisi), adalah simpul-simpul identitasnya sebagai manusia Jawa (seperti diuraikan Levi-Straus tentang pola pikir anggota masyarakat dan budaya berdasarkan nilai yang dipahami, akan membentuk pengetahuan, cara berpikir, yang kemudian diperankan dan dikonkretkan dalam tindakan).
Pada sajak siang (48), paham utama itu digambarkan: tak ada rumusnya menepi/tak ada yang abadi/juga siang/juga musim/hidup berotasi pada porosnya yang abadi. Sang penyair memperlihatkan pengakuan aku lirik akan filosofi Jawa (Geertz), sangkan paraning dumadi, suwung awang-uwung, konsep hidup yang melingkar, berpusat pada satu titik, bahwa Tuhan adalah asal mula dan segala tuju kehidupan yang semula kosong.
Bahwa manusia dan alam adalah pengejawantahan bersama mikrokosmos (jagad cilik, dunia manusia) dan makrokosmos (jagad gedhe, dunia Tuhan). Saling meng-ada-kan, melingkupi dalam keselarasan. Saling melengkapi, hingga seseorang yang hidup selayaknya (selalu!) berpikir tentang kematian, karena kehidupan yang sekarang hanya sementara, menuju kehidupan abadi bersama (di dalam) Tuhan kelak.
Lalu, bagaimanakah sang penyair menggunakan peralatan puisinya untuk mengekspresikan pemahaman filosofisnya? Rima akhir (dengan skema aabb, abab, abba, atau abcd) digunakan meski tak maksimal. Begitupun rima vocal dan konsonan, (asonansi mendukung simbolik bunyi, aliterasi mempertahankan ritmik lirik) dimanfaatkan.
Metafora dan penjajaran makna diolah khusus dalam beberapa puisi panjangnya, seperti di pantai–1, di pantai–2, pengelana, dll. Sementara dalam puisi-puisi pendek, selain memanfaatkan rima, ia banyak memanfatkan tenaga asosiatif diksi yang digunakan untuk membangun suasana, dengan memakai citraan alam dan isinya, seperti bulan, rawa, malam, sampan, ikan, api, dll.
Semuanya ditujukan untk menguatkan pesan, yang merangkum keselarasan berbagi peran antara manusia, alam dan segala isinya, dalam lingkup bayangan Tuhan, yang jelas terlihat seperti pada puisiakar; (73): akar terus mengembang/menembus kedalaman tanah dalam hujan/yang terus tumpah, agar kelak ketika kemarau/batang dahan ranting daun tak kehausan.
Pesan yang sama: saling memberi, saling meng-ada-kan, hingga tak ada yang hilang, tak ada yang percuma, bahkan tak ada bencana ketika merapi meletus dan menimbulkan korban, terbaca pada puisi-puisi pendek seperti: merapi 1, merapi 2, merapi 3, merapi 4, merapi 5, dan merapi 7.
Namun, yang menyolok adalah kesengajaan Dharmadi ‘melanggar’ kaidah tata bahasa Indonesia yang mengatur pemakaian huruf kapital untuk judul dan permulaan kalimat. Dharmadi justru menggunakan huruf kecil untuk semua judul, kalimat dan diksi yang digunakan. Seolah ingin menegaskan, bahwa apa yang dilakukan hanyalah ‘perbuatan kecil, termasuk ‘menulis puisi’, sebagai suatu ‘keasyikan sementara’ di jagad kecil, melakoni kefanaannya.
Berbeda bila si penyair ingin menggambarkan makrokosmos, sang penguasa alam, atau Tuhan. Penggunaan huruf kapital menjadi penanda kehadiranNya secara langsung. Begitulah dalam puisisehabis persetubuhan (37) yang di sini saya kutip lengkap.
tak ada lagi dengus
tak ada lagi desah
tubuh basah
diraba kelaminnya;
“Engkaukah yang baru singgah?”
Persilangan jagad cilik dan jagad gedhe berlangsung, saat tubuh (melakukan hubungan seks) ada kalanya seakan terlepas dari kesadaran. Hingga ssat kesadaran itu kembali, muncullah pikiran yang menggemakan pertanyaan (akan kesatuan kedua jagad): “Engkaukah yang baru singgah?”
Ya, ada kalanya sang aku lirik dalam puisi-puisi Dharmadi yang dikerjakannya selama tiga tahun ini (2010, 2011, dan 2012)-menjulurkan pula keraguan bahkan sesekali menyeruakkan pertanyaan (dan gugatan). Misalnya, dalam gerimis (56); ketika aku lirik seperti melihat maut:…seperti/ada yang lewat, bayangannya nampak di kaca//. Aku lirik bertanya://siapa?//, namun tak ada jawab//mendingin udara.
Juga dalam semakin muram saja, hari (70, gugatan bahkan disampaikan gamblang,: apa makna sesungguhnya dari satu perjalanan ke/lain perjalanan, dari satu suasana ke lain suasana,/dalam waktu dan ruang, kalau akhirnya tiada. Sebuah pemikiran lengkap sesuai kaidah tata bahasa dan logika kalimat, yang digeber secara prosaik. Hingga jadi hentakan di ujung untaian larik-larik puisi sebelumnya, yang bernada rawan (artinya: satu puisi dalam dua gaya: puisi dan prosa).:
di rest area; secangkir kopi,/beberapa potong roti berkeju//semakin muram saja, hari/sebentar lagi senja.//hatiku lengang, berkumandang adhan;
Hentakan ini juga kembali menggema, tapi kali ini secara puitis pada puisi “terakhir” dalam kumpulan ini,di enampuluh empat tahun,//”tinggal sisa berapa lembar lagi umurku, gusti.” Pertanyaan bernada takluk, rendah hati (menggunakan citraan Jawa:gusti!), tanpa penegas “tanda tanya” yang terkadang mendesak itu.
Seraya sang penyair, memperlihatkan lagi paham yang diyakininya: keselarasan (yang melingkar) dengan alam semesta dan seisinya (termasuk puisi), dalam puisi pertama”kalau kau rindu aku:
kalau aku tak lagi ada//kau rindu mencariku/bukalah pintu puisiku//masuklah;//aku abadi di situ.
Bagi pembaca mana saja, sampai kapan pun, setelah ‘kematian pengarang’, puisi-puisi Dharmadi memang lebih dari cukup untuk melahirkan (dan memperkaya) pembacaan. Dan siapa tahu, memang menemukan “aku lirik” yang abadi di situ. Tulisan ini mengupayakannya, di antaranya.
________________
(Disampaikan dalam diskusi kumpulan puisi Dharmadi, kalau kau rindu aku, di Yin Hua Zou Xie, Jakarta, 21 Juli 2012).
Arie MP Tamba, penyair, novelis, novel terbarunya, “Anak Danau”, redaktur budaya harian Jurnal Nasional.
sumber: http://www.facebook.com/notes/dharmadi-penyair/akhirnya-saat-diperabukan-oleh-arie-mp-tamba/10151169476080540
Komentar
Posting Komentar