Tahukah engkau apa itu takut
Pernahkah engkau mendengar tentang ketakutan
Aku pernah melihatnya sekali. Ketika orang-orang Aceh berlari terseret-seret dengan seratus ribu kebingungan sambil menjinjing harta seadanya dan menggendong Cut Nya' Dien-Cut Nya' Dien kecil yang menangis karena suara letupan bedil
Tak bisa kubedakan. Mana air mata mana air darah mana air kencing mana air tanah mana air liur mana air sungai mana air mani mana air hujan
Sebab semua air seketika menjelma menjadi kuburan
Aku pernah melihatnya sekali. Ketika anak-anak Timor terbirit-birit bersembunyi dibalik dinding-dinding gereja dan pepohonan dengan keringat disekujur badan sambil memeluk buku sekolah dan bibel di dada
Melihat abangnya saling bunuh hanya karena kata-kata pro integrasi pro kemerdekaan
Tak bisa kubedakan. Mana adiknya mana abangnya mana bapaknya mana kakeknya mana pamannya mana tentaranya mana pendetanya mana kyainya
Sebab semua orang seketika berubah menjadi Hercules
Engkau tahu apa itu takut
Engkau pernah mendengar tentang ketakutan
Sebab aku pernah melihatnya sekali. Ketika orang-orang Tionghoa terbatuk-batuk dengan kulit muka kian pucat sambil mengemasi pakaian dan menggenggam kartu kredit yang hampir hangus terbakar karena api kesenjangan membakar toko-tokonya
Tak bisa kusebutkan. Apa mereka nasionalis atau ekstrimis atau komunis atau sosialis atau marxis atau reformis atau pengemis atau kapitalis atau ekstradis
Sebab semua istilah seketika menjelma menjadi senjata
Sebab aku pernah melihatnya sekali. Ketika pemuda-pemuda Ambon terisak-isak sehabis membaca surat kabar sambil bertanya kesana-kemari dan bersiap-siap pulang kampung karena ibunya hilang entah dimana
Tak mampu kupilah. Mana sedih mana khawatir mana bimbang mana ragu mana cinta mana rindu mana resah mana kecewa mana amarah mana benci mana kesal mana sesal
Sebab semua rasa seketika berubah menjadi teh tanpa gula
Kita tahu apa itu takut
Kita pernah mendengar tentang ketakutan
Dan aku pernah melihatnya sekali. Ketika mahasiswa terengah-engah kabur menuju kampus-kampusnya dengan kening berdarah sambil mengusap-usap mata yang perih dan mengingat-ingat ajaran dosennya tentang bagaimana menghadapi panser tentara yang begitu pendiam karena kehilangan mata hati
Tak tega kusebutkan. Mana anjing mana kucing mana tikus mana kodok mana kerbau mana badak mana buaya mana kancil mana babi mana coro mana komodo mana bunglon mana cacing
Sebab semua hewan seketika menyamar menjadi nabi
Kini tahulah kita apa itu takut
Kini telah kita dengar tentang ketakutan
Karena kita pernah melihatnya sekali. Ketika orang-orang tua terbata-bata membaca Al Quran dengan lidah kaku diatas sajadah yang tetap baru serta menghafal doa-doa taubat yang panjang karena bunga kamboja melambai-lambaikan senyumnya
Susah dicermati. Apa mereka kyai atau menteri atau konglomerat atau raja atau artis atau bupati atau pengusaha atau petani atau presiden atau kacung atau pelacur atau jendral atau babu atau germo
Sebab semuanya ngumpul dan menamakan dirinya pengemis
Ah syukurlah kita tahu apa itu takut
Untung kita pernah mendengar tentang ketakutan
Dan kita pernah melihatnya sekali. Ketika orang-orang kampung duduk terkantuk-kantuk di depan tv dengan perut berisi angin sambil menyaksikan wakil-wakilnya berpidato berjam-jam berapi-api dan berbelit-belit seperti ular yang gusar karena ingin terlihat sakti mandraguna laksna gatotkaca
Tak bisa kita menerka. Mana habibie mana mega mana amien mana gus dur mana sultan mana bintang mana yusril mana muchtar mana budiman mana akbar mana ghalib mana buyung
Sebab semuanya sekekita berubah menjadi joshua...
