Anxiety of Goose
MIMPI LAMA
I
seperti lanskap yang merunut silsilah,
kusaksikan samar hijau dedaunan
dari bukit rendah
yang akan melenyapkan tubuhku
dari serentang tetirah
musim gugur abadi
rangkaian ranting mulai melunas janji
pada tanah berbatu
kunanti musim semi
seperti penantian seorang kekasih di sebuah taman
di mana angin bersiul mengibas gugusan rambut, dan
mengayun tiga pohon akasia
penggembala kerbau bersuling bambu
berteduh di semak perdu
memandang penuh hayat
pada anak-anak yang bersenda gurau
di rerumputan setengah kering
kakinya terluka
berdarah
kemudian, orang di dusun bergegas ke kota
satu-persatu di sengau dangau kenangan dibenam
lalu pergi
aku pun turut pergi
II
di kota ini, ketika matahari gogrok di gedung-gedung tua, suara riuh membentur tubuhku. ada raung pilu di pasar.
di bawah pohon ara, aku termangu. mencari diri yang hilang di balik percakapan dan klakson kendaraan lalu lalang.
sesekali jalanan itu mengisahkan sesuatu. entah tentang apa. mungkin tentang dirinya yang sabar.
mobil membisu. angin memberi sesayup ilustrasi. kemudian mengayun-ayunkan pepohonan.
waktu seolah berhenti. ada yang berdenging di telingaku.
tapi, lelaki dan perempuan remaja yang berjalan, merubah nama menjadi angka-angka. menyumbat telinga dengan lagu pop.
asih dari telepon genggam dan benda-benda.
ada pula yang mengatakan luka.
tubuh limbung lantaran asmara.
pada malam, mereka bentuk wajah dari lampu merkuri. tanpa percakapan. kemudian meliuk-liuklah tubuh di bawah tebaran warna-warni lampu. begitu juga besok dan seterusnya.
menjelang subuh, segala sesak dan riuh sembunyi di dalam rumah gelap, mematung mereka di ranjang.
orang yang bergegas dari dusun, membenamkan kenangan di sengau dangau bersama segala risau
III
aku kembali ke bukit rendah
yang sebentar lagi akan melenyapkan tubuhku
dari tetirah panjang
kepala mulai dingin,
pelan-pelan mengupas hikayat
tentang kenangan yang mereka kubur di dangau
di situlah seekor angsa menghanyutkan ingatan
kepada perempuan mandi dan mencuci di tepian
ah, seekor angsa yang gelisah
ia terus berenang menuju tempat nun jauh
SESUATU YANG MENGENDAP
ternyata aku mimpi. di dusun ini orang tak bergegas. mereka tetap menanam padi yang diusik angin bertubi.
para penggembala meniup seruling. anak-anak menari di depanya. tanpa terluka.
angsa yang di dalam mimpiku pergi menuju kanal, ternyata bersimpuh dekat penggembala itu.
dengan wajah duka.
lantas ia menyapa. minta ditulis dalam puisi. aku terhenyak. katanya:
“tak ada yang melihatku lagi di sungai. manusia berdesakan di televisi.
dulu, sepasang kekasih duduk di pinggir sungai. mencari gigil asmara. mengenang malka dan jazirah. tapi, kini asmaraloka di dalam telepon genggam. aku kehilangan diri di tiap jam.
tolong, katakan pada mereka...
jika kota sesak oleh benda, maka datanglah ke mari. aku akan bernyanyi. laiknya angsa pada manusia. jika asmara terlunta, datanglah ke pinggir sungai. akan kuajak bicara tentang pohon, daun, reranting jatuh dan diriku. bentuklah sesukamu.
tolong katakan pada mereka..
katakan...”
