Langsung ke konten utama

Puisi-Puisi Teguh Trianton

Sajak – Sajak Teguh Trianton

Wasyamsy

demi matahari yang terbit
dari larut gundah di batin

jika malam ini
kau asah pisau
dan gali kubur untukku

esok pagi,
untailah fatehah
tebar syahadat
pada nisan
di jantungku

Purbalingga, April 2007


Walqomari

demi temaram bulan di langit batin

segala magma membuncah
menyaksikan ritual terindah
masokis hati di malam nelata

Purbalingga, April 2007


Kepada I

malam ini,
akan kubentangkan kanvas
dari batas magrib hingga ujung
negeri subuh

akan kulukis hujan
dan namamu

sehingga tiap orang tahu
sehelai sungai bening
yang mengalir di bantinku
adalah kau

Purbalingga, April 2007

Sajak – Sajak Teguh Trianton

Walaieli

demi malam yang rapuh
sesungguhnya tiap airmata
yang gugur dari ranting tahajud
menjadi sungai pelirih pinta

yang maha kekasih
atas ridlho-mu,
kupinang matahari
bersanding nafasku

Purbalingga, April 2007


Wadhuha

demi matahari sepenggalah batin
sujud dan rinduku tak sebanding
embun yang merayap, memanjat,
menggapai cahaya

di antara celah-celah daun
dan ranting wudu

pagi ini, serupa pisau
matahari menunjamku berkali-kali
tentu dengan catatan kecil
tentang rendezvous kau-aku
yang selalu piatu

Purbalingga, April 2007


Memoar Pagi

salam takzim
wahai perempuan bermata embun

mimpi apa semalam,
hingga pagi ini kangenku
melebihi mata pisau

Purbalingga, April 2007




Sajak – Sajak Teguh Trianton

Memoar Keberangkatan

melepasmu ke kota hujan
aku jatuh ngungun sama sekali
lantaran hati ini terlanjur
membatinkan batinmu

aku begitu yakin,
seperti matahari,
sejarah selalu saja terbit
dari garis tangan

pun sejarah kau-aku

lalu,
karena waktu tak beribu
kutitipkan selempang sajadah
dan mahabah
pada pundak keikhlasanmu
menjadi takdirku

Purwokerto, 12 April 2007


Memoar Malam

malam yang bulat
seperti matahari
waktu melingkar
membelit nafasku
dengan nafasmu

berjelaga
melebihi ciuman matahari
pada bibir laut
yang melantunkan cinta

Purwokerto, Mei 2007



Sajak – Sajak Teguh Trianton

Airmata hari

kesendirian adalah sahabat paling karib
seperti aku yang selalu setia menghitung nafasmu

hari ini,
airmata hari menitik kesabaranku
melafal sejarah, menulis yang paling karib

dari adamu di dadaku

Purwokerto, Mei 2007


Menunggu Kabar dari Bali

bali, adalah minatur sorga
kecantikan, keindahan, kemasyuran
lengkap tersaji

tapi aku tak ingin dapatkan semua
lantaran, di batinmu
bali hanya sepetak ruang,
selebihnya,

ijinkan aku mendiaminya

Purbalingga, 8 Mei 2007


Puisi-puisi Teguh Trianton

Hikayat 1
yang lupa kulupakan

november telah menguning, sayang
dan aku seperti lupa
pada ulang tahun kelahiran
yang selalu ganjil

hujan, sekali lagi hujan
ini kali mengirim sebutir-sebutir
hikayat yang lupa kulupakan

dan malam mulai kantuk
tapi orang-orang tak kunjung beranjak
mata mata-mata itu terus memata-mataiku
saat mataku merenangi danau di matamu

Purbalingga, November 2007


Hikayat 2
meja makan

malam belum begitu kantuk bukan
tapi kau telah menyelesaikan ruang tamu

daun pintu mengunci nasibku
dan aku masih menyimpan derit yang kemarin

engsel yang menua,
ujung lubang kunci yang karat
meski sesaat,
segala kisah selalu terhenti di meja makan

Purwokerto, November 2007



Hikayat 3
yang tak pernah padam

sayang, ini kali kita tak jadi melaut
bukan lantaran cuaca yang hitam,
dan jumat tak pendek, bukan?
tapi kita masih menyimpan
sunset yang kemarin

dan suset di matamu jauh lebih sunset
sehingga aku tertawan pada kepatutannya

pada laut di dadaku
sunset dan hujan tak pernah padam

Purwokerto, November 2007

Hikayat 4
yang bersarang di dadaku

matahari, bulan, angin, laut, air
hujan, gunung, api, ombak, badai
gelombang, kilat, guntur
dan namamu
bersarang di dadaku

Purbalingga, November 2007

Hikayat 5
kopi tanpa gula

kabari aku cinta
seperti biasa,
seperti matahari
yang mengufuk

hari ini kian panjang saja
seperti malam yang nelata

kabari aku cinta
meski kopi tanpa gula

Purbalingga, November 2007

Hikayat 6
kopi tanpamu

ini kali kopi pahit sekali

yang larut bukan lidahku
lantaran;
di hitam matamu
di hujan silsilah
di hulu sejarah
di hilir garis tangan
masih ada yang gula