KutaiKartanegara, 29 Juli 1999
D. Sudarya
Pernahkah engkau mendengar tentang ketakutan
Aku pernah melihatnya sekali. Ketika orang-orang Aceh berlari terseret-seret dengan seratus ribu kebingungan sambil menjinjing harta seadanya dan menggendong Cut Nya' Dien-Cut Nya' Dien kecil yang menangis karena suara letupan bedil
Tak bisa kubedakan. Mana air mata mana air darah mana air kencing mana air tanah mana air liur mana air sungai mana air mani mana air hujan
Sebab semua air seketika menjelma menjadi kuburan
Aku pernah melihatnya sekali. Ketika anak-anak Timor terbirit-birit bersembunyi dibalik dinding-dinding gereja dan pepohonan dengan keringat disekujur badan sambil memeluk buku sekolah dan bibel di dada
Melihat abangnya saling bunuh hanya karena kata-kata pro integrasi pro kemerdekaan
Tak bisa kubedakan. Mana adiknya mana abangnya mana bapaknya mana kakeknya mana pamannya mana tentaranya mana pendetanya mana kyainya
Sebab semua orang seketika berubah menjadi Hercules
Engkau tahu apa itu takut
Engkau pernah mendengar tentang ketakutan
Sebab aku pernah melihatnya sekali. Ketika orang-orang Tionghoa terbatuk-batuk dengan kulit muka kian pucat sambil mengemasi pakaian dan menggenggam kartu kredit yang hampir hangus terbakar karena api kesenjangan membakar toko-tokonya
Tak bisa kusebutkan. Apa mereka nasionalis atau ekstrimis atau komunis atau sosialis atau marxis atau reformis atau pengemis atau kapitalis atau ekstradis
Sebab semua istilah seketika menjelma menjadi senjata
Sebab aku pernah melihatnya sekali. Ketika pemuda-pemuda Ambon terisak-isak sehabis membaca surat kabar sambil bertanya kesana-kemari dan bersiap-siap pulang kampung karena ibunya hilang entah dimana
Tak mampu kupilah. Mana sedih mana khawatir mana bimbang mana ragu mana cinta mana rindu mana resah mana kecewa mana amarah mana benci mana kesal mana sesal
Sebab semua rasa seketika berubah menjadi teh tanpa gula
Kita tahu apa itu takut
Kita pernah mendengar tentang ketakutan
Dan aku pernah melihatnya sekali. Ketika mahasiswa terengah-engah kabur menuju kampus-kampusnya dengan kening berdarah sambil mengusap-usap mata yang perih dan mengingat-ingat ajaran dosennya tentang bagaimana menghadapi panser tentara yang begitu pendiam karena kehilangan mata hati
Tak tega kusebutkan. Mana anjing mana kucing mana tikus mana kodok mana kerbau mana badak mana buaya mana kancil mana babi mana coro mana komodo mana bunglon mana cacing
Sebab semua hewan seketika menyamar menjadi nabi
Kini tahulah kita apa itu takut
Kini telah kita dengar tentang ketakutan
Karena kita pernah melihatnya sekali. Ketika orang-orang tua terbata-bata membaca Al Quran dengan lidah kaku diatas sajadah yang tetap baru serta menghafal doa-doa taubat yang panjang karena bunga kamboja melambai-lambaikan senyumnya
Susah dicermati. Apa mereka kyai atau menteri atau konglomerat atau raja atau artis atau bupati atau pengusaha atau petani atau presiden atau kacung atau pelacur atau jendral atau babu atau germo
Sebab semuanya ngumpul dan menamakan dirinya pengemis
Ah syukurlah kita tahu apa itu takut
Untung kita pernah mendengar tentang ketakutan
Dan kita pernah melihatnya sekali. Ketika orang-orang kampung duduk terkantuk-kantuk di depan tv dengan perut berisi angin sambil menyaksikan wakil-wakilnya berpidato berjam-jam berapi-api dan berbelit-belit seperti ular yang gusar karena ingin terlihat sakti mandraguna laksna gatotkaca
Tak bisa kita menerka. Mana habibie mana mega mana amien mana gus dur mana sultan mana bintang mana yusril mana muchtar mana budiman mana akbar mana ghalib mana buyung
Sebab semuanya sekekita berubah menjadi joshua...
