Langsung ke konten utama

Puisi-Puisi Emong Soewandi

INILAH KISAH LELAKI BERNAMA KHALID BIN WALID


di muktha,
menyeberang sudah di jembatan para suhada
tiga pencinta* yang dipenuhi rindu firdaus
lalu disambutnya panji janji-janji terdekap di dada
yang telah ia penuhi dengan cinta
pada seorang yatim teragung

di madinah
di madinah, safar tahun kedelapan hijriyah
dialah laki-laki yang kemarin berkata:
      “telah datang padamu, wahai muhammad
      yang menista hidup,
      yang hari lalunya menyembah batu di ka’bah
      aku, khalid bin walid
      telah datang ikrarkan keesaan
      telah datang akui engkau
      telah datang serahkan usia padamu
      dan sekarang,
      doakanlah aku”

maka di mekah,
wahai, namanya jadi semangat yang gemetar
pembela qurais itu telah meretakkan semua berhala
sedang tak ada lagi wanita
yang bisa lahirkan laki-laki seperti dia

-      ah, ia kini adalah maula kudus
       di hadapan pemilik semua kesombongan

lalu di muktha,
menjadi laju badai gurun kudanya
menguak perisai romawi membelantara
jadi tak lebih sebagai pelepah-pelepah kurma yang lapuk
sedang di yarmuk
bahkan telah jadi sia-sia semua baju besi watsani
karena balanya telah menjadi ababil
yang membuka jalan untuk jumpai kebahagian maut

sedang pedangnya pun terlalu tajam
pedangnya terlalu tajam
pedangnya terlalu tajam, sahabat
bukan, walau bukan batu pengasahnya
cuman lengan bajanya begitu kuat berayun membilah-bilah

syahid!
syahid!
syahid

tak ada mati untuk mayat-mayatmu
tak ada bumi rela membangkaikanmu

syahid!
dia berperang!
darah para pengawal kaisar di parthenon
tersiram pada jasadnya terlalu perkasa
dan angkuh menggenggam bendera
sedangkan takbirnya mendaras memanggil keabadian
sebuah kerajaan teraman untuk jalani hidup
dan menunggu hari berusai

syahid!
syahid!
syahid!
pencinta yang mencintai
pencintai yang bercinta

-      aku melihatnya
       aku melihatnya
       aku melihatnya
       dia muncul dari gumpalan pasir beterbangan
       yang beritanya cukup buat usaikan sirus sebagai kisah
       aku melihatnya!
       mengubah gurun jadi oasis untuk berladang zaitun
       tempat orang-orang bersuci untuk berangkat ke surga
       aku melihatnya
       aku melihatnya!

          kepahiang, 22 agustus 2007


* zaid bin haritsah, ja’far bin abi thalib dan abdullah bin rawahah



 


PERJANJIAN

nyatanya ingin adalah rentang yang putus
pada jarak yang dihimpun untuk jadi perjalanan
sedang lahan teka-teki menjuta depa rencana
lalu tiba-tiba saja
hari-hari kita menguning di ranting waktu

          kepahiang, 05 juli 2008




 


RINDU KITA NYATANYA CUMA KERINDUAN


pernah aku tak yakin jika kita tak akan bertemu
karena semua isyarat tak ada yang berikan tanda persimpangan
dan telah terus dikisahkan tentang hunian nyaman
          - padahal nyata itu adalah belantara tak berjejak
di atas bukit berjala kebun bunga
          - padahal nyata itu adalah jurang tak bertitian aman

mungkinkah kerinduan yang telah jadi pelabuhan
karena pencarian yang bosan berbincang dengan waktu

lalu di manakah kepastian perhentian akhir
tempat untuk menggulung layar
dan menusukkan titik ke jantung semua lelah

apakah mungkin menjawab dengan mencari tebing sepi
lalu berteriak sampai ombak terdiam
kemudian membujuknya untuk menguburkan angin

mari,
sudahi saja memanjakan angan
kita kembali kepada rindu
sebagai pelabuhan akhir segalanya

          kepahiang, 21 agustus 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...