Langsung ke konten utama

Puisi Agit Yogi Subandi - Anxiety Of Goose

Anxiety of Goose

MIMPI LAMA

I
seperti lanskap yang merunut silsilah,
kusaksikan samar hijau dedaunan
dari bukit rendah

yang akan melenyapkan tubuhku
dari serentang tetirah

musim gugur abadi
rangkaian ranting mulai melunas janji
pada tanah berbatu

kunanti musim semi
seperti penantian seorang kekasih di sebuah taman
di mana angin bersiul mengibas gugusan rambut, dan
mengayun tiga pohon akasia

penggembala kerbau bersuling bambu
berteduh di semak perdu
memandang penuh hayat
pada anak-anak yang bersenda gurau
di rerumputan setengah kering

kakinya terluka

berdarah

kemudian, orang di dusun bergegas ke kota
satu-persatu di sengau dangau kenangan dibenam

lalu pergi

aku pun turut pergi


II
di kota ini, ketika matahari gogrok di gedung-gedung tua, suara riuh membentur tubuhku. ada raung pilu di pasar.

di bawah pohon ara, aku termangu. mencari diri yang hilang di balik percakapan dan klakson kendaraan lalu lalang.

sesekali jalanan itu mengisahkan sesuatu. entah tentang apa. mungkin tentang dirinya yang sabar.

mobil membisu. angin memberi sesayup ilustrasi. kemudian mengayun-ayunkan pepohonan.

waktu seolah berhenti. ada yang berdenging di telingaku.

tapi, lelaki dan perempuan remaja yang berjalan, merubah nama menjadi angka-angka. menyumbat telinga dengan lagu pop.

asih dari telepon genggam dan benda-benda.

ada pula yang mengatakan luka.

tubuh limbung lantaran asmara.

pada malam, mereka bentuk wajah dari lampu merkuri. tanpa percakapan. kemudian meliuk-liuklah tubuh di bawah tebaran warna-warni lampu. begitu juga besok dan seterusnya.

menjelang subuh, segala sesak dan riuh sembunyi di dalam rumah gelap, mematung mereka di ranjang.

orang yang bergegas dari dusun, membenamkan kenangan di sengau dangau bersama segala risau


III
aku kembali ke bukit rendah
yang sebentar lagi akan melenyapkan tubuhku
dari tetirah panjang

kepala mulai dingin,
pelan-pelan mengupas hikayat
tentang kenangan yang mereka kubur di dangau

di situlah seekor angsa menghanyutkan ingatan
kepada perempuan mandi dan mencuci di tepian

ah, seekor angsa yang gelisah
ia terus berenang menuju tempat nun jauh


SESUATU YANG MENGENDAP

ternyata aku mimpi. di dusun ini orang tak bergegas. mereka tetap menanam padi yang diusik angin bertubi.

para penggembala meniup seruling. anak-anak menari di depanya. tanpa terluka.

angsa yang di dalam mimpiku pergi menuju kanal, ternyata bersimpuh dekat penggembala itu.

dengan wajah duka.

lantas ia menyapa. minta ditulis dalam puisi. aku terhenyak. katanya:

“tak ada yang melihatku lagi di sungai. manusia berdesakan di televisi.

dulu, sepasang kekasih duduk di pinggir sungai. mencari gigil asmara. mengenang malka dan jazirah. tapi, kini asmaraloka di dalam telepon genggam. aku kehilangan diri di tiap jam.

tolong, katakan pada mereka...

jika kota sesak oleh benda, maka datanglah ke mari. aku akan bernyanyi. laiknya angsa pada manusia. jika asmara terlunta, datanglah ke pinggir sungai. akan kuajak bicara tentang pohon, daun, reranting jatuh dan diriku. bentuklah sesukamu.

tolong katakan pada mereka..

katakan...”


EPILOG

tahun-tahun berlalu
kutulis pesan angsa
lewat tiga fragmen soneta
di atas kertas warna sepia

sejak itu,
musim semi
menyapa pohon ranggas

mungkin sebagian kata menguar
menyentuh daun yang mulai hijau
sebagian lagi menyentuh dada memar

kau tak kan mengenal angsa itu lagi
ia telah lindap di balik rumput basah
maka izinkan aku perkenalkan padamu
lewat sajak di tanganmu



(Tanjungkarang, April 2008)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...