KutaiKartanegara, 29 Juli 1999
D. Sudarya
Ini puisi atau fragmen-framen berita sih?
BalasHapusMemang, sekarang, terlalu banyak dan gampang orang mengataklan sebuah tulisan adalah puisi, meski mungkin tidak tahu substansi dari puisi.
ada juga puisi yang bergaya naratif atau deskriptif. dan kalau begitu... menurut Anda apa substansi dari puisi? dapatkah Anda menuliskan sebuah yang bersubstansi puisi? ataukah Anda penganut puisi-puisi konservatif yang harus selalu ada aturannya? lalu apakah semua karya yang ditulis seseorang dimana penulis itu menganggapnya sebagai puisi, namun ketika seseorang menganggapnya bukan puisi, haruskah orang lainnya lagi sependapat dengan seseorang itu?
BalasHapusBergaya apapun, entah liris atau naratif atau deskriptif atau apapun, puisi bukan sekedar memberikan informasi. Ada hal yang lebih esensial daripada itu.. Dan jika sebuah kritikan selalu dikembalikan dengan sebuah pertanyaan "Apakah anda bisa menulis seperti yang anda katakan?", kiranya perkembangan sastra akan terjebak pada kondisi stagnan.
BalasHapusHmm.. kami rasa ada sesuatu yang terasa kurang membuat nyaman di sini. Diskusi antar "Pengunjung". Untuk selanjutnya, mohon tuliskan nama unik untuk tiap pengiriman komentar atau dapat juga masuk log untuk berkomentar agar dapat tampil dengan nama yang berbeda dengan komentator lain. Dan nampaknya perlu ada perbaikan sistem dari kami (Puitika.Net) sendiri mengenai hal ini.
BalasHapusTentang topik ini, mungkin "Pengunjung #1" & "Pengunjung #3" dapat memberikan saran atau masukan saja daripada memunculkan komentar yang nampaknya lebih membuat penulis berkecil hati daripada memberikan semangat untuk membuat puisi yang lebih baik.
saya belum terlalu bisa berkomentar karena masih amatir 1 SMA...,
BalasHapustapi saya menilai ini terlalu penuh untuk sebuah puisi...
^^but, keep writing!
setuju Editor, sepertinya perlu ada perbaikan sistem [komentarnya juga perlu disaring editor,yang tidak jelas penulis dan isi komentarnya tidak perlu ditampilkan ]. hari ginii.. tidak jelas siapa seenaknya saja berkomentar,mending kalau komentarnya membangun tapi kalo cenderung menjatuhkan dan melecehkan hmm...cape deh..
BalasHapusada yang mungkin kurang saya pahami tentang perpuisian modern. Karena tentu saja dalam puisi modern keterikatanketerikatan coba untuk dihilangkan. Seperti demokrasi yang menghargai satu orang satu suara.
BalasHapus"pengertian puisi selalu berubah dari waktu ke waktu"
tapi yang saya pahami adalah bahwa kekuatan puisi adalah bagaimana sebuah puisi dapat merefleksikan pengalaman jiwa penyairnya. Dibandingkan dengan dua karya sastra yang lain yaitu cerpen atau novel, puisi mempunyai kekhasan tersendiri sebagai sebuah karya sastra murni yaitu sifat subjektifitasnya, ketidaklangsungan artinya ataupun efisiensi dan efektifitas kata. Puisi mungkin tak dapat ditafsirkan secara "telanjang" karena lebih dari pada itu kita harus bisa menyelami perasaan sang penyair.
Sebuah kritik sastra yang baik adalah kritik yang membangun, bukan membunuh karakter orang lain. Menghargai sebuah puisi adalah ibarat menghargai perasaan dan jiwa penyairnya.
Selamat buat bung dedi sudarya, saya bahkan pernah membaca puisi yang lebih panjang, seperti puisi "Malu aku jadi orang Indonesia" karya Taufik Ismail, yang bahkan sepanjang dua halaman lebih. Katakatanya pun sindiran yang denotatif, mudah ditebak artinya.
salam
makaribi.
cukup lumayan puisi ini
BalasHapustapi lebih menarik lagi kalo puisi ini di sulap menjadi cerpen
Perkenalkan nama saya Lontar Handono, seorang yang suka belajar.
