manusiaku tak bisa bergerak lagi
rantai kemiskinan semakin kuat, semakin rapi
desas-desus menjadi api dan darah
hilang kebanggaan sebagai penghuni negeri ini
hanya meninggalkan sepotong angan-angan
untuk mereka yang selanjutnya
dan hanya lewat mimpi
negeri gemah ripah loh jinawi dapat ditemui
caci maki menjadi bahasa resmi
undang-undang tak lebih dari sekadar sepotong puisi
yang berisi harapan-harapan seperti palsu
begitu buruknyakah keadilan? kejujuran?
sampai malaikat maut saja
keluar dari lobang senapan
sampai anjing pun muak kepada kita yang manusia
apa arti kemerdekaan tanpa kedaulatan
apa arti kemerdekaan
jika kita masih menengadahkan tangan
menggadaikan harga diri,
menyerahkan upeti-upeti kepada penjajah baik hati
kita menjadi bangsa yang kerdil
nyatanya kita tak pernah ada penghargaan
kepada mereka yang berharap besar kepada kita
yang mengumpulkan tanah negeri ini sejengkal demi sejengkal
atau justru kita menganggap memerdekakan diri
adalah tindakan bodoh yang sia-sia?
sudah begitu jahatnyakah kebaikan
terlalu takutkah kita mati atas nama kebenaran
yang hanya menjadi pelengkap kosakata bahasa Indonesia
tak ada yang melarang kita untuk takut
bukankah takut itu manusiawi?
yang takut bukan hanya cecurut
hanya kepada tembok sekolah yang rapuh dan bisu
anak-anak kita akan bertanya tentang tanggung jawab
kemudian mendapat jawaban yang tidak bertanggung jawab
rentenir-rentenir dan tengkulak-tengkulak dunia itu
tersenyum sinis atas penghambaan ini
dan kita latah,
pinjam lagi, pinjam lagi
kita sudah terlalu malu untuk berkaca
terlalu banyak coreng moreng di wajah negeri kita
lalu kita menunggu mereka yang tak jelas siapa
membawa air suci pembasuh dosa yang tampak pada wajah kita
dan kita pura-pura tidak tahu
jika air itu adalah minyak yang mereka bawa dari ladang kita
yang bertaburan emas
lalu kita berikan separuh negeri kita
kepada mereka yang membawa air itu
sekadar ungkapan rasa terima kasih
dan sekali lagi, kita (pura-pura) lupa
bahwa negeri ini sah milik kita.
Ahsvakarsa, 2007.
rantai kemiskinan semakin kuat, semakin rapi
desas-desus menjadi api dan darah
hilang kebanggaan sebagai penghuni negeri ini
hanya meninggalkan sepotong angan-angan
untuk mereka yang selanjutnya
dan hanya lewat mimpi
negeri gemah ripah loh jinawi dapat ditemui
caci maki menjadi bahasa resmi
undang-undang tak lebih dari sekadar sepotong puisi
yang berisi harapan-harapan seperti palsu
begitu buruknyakah keadilan? kejujuran?
sampai malaikat maut saja
keluar dari lobang senapan
sampai anjing pun muak kepada kita yang manusia
apa arti kemerdekaan tanpa kedaulatan
apa arti kemerdekaan
jika kita masih menengadahkan tangan
menggadaikan harga diri,
menyerahkan upeti-upeti kepada penjajah baik hati
kita menjadi bangsa yang kerdil
nyatanya kita tak pernah ada penghargaan
kepada mereka yang berharap besar kepada kita
yang mengumpulkan tanah negeri ini sejengkal demi sejengkal
atau justru kita menganggap memerdekakan diri
adalah tindakan bodoh yang sia-sia?
sudah begitu jahatnyakah kebaikan
terlalu takutkah kita mati atas nama kebenaran
yang hanya menjadi pelengkap kosakata bahasa Indonesia
tak ada yang melarang kita untuk takut
bukankah takut itu manusiawi?
yang takut bukan hanya cecurut
hanya kepada tembok sekolah yang rapuh dan bisu
anak-anak kita akan bertanya tentang tanggung jawab
kemudian mendapat jawaban yang tidak bertanggung jawab
rentenir-rentenir dan tengkulak-tengkulak dunia itu
tersenyum sinis atas penghambaan ini
dan kita latah,
pinjam lagi, pinjam lagi
kita sudah terlalu malu untuk berkaca
terlalu banyak coreng moreng di wajah negeri kita
lalu kita menunggu mereka yang tak jelas siapa
membawa air suci pembasuh dosa yang tampak pada wajah kita
dan kita pura-pura tidak tahu
jika air itu adalah minyak yang mereka bawa dari ladang kita
yang bertaburan emas
lalu kita berikan separuh negeri kita
kepada mereka yang membawa air itu
sekadar ungkapan rasa terima kasih
dan sekali lagi, kita (pura-pura) lupa
bahwa negeri ini sah milik kita.
Ahsvakarsa, 2007.
Komentar
Posting Komentar