Langsung ke konten utama

Tuan Hujan

Tuan Hujan mengetuk pintu dalam magrib, "Ada yang Bisa Saya Bantu Nona?"
Aku menjawab dengan senyum "Mari Duduk, Dan Membunuh Waktu Bersamaku. Sudah Kusediakan Sejumput Chamomile Untuk Kau Seduh. Biar Harum Uapnya Menebar di Makam Waktu yang Tewas Kita Bunuh......



( Parkiran BNI 46 )

Komentar

  1. Gagasan tentang waktu, sesuatu yang abstrak, namun ada dan dirasa memang menarik, sayang, tidak digarap secara estetis.

    BalasHapus
  2. idenya lumayan, namun apa yang diungkapkan lewat gaya tutur seperti itu hanyusnya juga dieksplorasi lebih jauh/dalam lagi

    BalasHapus
  3. Kukira komentar Anda tentang Tuan Hujan berupa ide kuranglah tepat,
    karena menurutku si Penyair mendapatkan ide menulisnya berupa pengalamannya sendiri bertemu si Tuan Hujan di parkiran BNI.

    BalasHapus
  4. saya iri karena anda membuat puisi seperti ini
    ^_^

    BalasHapus
  5. ES TEH KITA.. anyir ESTETIKA pun nyinyir
    dibabat ribuan mainan plastik yang menyihir

    BalasHapus
  6. personifikasi kata "hujan" demikian menjadi daya tarik puisi ini. keserupaan kata yang galibnya ditimbang sebagai benda mati dengan makhluk bernyawa tampak jelas di sini: "tuan hujan". kedua hal disandingkan: "tuan" dan "hujan". pengertian "tuan" bisa jadi memiliki dua pengertian: "tuan" sebagai atribut seorang (lelaki) asing atau "tuan" yang memiliki fungsi dominan atas kuasa, tuan-hamba. ia yang berkunjung sewaktu azan maghrib berkumandang. keterangan waktu "maghrib" dimanfaatkan; tinimbang keterangan waktu yang sering dijumpai, senja, sore hari, dsb. keterangan waktu yang partikular inilah yang menjadi penanda latar puisi dituliskan.

    entah kesengajaan atau kecerobohan, penggunaan huruf kapital yang tidak semestinya justru mengaburkan pesan yang ingin dialamatkan. sikap ini pun ditimbang tidak konsisten:
    "Aku (menjawab dengan senyum) "Mari Duduk, Dan Membunuh Waktu Bersamaku.
    jika huruf kapital ditata sedemikian rupa pada kata tertentu barangkali penafsiran akan lain, kata ganti pertama, kedua ketiga atau kata benda asing yang dibedakan dengan awalan huruf kapital dan dicetak miring (untuk membedakannya dengan kata benda lainnya). permasalahan kemampuan berbahasa sepertinya masih banyak yang perlu diulas, tapi saya cukupkan saja.
    mencermati gagasan dalam puisi ini saya pikir yang menarik; bagaimana waktu ditanggapi secara berbeda dalam berlarik puisi ini: waktu yang diandaikan serupa makhluk bernyawa (bisa dibunuh). kurangnya penggarapan atas gagasan di atas kunjung menimbulkan pengulangan yang membingungkan:
    "Dan Membunuh Waktu Bersamaku."
    "Biar Harum Uapnya Menebar di Makam Waktu yang Tewas Kita Bunuh......"
    larik pertama menyaran pernyataan yang jelas: "membunuh waktu bersamaku".
    siapa yang dimaksud oleh narator ("aku" lirik), bersama (ku)? pertanyaan ini kembali bergulir yang kemudian ingin dijelaskan oleh larik selanjutnya:
    Sudah Kusediakan Sejumput Chamomile Untuk Kau Seduh.
    kata ganti orang kedua tunggal muncul. siapakah "Kau"?
    yang paling menarik barangkali di larik terakhir:
    Biar Harum Uapnya Menebar di Makam Waktu yang Tewas Kita Bunuh......
    agaknya "aku" lirik telah menimbang nasib waktu: sebelum "aku" membunuh waktu, "aku" telah membuat nisan untuknya. bukankah kata "nisan" bermakna sesuatu yang ada setelah kematian; bukan sebelum kematian. sementara "aku" lirik ingin membunuh waktu; sisi lain waktu telah mati dengan hadirnya kata "nisan" di larik terakhir.

    secara semantik kesemua larik puisi di atas membingungkan dan menguras energi saya sampai akhir tulisan (pangtuasi, kata ganti,maupun maksud pembicaraan); namun secara gagasan patut diberikan garis bawah; bagaimana seseorang ingin membunuh waktu dengan karib secangkir chammomile di waktu azan maghrib berkumandang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...