BalasHapusMenanggapi pendapat Reedav dan Makaribi, saya kok kurang setuju jika dikatakan bahwa kritik 'pengunjung 1' dikatakan sebagai kritik yang menjatuhkan. Jika kritik tersebut ditujukan pada saya, tentu dengan senang hati saya menerima sebagai suatu 'pembelajaran' terhadap saya, meskipun terasa pedas. Saya percaya dalam sesuatu yang 'tampak' kasar tersebut, ada sesuatu pendapat yang layak direnungkan. Tapi jika saya menghadapinya dengan emosi, maka yang saya dapat justru rasa kesal saja, dan saya tidak mendapatkan sesuatu dari kritik tersebut. Seorang teman pernah berkata pada saya, ketika saya emosional menghadapi komentar orang yang sedang mabuk pada waktu diskusi. Kurang lebih begini komentar teman saya, "Seniman yang baik itu harus terus belajar dari mana pun dan apa pun. Jika dikomentari orang, ya dengarkan saja. Lha wong tinggal dengar saja kok tidak mau, itu namanya kesombongan. Seniman yang tidak mampu mengendalikan emosinya, seperti sebuah mangga yang belum masak." Jadi, bermanfaat (membangun) atau tidaknya suatu komentar (kritik), menurut saya, sangat tergantung pada kearifan orang yang dikritik.
Tentang komentar 'Pengunjung 1', saya justru mendapat sesuatu yang berharga bahwa puisi mas Dedi dianggap terlalu reportase, sedangkan 'Pengunjung 1' secara ekplisit mengatakan "jangan terlalu reportase, Ded!" (secara halus mungkin begitu). Tiba-tiba saya jadi ingat puisi Subagio Sastrowardoyo. Mungkin 'Pengunjung 1" menghendaki sebuah penulisan puisi reportase selayaknya puisi Subagio (semisal Doa Seorang PSK) ataupun Goenawan Muhammad (terutama dalam kumpulan Misalkan Kita di Sarajevo) atau puisi Sapardi (terutama di kumpulan Ayat-ayat Api). Saya juga teringat pengantar yang dibuat Ignas Kleden (kalau tidak salah) buat kumpulan puisi Mohtar Mabotinggi tentang doa seorang awam dan doa seorang penyair. Kata Ignas terdapat perbedaan (mungkin lebih baik saudara-saudara baca saja sendiri).
Jadi, Mas atau Mbak sekalian, saya kira 'Pengunjung 1' telah memberikan suatu bahan diskusi yang baik, meskipun caranya ya seperti itu. Saya kira itu adalah karakternya. Namun diskusi, yang saya pandang menarik itu rusak karena sikap emosional Mas-mas dan Mbak-mbak semua.
Terima kasih. Maaf kalau terlalu menggurui. Tak ada maksud buat saya untuk merasa lebih tahu. Saya hanya bagi-bagi pengalaman. Terima kasih. Dan sekali lagi maaf. Maaf. Maaf. (Mungkin memang saya perlu mengucapkan permintaan 'maaf' secara berlebihan untuk menghindari masalah yang mungkin muncul dari pernyataan saya ini, sebab saya melihat bahwa orang-orang yang berkomentar di sini terlampau sensitif). Maaf.
Saya kira justru inilah (komentar Watip), komentar yang mestinya dapat memancing emosi. Komentar Watip adalah komentar yang sangat sarkas. Dengan kata lain Watip justru mengatakan, "Puisi Dedi bukanlah puisi", atau "Dedi tidak mengerti puisi". Lha wong terang-terang Dedi memberikan titel pada tulisannya sebagai puisi kok dibilang lebih baik dijadikan cerpen. Lak ya aneh to?! Tapi heran saya, kenapa kok Makaribi dan Reedav tidak emosional dengan komentar Watip ya(?) Atau mereka lebih suka orang-orang yang tidak bisa berkata terus terang(?) Ah, biarlah...
BalasHapuspuisi yang bagus--siapa bilang puisi itu tak bagus?
