Langsung ke konten utama

Pentas Teater Sunan Pangung

Pentas Teater:
Sunan Panggung Taklukan Bara Dengan Cahaya

"Lihat! Sunan tidak terbakar. Ia bisa mati di dalam hidup dan hidup dalam mati. Memancar cahaya kemilau dan bau harum semerbak."
Pekik salah seorang santri Sunan Panggung alias Syeh Malang Sumirang dalam pertunjukan teater RSPD dalam menyambut hari jadinya ke 30, Sabtu (9/2) di Gedung Kesenian Tegal, Jawa Tengah. Produksi ke-65 ini didukung puluhan pemain teater RSPD Tegal, peƱata musik Ki Enthuse Susmono, Artistik Wowok Legowo, Produser HM Iqbal SE, MM dan Co Produser Haryo Guritno.

Dikisahkan Sunan Panggung (Yono Daryono) salah seorang sunan yang tidak masuk dalam himpunan wali yang sembilan (Wali Songo), Ia hidup pada jaman kesultanan Demak. Sosok kontroversi yang konon masih keponakan Sunan Kudus ini dihukum bakar hidup-hidup (pati obong) akibat ajarannya berupa ‘jalan kegilaan’ (Tarikat Majnun Rabbani) kepada para santrinya. Ajarannya berupa keasyik-mansyukan menapaki jejak-Nya, melalui cara-cara di luar tatanan formal legal bahkan syar’iyah yang sudah disakralkan. Tumindaknya dianggap menyimpang, seperti kasih sayangnya kepada dua ekor anjing bernama Iman (Apas Rampelo) dan Tokid (Ahmad Zaki) yang dilatih taat sampai pinter berdialog dengan manusia. Ia juga menghindari shalat di masjid, bahkan mencemari masjid dengan membiarkan anjing piaraannya yang secara fisik jorok dan liurnya najis itu bebas bercengkerama di masjid.

Akibatnya, sidang para wali yang dihadiri Sultan Demak (Hartono Ch Surya), Sunan Kudus (Handy A), Sunan Drajat (Inu Purwantoro) dan Patih Wanasalam (Bontot Sukadar) menjatuhkan hukuman mati kepada Sunan Panggung dengan cara dibakar hidup-hidup. Demi membuktikan iman tauhid yang diyakininya, untuk membuktikan ketulusan cinta kepada dzat yang membuatnya tergila-gila. Sunan Panggung secara suka rela membakar diri dalam kobaran api. Dramatisnya, Sunan Panggung terselamatkan dari kobaran api, bahkan seutas benang sorbanpun tak terbakar.

Itukah karomah atas keperkasaan dzikir, pikir dan laku sang Sunan, melalui pengejawantahan Nur Ilahiyah secara hakiki? Namun karena ia berada dalam tataran kehidupan yang terkooptasi penguasa baik penguasa formal yang kebak akan kepentingan politis, maupun penguasa agama yang senantiasa mengklaim diri sebagai penjaga harmoni dan kesakralan suatu ajaran. Keduanya cenderung bertangan besi menghukum Syeh Malang Sumirang.

Hal paling menarik, anti klimak dari adegan ini, ketika Sunan Panggung dilalap kobaran api, bukannya ia merintih, menangis, sesali diri ataupun ketakutan, melainkan dengan enaknya Sunan menulis sesuatu. Sejenak kemudian, orang-orang terperanjat takdim melihat dua anjing Syeh Malang Sumirang keluar dari kobaran api sambil membawa lembaran kertas berisi suluk yang ditulisnya. Lantas karya ciptanya itu dibagikan kepada semua kalangan yang hadir di Alun-alun Demak, termasuk para wali, Sultan Demak dan para petinggi kerajaan lainnya.

Sisi menarik dari pembelajaran lakon drama ini, jika segala amuk masa, ancaman penjara, tuduhan subversi, anggapan murtad, kafir dan berbagai tindakan anarkis sebagai implementasi dari unsur api (kemarahan) yang begitu riskan menimpa kita, alangkah arif bijaksana jika budaya lekas marah dan main hakim sendiri itu discounter dengan wawasan pemahaman, pengetahuan yang luas dan pemahaman ilmu secara mendalam dengan sumber yang bisa dipertangungjawabkan. Bukankah ilmu itu cahaya? Sedangkan cahaya tidak akan gosong dilalap api. Terlebih cahaya manifestasi dari karakter kemalaikatan. Direncanakan lakon ini bakal di gelar di Taman Budaya Surakarta (10/5) dan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada Nopember 2008 mendatang.

Naskah/ Drama Sunan Panggung yang ditulis/ disutradarai Yono Daryono enak ditonton sebagai sebuah pertunjukan teater. Alasannya, pertama materinya cukup signifikan dijadikan tolak ukur sebuah karya pentas. Sebagaimana dikatakan Yono, dalam sesi diskusi usai pentas, bahwa dirinya ingin mengembalikan habitat seni teater sebagai seni peran. Setidaknya naskah yang ditulisnya dapat memenuhi harapan itu. Terbukti dari kuantitas dialog, terutama tokoh sunan cukup berat. Karenanya butuh casting aktor secara cermat.
Kedua dari sisi estetika bahasa sangat puitis-sufistik jadi meskipun sukar dipahami namun nikmat direnungkan bahkan kritis dan menggelitik. Ketiga dari segi tema sangat kasuistik yang item-itemya akan selalu aktual, alih-alih bisa mengundang kontraversi? Mengingat masyarakat kita senang kotak-kotak, apalagi tidak sedikit lembaga keagamaan sengaja memelihara keterkotakan itu. Keempat dari sisi artistic sangat menantang sebagai sebuah pertunjukan panggung, karena menuntut banyak kreatifitas sebagai satu kesatuan dari unsur teater itu sendiri. Seperti seni pedalangan, seni kareografi, seni musik, jika perlu backdrop panggung dipadukan seni sinematografi untuk setting seperti kerajaan, padepokan santri, ketika adegan kekerasan massa dalam opening adegan serta visualisasi teks berisi baik-bait suluk yang ditulis Syeh Sumirang untuk anding pertunjukan. (Hamidin Krazan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...