Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2009

pagi di atas tangga

aku memiliki tangga di rumahku tangga yang aneh : tangga yang cemburu dan menakutkan suatu pagi aku berdiri di atas tangga itu menatap kehidupan yang sedang merayap di bawahnya pemandangan di atas sini benar-benar lain : ruang keluarga menjelma padang belantara dimana para rerumput membunuh televisi— ruang tamu serupa lemonade yang kuminum malam kemarin saat berdiri di puncaknya : kau dapat mendengarnya bernapas : berat dan berderak— dan akhirnya dia berkata : “mengapa mereka belum juga berkarat?” “mengapa mereka belum juga melapuk?” aku tahu diatas sini— dia begitu mengginginkan napas kami yang kami sembunyikan di bawah bantal di ruang tamu aku punya tangga di rumah— tangga yang aneh : tangga yang cemburu tangga yang menyedihkan : karena setiap malam aku selalu mendengarnya benyanyi berderit di bawah kubangan bulan ah, bulan? aku kira itu darah ia berkata— karena warnanya begitu manis : bagai susu yang ada ...

pantai waktu

di sepanjang dermaga : dia berlabuh mengambil senja dan jeritan yang melayang di setiap nadi kanvas buminya : memanjang-memanjang : akhirnya lenyap di pagi jendela itu— di sepanjang dermaga : dia menggumam bertanya pada karang dan tirai waktu di pagi jendela itu— dermaga suram yang terbentang di bawah tempat tidurmu claire lawliet 2006

sereal tentang kemarin

“apa sereal hari ini ma?” aku bertanya pada ibuku. yang sedang menghadapi dapurnya : yang sedang bergayut pada keraguannya. dinding jam memukul-mukul mentari di keningku : mengingatkanku pada sarapan yang kemarin. sarapan yang kemarin lebih indah. ibuku membuat burger dengan saus tirai kamarku. membuatnya lain dari pizza apapun yang ada di utara tempat tidurmu. aku lapar. setelah bangun dari kesunyian mimpi, aku lapar. “apa sereal hari ini ma?” tanyaku lagi. iapun menoleh dari dapurnya : tangannya memegang detik waktu yang terus mengitari kipas angin yang menyala di depanku : walaupun udara di luar semanis roti yang di panggang dalam kebenciannya, tapi kipas itu terus menggumam : terus mengingau lalu susuku tumpah memantul di langit yang bersembunyi dalam nadiku “apa sereal hari ini ma?” namun ia tak menjawabku : hanya riak dan derit takdir saja yang jatuh dari kelopak jiwanya yuuna xiirou 2006

ruang senja

aku menghitung desahan daun kering di akhir musim di mana para pemburu telah pulang ke rimbunnya malam yang menggigil : memanggil pulang semua kawanan rusa ke balik jariku aku sedang bersedih : sebab darahku seringan jeritku, dan lukaku seindah gaunku aku menghitung desah daunan yang pulang ke hangatnya kopiku : ke nyamannya kamar tidurku kenapa dia menaruh kesedihan seperti itu? membiarkan ratap dan ringkik kuda menjelma menjadi asap pada puing-puing kota biarkan kematian mengepakkan sayapnya: menjemput senja yang timpang di sikumu tapi jangan biarkan keningmu memanjat dinding-dinding jam membuatnya menjadi remahan roti di piringku. pulanglah ke rumahku: ke lorong yang lebih rumit dari gelap ke waktu yang lebih tua dari wajah dedaunan claire lawliet 2006

musim dingin

aku menatap hujan lewat jendela kamarku langit begitu gelap dibawah kubah matahari ah, jangan mengajakku untuk menikmati malam sebab bulan masih menangis di kediamannya yang kumuh mengejar roti yang ada di meja kamarku aku mengambil kopi, susu, dan kelelahan kunikmati bersama kepakan sayap liar di halaman benakku ada yang menggigil di rumput mungkin derit air : mungkin derit jiwaku memanggil dalam lebatnya zaman yang kelabu jangan buka jendela itu! : teriaknya sebab hujan itu masih merangkak masih mengginginkan roti yang kini ada di dalam darahku aku masih memandangi hujan lewat jendela napasku namun kini hujan itu menjerit : bunuh aku ! bunuh semua rintik mimpi yang kubawa ke kardus ini sebab bumi ini hanya sebuah kardus yang dibuang oleh anakku sore kemarin maka malam ini masih mengingini rotiku roti yang kini ada di antara derasnya sejarah sejarah yang dibuang anakku kemarin sore maka aku masih memandangi hujan di dalam ...