EPILOG
tahun-tahun berlalu
kutulis pesan angsa
lewat tiga fragmen soneta
di atas kertas warna sepia
sejak itu,
musim semi
menyapa pohon ranggas
mungkin sebagian kata menguar
menyentuh daun yang mulai hijau
sebagian lagi menyentuh dada memar
kau tak kan mengenal angsa itu lagi
ia telah lindap di balik rumput basah
maka izinkan aku perkenalkan padamu
lewat sajak di tanganmu
(Tanjungkarang, April 2008)
MIMPI LAMA
I
seperti lanskap yang merunut silsilah,
kusaksikan samar hijau dedaunan
dari bukit rendah
yang akan melenyapkan tubuhku
dari serentang tetirah
musim gugur abadi
rangkaian ranting mulai melunas janji
pada tanah berbatu
kunanti musim semi
seperti penantian seorang kekasih di sebuah taman
di mana angin bersiul mengibas gugusan rambut, dan
mengayun tiga pohon akasia
penggembala kerbau bersuling bambu
berteduh di semak perdu
memandang penuh hayat
pada anak-anak yang bersenda gurau
di rerumputan setengah kering
kakinya terluka
berdarah
kemudian, orang di dusun bergegas ke kota
satu-persatu di sengau dangau kenangan dibenam
lalu pergi
aku pun turut pergi
II
di kota ini, ketika matahari gogrok di gedung-gedung tua, suara riuh membentur tubuhku. ada raung pilu di pasar.
di bawah pohon ara, aku termangu. mencari diri yang hilang di balik percakapan dan klakson kendaraan lalu lalang.
sesekali jalanan itu mengisahkan sesuatu. entah tentang apa. mungkin tentang dirinya yang sabar.
mobil membisu. angin memberi sesayup ilustrasi. kemudian mengayun-ayunkan pepohonan.
waktu seolah berhenti. ada yang berdenging di telingaku.
tapi, lelaki dan perempuan remaja yang berjalan, merubah nama menjadi angka-angka. menyumbat telinga dengan lagu pop.
asih dari telepon genggam dan benda-benda.
ada pula yang mengatakan luka.
tubuh limbung lantaran asmara.
pada malam, mereka bentuk wajah dari lampu merkuri. tanpa percakapan. kemudian meliuk-liuklah tubuh di bawah tebaran warna-warni lampu. begitu juga besok dan seterusnya.
menjelang subuh, segala sesak dan riuh sembunyi di dalam rumah gelap, mematung mereka di ranjang.
orang yang bergegas dari dusun, membenamkan kenangan di sengau dangau bersama segala risau
III
aku kembali ke bukit rendah
yang sebentar lagi akan melenyapkan tubuhku
dari tetirah panjang
kepala mulai dingin,
pelan-pelan mengupas hikayat
tentang kenangan yang mereka kubur di dangau
di situlah seekor angsa menghanyutkan ingatan
kepada perempuan mandi dan mencuci di tepian
ah, seekor angsa yang gelisah
ia terus berenang menuju tempat nun jauh
SESUATU YANG MENGENDAP
ternyata aku mimpi. di dusun ini orang tak bergegas. mereka tetap menanam padi yang diusik angin bertubi.
para penggembala meniup seruling. anak-anak menari di depanya. tanpa terluka.
angsa yang di dalam mimpiku pergi menuju kanal, ternyata bersimpuh dekat penggembala itu.
dengan wajah duka.
lantas ia menyapa. minta ditulis dalam puisi. aku terhenyak. katanya:
“tak ada yang melihatku lagi di sungai. manusia berdesakan di televisi.
dulu, sepasang kekasih duduk di pinggir sungai. mencari gigil asmara. mengenang malka dan jazirah. tapi, kini asmaraloka di dalam telepon genggam. aku kehilangan diri di tiap jam.
tolong, katakan pada mereka...
jika kota sesak oleh benda, maka datanglah ke mari. aku akan bernyanyi. laiknya angsa pada manusia. jika asmara terlunta, datanglah ke pinggir sungai. akan kuajak bicara tentang pohon, daun, reranting jatuh dan diriku. bentuklah sesukamu.
tolong katakan pada mereka..
katakan...”
EPILOG
tahun-tahun berlalu
kutulis pesan angsa
lewat tiga fragmen soneta
di atas kertas warna sepia
sejak itu,
musim semi
menyapa pohon ranggas
mungkin sebagian kata menguar
menyentuh daun yang mulai hijau
sebagian lagi menyentuh dada memar
kau tak kan mengenal angsa itu lagi
ia telah lindap di balik rumput basah
maka izinkan aku perkenalkan padamu
lewat sajak di tanganmu
(Tanjungkarang, April 2008)
Komentar
Posting Komentar