Tuan Hujan mengetuk pintu dalam magrib, "Ada yang Bisa Saya Bantu Nona?"
Aku menjawab dengan senyum "Mari Duduk, Dan Membunuh Waktu Bersamaku. Sudah Kusediakan Sejumput Chamomile Untuk Kau Seduh. Biar Harum Uapnya Menebar di Makam Waktu yang Tewas Kita Bunuh......
( Parkiran BNI 46 )
Aku menjawab dengan senyum "Mari Duduk, Dan Membunuh Waktu Bersamaku. Sudah Kusediakan Sejumput Chamomile Untuk Kau Seduh. Biar Harum Uapnya Menebar di Makam Waktu yang Tewas Kita Bunuh......
( Parkiran BNI 46 )
Gagasan tentang waktu, sesuatu yang abstrak, namun ada dan dirasa memang menarik, sayang, tidak digarap secara estetis.
BalasHapusidenya lumayan, namun apa yang diungkapkan lewat gaya tutur seperti itu hanyusnya juga dieksplorasi lebih jauh/dalam lagi
BalasHapusKukira komentar Anda tentang Tuan Hujan berupa ide kuranglah tepat,
BalasHapuskarena menurutku si Penyair mendapatkan ide menulisnya berupa pengalamannya sendiri bertemu si Tuan Hujan di parkiran BNI.
saya iri karena anda membuat puisi seperti ini
BalasHapus^_^
ES TEH KITA.. anyir ESTETIKA pun nyinyir
BalasHapusdibabat ribuan mainan plastik yang menyihir
personifikasi kata "hujan" demikian menjadi daya tarik puisi ini. keserupaan kata yang galibnya ditimbang sebagai benda mati dengan makhluk bernyawa tampak jelas di sini: "tuan hujan". kedua hal disandingkan: "tuan" dan "hujan". pengertian "tuan" bisa jadi memiliki dua pengertian: "tuan" sebagai atribut seorang (lelaki) asing atau "tuan" yang memiliki fungsi dominan atas kuasa, tuan-hamba. ia yang berkunjung sewaktu azan maghrib berkumandang. keterangan waktu "maghrib" dimanfaatkan; tinimbang keterangan waktu yang sering dijumpai, senja, sore hari, dsb. keterangan waktu yang partikular inilah yang menjadi penanda latar puisi dituliskan.
BalasHapusentah kesengajaan atau kecerobohan, penggunaan huruf kapital yang tidak semestinya justru mengaburkan pesan yang ingin dialamatkan. sikap ini pun ditimbang tidak konsisten:
"Aku (menjawab dengan senyum) "Mari Duduk, Dan Membunuh Waktu Bersamaku.
jika huruf kapital ditata sedemikian rupa pada kata tertentu barangkali penafsiran akan lain, kata ganti pertama, kedua ketiga atau kata benda asing yang dibedakan dengan awalan huruf kapital dan dicetak miring (untuk membedakannya dengan kata benda lainnya). permasalahan kemampuan berbahasa sepertinya masih banyak yang perlu diulas, tapi saya cukupkan saja.
mencermati gagasan dalam puisi ini saya pikir yang menarik; bagaimana waktu ditanggapi secara berbeda dalam berlarik puisi ini: waktu yang diandaikan serupa makhluk bernyawa (bisa dibunuh). kurangnya penggarapan atas gagasan di atas kunjung menimbulkan pengulangan yang membingungkan:
"Dan Membunuh Waktu Bersamaku."
"Biar Harum Uapnya Menebar di Makam Waktu yang Tewas Kita Bunuh......"
larik pertama menyaran pernyataan yang jelas: "membunuh waktu bersamaku".
siapa yang dimaksud oleh narator ("aku" lirik), bersama (ku)? pertanyaan ini kembali bergulir yang kemudian ingin dijelaskan oleh larik selanjutnya:
Sudah Kusediakan Sejumput Chamomile Untuk Kau Seduh.
kata ganti orang kedua tunggal muncul. siapakah "Kau"?
yang paling menarik barangkali di larik terakhir:
Biar Harum Uapnya Menebar di Makam Waktu yang Tewas Kita Bunuh......
agaknya "aku" lirik telah menimbang nasib waktu: sebelum "aku" membunuh waktu, "aku" telah membuat nisan untuknya. bukankah kata "nisan" bermakna sesuatu yang ada setelah kematian; bukan sebelum kematian. sementara "aku" lirik ingin membunuh waktu; sisi lain waktu telah mati dengan hadirnya kata "nisan" di larik terakhir.
secara semantik kesemua larik puisi di atas membingungkan dan menguras energi saya sampai akhir tulisan (pangtuasi, kata ganti,maupun maksud pembicaraan); namun secara gagasan patut diberikan garis bawah; bagaimana seseorang ingin membunuh waktu dengan karib secangkir chammomile di waktu azan maghrib berkumandang.