BalasHapusperlu diketahui bersama oleh kawan-kawan, tidak semua orang bisa menulis puisi dengan panjang dan lebar--karena puisi adalah sari pati perasaan dan jiwa. karena itu sekali lagi, baik satu maupun beribu kata, tetap, hitungannya tetap satu karya--yang utuh. tak dibeda-bedakan. dan tak ada yang lebih pribadi dari puisi..
aku punya contoh puisi yang tergolong super pendek:
BATU
keras dari segala penjuru
takdirmu
inilah dinamika puisi,
jika aku adalah dedy, aku akan senyum-senyum sendiri
karyanya telah (berhasil) mendapatkan apresiasi yang beragam...
Masalahnya apa yang diomongkan di sini sebenarnya sudah melenceng. Omongan di sini sudah tidak membicarakan puisi Dedy, tetapi membicarakan hal lain.. Jadi....
BalasHapusterus terang saya pembaca awam tentang sastra, puisi seperti punya bung dedi ini termasuk puisi yang jarang saya temukan. tapi setelah reformasi banyak sekali ternyata puisi naratif yang memotret realita Indonesia, bukan hanya terjebak untuk mencari keindahan bentuk, namun bagaimana memotret realita secara manis dan individualis.
BalasHapusbeberapa saya temukan dalam buku kumpulan sajak taufik ismail "malu aku jadi orang indonesia".
Saya tidak berbicara teknik, tapi saya tertarik dengan isinya, dalam puisi ini bung dedi merangkai berbagai peristiwa kerusuhan atau peperangan di Indonesia, yang terus terang sebagiannya hampir saya lupakan.
Saya tertarik pada puisi yang sifatnya ekspresionis, menulis puisi seperti menulis buku harian, maka puisi seperti ini adalah puisi yang merekam sejarah yang telah dibumbui emosi penyair, alangkah indahnya puisi seperti itu (bagi saya) karena bisa melihat dunia dari sudut pandang yang lain.
bagaimanakah pendapat anda ?
Saya rasa memang ada kesan bahwa puisi "Aku Pernah Melihat Ketakutan" memang 'terlalu penuh' seperti yang dikatakan salah satu pengunjung yang lain. Saya setuju, tapi mungkinkah bahwa kesan overloading tersebut sebenarnya sengaja dipergunakan untuk memperkuat pesan puisi?
BalasHapusMenurut saya puisi ini memiliki bentuk yang sekilas memang terlihat rapih, namun bisa dianggap kaku. Saya sebenarnya menyukai bagaimana sang penulis tampaknya membelah-belah puisi demi menunjukkan 'ketakutan' di berbagai tempat-tempat di seluruh Indonesia. Bait paling terakhir dari puisi tersebut memang yang paling kuat dan mengena, namun bait bati sebelumnya tidak sepenuhnya mendukung dibangunnya klimaks pada bait terpenting tersebut....
Saya setuju dengan Makaribi; saya juga tidak pernah betul-betul memikirkan betapa banyak hal yang telah terjadi dalam Indonesia tercinta, dan ketika hal-hal tersebut dipaparkan seperti pada puisi yang diatas, maka saya juga sedikit tercengang.
Ide yang sangat baik, dan jika anda sudi merombak kembali struktur dari puisi, maka pasti akan didapatkan hasil yang lebih baik lagi...
Tuhan memberkati.
~(Imam-PamungkaZz)~ itu puisi ya??
BalasHapus~(Imam-PamungkaZz)~ betul...!!
BalasHapusMana air mata mana air darah mana air kencing mana air tanah mana air liur mana air sungai mana air mani mana air hujan
BalasHapusMana adiknya mana abangnya mana bapaknya mana kakeknya mana pamannya mana tentaranya mana pendetanya mana kyainya
Apa mereka nasionalis atau ekstrimis atau komunis atau sosialis atau marxis atau reformis atau pengemis atau kapitalis atau ekstradis
Mana sedih mana khawatir mana bimbang mana ragu mana cinta mana rindu mana resah mana kecewa mana amarah mana benci mana kesal mana sesal
Mana anjing mana kucing mana tikus mana kodok mana kerbau mana badak mana buaya mana kancil mana babi mana coro mana komodo mana bunglon mana cacing
Apa mereka kyai atau menteri atau konglomerat atau raja atau artis atau bupati atau pengusaha atau petani atau presiden atau kacung atau pelacur atau jendral atau babu atau germo
Mana habibie mana mega mana amien mana gus dur mana sultan mana bintang mana yusril mana muchtar mana budiman mana akbar mana ghalib mana buyung
Apakah maksud dari pemilihan diksi-diksi ini?