Purwokerto, November 2007

Hikayat 7
matahari menebalkan beku

malam ini
jarum jam lebih lafal di telinga
dan batinku

seperti hujan,
ketebalannya membunuhiku
waktu terus mengirim sunyi

lalu ia pun menebal
membunuh semua yang matahari

di dadaku
matahari menebalkan beku

Purbalingga, Desember 2007



Hikayat 8
hujan di tubuhmu

malam kelewat matang, sayang
tapi aku tak dapat memetiknya
seperti dering telpon di puncak malam
di puncak-puncak percintaanku pada hujan
kilat selalu melafalkan kejut

lalu kuperbaharui ciuman-ciumanku

lalu;
di ketiak hujan kuselipkan teriakan
di dada hujan kutulis sajak
di perut hujan kurebahkan kepala
di pinggang hujan kulilitkan lengan
di kaki hujan kulipat catatan kakiku

dan di puncak hujan
kuhujani tubuhmu

Purbalingga, Desember 2007

Hikayat 9
yang selalu baru

jika hendak menulis hujan
jangan lupa menggambar kilat
di sela-sela pelanggi

lantaran seperti ciuman
meski selalu terulang
kejutan selalu baru, bukan?

Purbalingga, Desember 2007


Sajak-sajak Teguh Trianton


Ulang Tahun Hujan
: D

selamat pagi,
hari ini duapuluh satu matahari begitu tak lazim
terbit dari laut di matamu yang mengandung hujan

dan kau, justru tenggelam di halaman-halaman buku harian
lantaran sungai waktu, mengirim masa silam pada celah dinding usia

di batinmu, jadikan aku air yang meruang
pada rongga sejarah yang terurai di ulang tahun hujan

Purbalingga, Desember 2006


Syahadat Malam

dan aku pilih jadi matahari bagi diri sendiri,
yang hangat dan terangnya dapat kau curi,
tentu saat senja melilit di batinmu.

tatkala malam meranum,
aku adalah kunang-kunang
yang bersetubuh dengan mimpi
di otakmu

Purbalingga, November 2006



Syahadat Mata Pisau

jika kau merasa sakit dan terluka,
jadikan luka terindah
yang ngungun disembuhkan

Purbalingga, November 2006



Syahadat Angan

dan aku akan terus mengirim virus
pada sayat di bahu anganmu

hingga kau menarik diri
dari lamunan yang piatu
di kelir batinku.

Purbalingga, November 2006


Karena Hujan adalah Kau

karena kuyakin hujan adalah kau,
angin mendesau melihatku memungut gerimis di hilir cuaca,
seperti foto-fotomu, lalu kusimpan runcing-runcingnya,
tentu pada folder jiwaku.

karena hujan adalah kau,
kugelar landskap nirwatas,
menjemputmu.

hujan adalah kau,
yang tidur di mimpiku,
mendekap sepi

Purbalingga, Desember 2006


Biodata Penulis

Teguh Trianton, lahir di Desa Pagerandong Rt 02/I Kec. Mrebet Kab. Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 28 Desember 1978. Pernah bekerja sebagai wartawan Harian Pagi Radar Banyumas (Jawa Pos Grup), dan Redaktur Budaya Harian Pagi Koran Rakyat Purwokerto. Kini menjadi guru Bahasa dan Sastra Indonesia pada SMK Widya Manggala Purbalingga.
Alumnus Jurusan PBSID Universitas Muhamadiyah Purwokerto, lebih banyak menjalani proses kepenulisan di luar kampus, melalui diskusi ringan bersama sejumlah penyair dan budayawan.
Tulisannya berupa puisi, artikle dan esai telah diterbitkan di Harian Bernas Jogja, Tabloid Minggu Pagi, SKH Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Koran Sore Wawasan, Suara Pembaruan, Radar Banyumas, Seputar Indonesia (Sindo), Suara Karya, juga di Jurnal Sastra Pesantren Fadilah Yogyakarta, Majalah Rindang, Annida, dll.
Karya tulisnya (Skripsi) yang berjudul ‘Konsep Kedirian dan Keillahian Sajak O, Amuk, Kapak, Karya Soetardji Calzoum Bachri – Tafsir Surealisme dalam Perspektif Semiotika Michael Refaterre’ disunting dan dibukukan dalam Jurnal Penelitian Agama (JPA) STAIN Press Purwokerto (2006).
Puisinya dibuat antologi dalam Jiwa-jiwa Mawar (Bukulaela, 2003), Untuk Sebuah Kasihsayang (Bukulaela, 2004), antologi Puisi Penyair Jawa Tengah (TBS 2005). Kumpulan Cerpen (Kumcer) ‘Robingah Cintailah Aku’ STAIN Purwokerto Perss (2007).
Alamat surat : Teguh Trianton, Desa Pageradong Rt 02/I Kec. Mrebet Kab. Purbalingga, Jawa Tengah 53352, Telp. 08156987444.
E-mail: teguh3anton@yahoo.com, anton_aktualita@yahoo.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...