Zahwa
Kupikir, aku tak kan singgah di rumahmu, di awal kedatanganku...
Dulu, acap kuterjemahkan wajah-wajah perempuan. Seperti peramal-peramal yang pandai menebak takdir dari garis tangan. Tapi ketika bersamamu, aku hanya menjelma air sumur yang meluap menuju siring. Memuntahkan gelisah yang terlunta.
Akan ke mana kita sore ini, Zahwa?
Kau tersenyum...
Disitulah aku mulai bisa menentramkan pertanyaan-pertanyaan kaku untukmu— kebun-kebun yang gaduh oleh angin, perlahan berhenti. Mungkin sempat terlintas di benakmu, yang mana kauisyaratkan dengan sekilas tatap. Ada keheningan di binar wajahmu: seperti hutan-hutan di pagi hari yang lembab oleh embun.
Di dalam matamu, kaugantungkan tanda-tanda yang bebas untuk kutafsirkan. Menggugus, membentuk pusaran di dada.
hal apa yang bisa mempertemukan kau dan aku kembali, sayang? Sementara itu, angka-angka pada jam tangan, membesitkan sebuah janji. Betapa kauakan hilang setelah tikungan pertama, dan akan lebih hilang lagi setelah kutemui bukit-bukit rendah.
Barangkali, tak kaukenal lagi wajahku yang penuh bercak debu, meski pernah matamu dan mataku, saling bertemu. Mungkin juga tak kauingat tanganku yang terjaga dari semburat matahari, walau pernah mengelus wajah dan rambutmu sebelum kautidur.
Huh, diam-diam kaumengendap di dalam dadaku: laiknya kembang gula yang kaukunyah-kunyah semalam, melebur di dalam lambung.
Kupikir, aku tak kan berlama-lama di rumahmu...
Nyatanya, senja kulewati bersamamu. Ini adalah senja pertama bagi kita berdua, bukan? Ah, kaumasih terlalu hijau untuk tersentuh cahaya bulan. Tapi kaumemaksa ke pelataran dan minta diambilkan bulan. Supaya tak ada yang memiliki bulan selain kau. Padahal, tak pernah kauabadikan gambar bulan di langit-langit kamarmu.
Nanti, kalau bulan kita ambil, bagaimana dengan yang lain? Tentu mereka akan bersidekap dalam gelap. Lihatlah beranda di seberang jalan, ada sepasang kekasih sedang menggegaskan hampa malam. Mungkin tak dapat ia lihat lesung pipi perempuannya itu. Biarkan bulan pada tempatnya, Zahwa, biarkan ada yang bahagia dalam remangnya. Biarkan pula bulan tidur di matamu.
Kaungungun dengan bias cahaya di wajah. Ada yang pecah di lingkar matamu, menyerpih dan berkilau. Kemudian, kaukugoda dengan ribuan sentuhan ujung telunjuk. Ih, Om nakal...
dan akhirnya, kaumelupakan soal bulan.
Kupikir, aku tak kan pergi dari rumahmu...
Ternyata, segalanya usai, setelah kutemui tikungan dan perbukitan pertama.
(Way Jepara-Bandarlampung, Desember 2007)
Kupikir, aku tak kan singgah di rumahmu, di awal kedatanganku...
Dulu, acap kuterjemahkan wajah-wajah perempuan. Seperti peramal-peramal yang pandai menebak takdir dari garis tangan. Tapi ketika bersamamu, aku hanya menjelma air sumur yang meluap menuju siring. Memuntahkan gelisah yang terlunta.
Akan ke mana kita sore ini, Zahwa?
Kau tersenyum...
Disitulah aku mulai bisa menentramkan pertanyaan-pertanyaan kaku untukmu— kebun-kebun yang gaduh oleh angin, perlahan berhenti. Mungkin sempat terlintas di benakmu, yang mana kauisyaratkan dengan sekilas tatap. Ada keheningan di binar wajahmu: seperti hutan-hutan di pagi hari yang lembab oleh embun.
Di dalam matamu, kaugantungkan tanda-tanda yang bebas untuk kutafsirkan. Menggugus, membentuk pusaran di dada.
hal apa yang bisa mempertemukan kau dan aku kembali, sayang? Sementara itu, angka-angka pada jam tangan, membesitkan sebuah janji. Betapa kauakan hilang setelah tikungan pertama, dan akan lebih hilang lagi setelah kutemui bukit-bukit rendah.
Barangkali, tak kaukenal lagi wajahku yang penuh bercak debu, meski pernah matamu dan mataku, saling bertemu. Mungkin juga tak kauingat tanganku yang terjaga dari semburat matahari, walau pernah mengelus wajah dan rambutmu sebelum kautidur.
Huh, diam-diam kaumengendap di dalam dadaku: laiknya kembang gula yang kaukunyah-kunyah semalam, melebur di dalam lambung.
Kupikir, aku tak kan berlama-lama di rumahmu...
Nyatanya, senja kulewati bersamamu. Ini adalah senja pertama bagi kita berdua, bukan? Ah, kaumasih terlalu hijau untuk tersentuh cahaya bulan. Tapi kaumemaksa ke pelataran dan minta diambilkan bulan. Supaya tak ada yang memiliki bulan selain kau. Padahal, tak pernah kauabadikan gambar bulan di langit-langit kamarmu.
Nanti, kalau bulan kita ambil, bagaimana dengan yang lain? Tentu mereka akan bersidekap dalam gelap. Lihatlah beranda di seberang jalan, ada sepasang kekasih sedang menggegaskan hampa malam. Mungkin tak dapat ia lihat lesung pipi perempuannya itu. Biarkan bulan pada tempatnya, Zahwa, biarkan ada yang bahagia dalam remangnya. Biarkan pula bulan tidur di matamu.
Kaungungun dengan bias cahaya di wajah. Ada yang pecah di lingkar matamu, menyerpih dan berkilau. Kemudian, kaukugoda dengan ribuan sentuhan ujung telunjuk. Ih, Om nakal...
dan akhirnya, kaumelupakan soal bulan.
Kupikir, aku tak kan pergi dari rumahmu...
Ternyata, segalanya usai, setelah kutemui tikungan dan perbukitan pertama.
(Way Jepara-Bandarlampung, Desember 2007)
Komentar
Posting Komentar