buat bung pamungkazz
BalasHapusitu bukan puisi ya ?
teknik bung "aku saja" mirip sekali sama teknik Calz (Sutardji)
salam
makaribi.
luaaarrr biasssaa !!
BalasHapusini puisi yang sarat makna. begitu kaya akan pengamatan tentang hidup,
begitu mendetail dengan penggambaran tentang kuatnya gejolak sosial,
begitu meledak - ledak dan menggetarkan emosi, menebar kemarahan
dalam angan - angan ..
dan aku rasakan kegundahan pada pemoda ambon,
lalu aku rasakan ketakutan pada anak - anak kampus,
kemudian aku rasakan kengerian pada pemoda timor,
mendadak aku rasakan kepasrahan dalam tangis orang - orang tionghoa,
begitu menyentuh, tetapi ...................................................
saya ingin memberikan pendapat pribadi saya dengan puisi ini.
ada ketidaknyamanan dengan kata 'ah syukurlah', 'tahulah', 'untung',
'laksna'
dan penghayatannya jadi kurang mengena, karena sudah 'dikacaukan'
dengan penempatan kata yang 'kurang pas'.
mungkin kesalahan ketik ya :-) . tetapi agak berlebihan dilihat dari
efisien penggunaan dan pemilihan kata. kalau lebih ringkas, mungkin
penghayatannya akan lebih khidmat dan mengharukan.
semoga yang menulis puisi ini, ke depan dapat lebih baik dalam
'menyuarakan kata hati' nya, dan dapat pula memadukan antara
ketepatan peletakan diksi dengan intonasi suara (bayangkan seolah
olah anda membaca puisi ini di depan banyak orang ::-) ). Sukses !!
puisi tersebut menurut saya bagus, dalam ruang takut kita tidak bisa memilih atau mempercayai siapa disamping kita. aku salut dengan puisi tersebut, selamat berkarya
BalasHapusPuisi modern memang ga terikat dengan aturan lama.
BalasHapusyang penting bisa menyampaikan maksud penulis dengan baik.
Bukankah tujuan akhir dari semua penulis begitu?
Mengenai pemilihan diksi,
"mana air mata mana air darah mana air kencing, dst"
Diksi ini sebenarnya sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya
"mana yang baik mana yang benar"
Saya rasa tidak ada masalah dengan diksi ini.
Keep Work!
Saya pernah membaca, bahwa perkembangan puisi semakin bebas tanpa aturan lama...atau yang disebutkan oleh engko82...puisi modern
BalasHapusperkembangan puisi stagnan karena terlalu kaku dengan aturan aturan yang ada,kuno. pantas saja Hatta mewanti wanti, "tulislah sebagaimana kau berbicara, tulislah apa yang terpikirkan olehmu walau hanya satu kata"
terima kasih tanggapannya ya...
BalasHapusterus terang saya juga ndak tau tuh ini puisi atau fragmen. lha fragmen sendiri saya juga ndak tau artinya apa hehe...
kemaren waktu liat puisi-puisinya remy sylado, saya berpikir...
"ini puisi apa bukan sih?"
eh waktu terbit buku puisi mbelingnya remy sylado, saya berpikir lagi...
"oooh...ternyata ini puisi tha..."
nanti kalau puisi ini disulap jadi cerpen, saya takutnya ada lagi yang nanya..."ini cerpen atau sinetron sih?" hehehe...matur suwun yo...
BalasHapusterima kasih untuk semua komentarnya...
BalasHapusanda ndak tau saja bagaimana sumringahnya perasaan saya saat ini, dapat komentar segini buanyaknya...
kenyataan ini semakin membuat saya merasa bahwa sudah satnya saya mengganti profil saya dari seorang yang mirip penulis puisi menjadi seorang yang mirip sastrawan hehe...