Langsung ke konten utama

Dalam Amuk Musim (3)

Manusia bebas

menjelang tengah malam,apakah kita masih mampu menyambung bait demi bait puisi kegelisahan,kegelisahan akhir tahun pada lelaki rantau atau perempuan bunting yang lama ditinggal suaminya..bahwasanya lama sudah hidup yang lalu lalang di raut wajahmu,dan betapa terkapar jua sebagai letih kupu-kupu dalam hari yang terus memanjang selepas cita-cita bocahmu

sebenarnya aku hanya ingin mengajakmu sedikit berfikir tentang perih manusia
sebagaimana kita selalu berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya
begitu pun akhirnya sekolah Ebon jadi terbengkalai, seperti anak jalanan yang hampir tiap hari kita tatap dari ruangan sempit di sesak ibu kota

namun lepas dari itu, setidaknya kita masih dapat berfikir jauh sebagai manusia yang di merdekakan oleh sedikit keberuntungan..bagaimana pula aku menjadi pahlawan di tengah kegelisahan ini..atau sedikit bertawa canda,atau melankolia dalam bahasa gemuruh hutan-hutan beton.aku hanya laki-laki yang berjalan dalam cita-cita lama sambil mengukur perih,di mana aku telah terbiasa menjadi manusia bebas.tidak lagi kutatap foto pernikahan dengan nanap atau membatu di bawah pohon jambu itu

tapi yang ingin sekali kuhadirkan padamu yaitu bagaimana cara berwujud syukur,bagaimana tangan hitamku mengais kemungkinan hari depan dan hasratku untuk selalu menulis hidup dalam deburan puisi.
maka carikanlah aku sebuah ideologi yang patut kita perbincangkan bersama bocahmu
yang menegaskan bahwa hidup itu bagai mitologi abadi dan beribu-ribu bait puisi

sebab dengan puisi manusia itu bebas

---

Di pedalaman musim 1

di pedalaman musim dan mimpi-mimpi yang punah berserakan sebagai tangis dan sesal sebagai darah dan tanah.disitu teramat banyak manusia lewat mengusung diri sebagai pemimpi peradaban.mereka yang terlahir bersama takdir dan hidup bersama pendamping gaib

O'begitu maha luasnya kehidupan
aku saksikan berjuta manusia merangkak di tengah-tengah reruntuhan sejarah
menjelma seperti burung-burung yang hijrah disetiap pergantian musim
berterbangan selepas luka dan peristiwa ,selepas upacara-upacara mati dan realita yang rumit
lalu terus menuju negeri abadi bersama doa-doa musim dan rakaat penuh raut tangis

muara kalaban,21 Maret 2009


---


Di pedalaman musim 2

hanyalah ajal yang berkejaran dalam kubangan mimpi manusia
sebagaimana sejarah yang berlumuran darah dan dendam demi dendam terus ditanam membentuk sandiwara yang seolah-olah telah ditakdirkan untuk tertindas dan mati

di pedalaman musim,jerit-jerit takdir begitu menggaung
serupa gerbong-gerbong abad yang merangkai peristiwa demi peristiwa lampau
lalu hilang ke kejauhan di mata pemimpi tersisa
begitulah seumpama kau terlahir sebagai terasing di dunia baru ini
dan di luar diri tuhan telah mencatat dan menetapkan nasib atau takdir manusia

:sebagaimana asal,disitulah akan bermuara segala yang pernah berjalan sebagai makhluk yang terlahir dari sulbi-sulbi rahim hawa

muara kalaban,22 Maret 2009


---


Di pedalaman musim 3

barangkali hanya bisa kutatap masa yang lama lewat
seperti menatap senja di retak mata,yang mana pada karam usia kita mencair dari kebekuan-kebekuan masa lalu yang berlumpur dan berdebu
dari situ kekanakan getir melangkah sebagai manusia kecil yang dihanyutkan di sungai peradaban.lalu hilang entah kemana,tersesat di beribu-ribu negeri dengan hikayat hidup yang telah mengabur

sebagaimana perawi mengungkapkan;yang paling jauh itu adalah masa lalu dan yang paling dekat adalah ajal
begitu pula di pedalaman musim,kejadian masa silam takkan jauh beda dengan hari-hari depan.dan kita hanya tinggal melangkah saja pada garis-garis nasib yang telah ditetapkan oleh Tuhan

muara kalaban,23 Maret 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...