Setelah membaca majalah Horison pada edisi ulang tahunya yang ke 40, secara umum dapat dilihat peta sastrawan, pengaruh sastrawan, konflik sastrawan dan jaringan sastrawan mulai tahun 1966 (semenjak kelahiran Horison). Sebuah perebutan Patronase sastra dengan sebuah ikon majalah Horison memperlihatkan dinamika sastrawan dan kelahiran karya-karya sastra. Sebuah perjalanan majalah Horison yang melibatkan banyak sekali Kampiun Sastra negeri ini diceritakan secara jujur dan terbuka. Horison terlihat sebagai sebuah piala bergilir yang selalu diperebutkan oleh sastrawan-sastrawan yang memiliki tujuannya masing-masing. Generasi-generasi sastrawan diera sekarang ini, yang tidak terikat secara emosional didalam perebutan piala bergilir majalah Horison dapat melihat dan mengerti peta sastrawan pada zaman dulu. Sehingga para sastrawan di era sekarang ini dapat melihat bahwa ada suatu Faktor “X” yang harus menjadi sebuah pertimbangan dalam melihat sebuah kulitas karya sastra. Bahkan faktor “X” ini selalu ada dari dulu hingga sekarang dan Faktot”X” inilah yang seringnya menjadi penyebab yang utama sebuah penilaian kualitas karya sastra. Tetapi sayangnya pada majalah Horison pada edisi ulang tahun yang ke 40 tidak membahas permasalahan serupa dengan bentuk yang berbeda pada sastrwan dan karya sastra di era sekarang ini. Sebuah Publikasi bertahannya majalah sastra horison selama 40 tahun, kesuksesan meningkatkan Oplah dan Road Show ke berbagai penjuru tanah air dengan berbagai suka dukanya adalah sebuah gambaran kesuksesan sastra di era sekarang ini.
Pada tanggal 8 september 1974 adanya gugatan terhadap Patron sastra oleh beberapa penyair muda terhadap penyair senior terhadap kuatnya dominasi sastra. Salah satu puisi yang mewakili situasi tersebut adalah karya Mahawan berjudul Teka-teki :saya ada dalam puisi/saya ada dalam cerpen/saya ada dalam novel/saya ada dalam roman/saya ada dalam kritik/saya ada dalam esai/saya ada dalam w.c//siapakah saya?/jawab:hb jassin//(Maman S.Mahayana,Horison Nov 2006). Cerita diatas di tampilkan sebagai sebuah dinamika sastra masa silam. Dan sepertinya, di era sekarang ini tidak adanya sebuah Patron terhadap dunia sastra Indonesia, sehingga majalah Horison tidak perlu membahasnya.
Patron Sastra diera sekarang ini telah berpendar. Patron sastra telah bergeser dari patron Individu ke patron Kelompok sastra. “Kegairahan” sastra di era sekarang ini di mentahkan oleh-oleh tembok-tembok kelompok sastra. Para anggota kelompok-kelompak sastra yang menduduki redaksi di berbagai Media telah “merampok”karya sastrawan gelandangan atau di luar kelompok komunitasnya yang tidak sepaham. Kelompok-kelompok sastrawan ini dengan komplotanya memberikan sebuah tiket gratis publikasi buat para anggotanya di berbagai media. Hanya dengan memberikan keterangan sebuah “Adress Sastrawan” di akhir sebuah karyanya. Aktif di “anu”, Pembina sanggar “anu”.Penggerak kelompok penulis”anu dan sebagainya yang berkaitan dengan “anu”. Sama seperti politikus yang membeli kartu anggota Parpol tertentu untuk sebuah tiket menjadi Gubernur,Bupati ataupun Presiden sekalipun. Hal ini pernah diucapkan oleh saudara saut situmorang”Politik representasi identitas”sastra Indonesia oleh komunitas sastra tertentu terbukti cuma menimbulkan krisis artistik”selera artistik komunitas tertentu dianggap merupakan selera internasional/kosmopolit(Politik Komunitas sastra”SINDO”)
Sebuah “gairah”yang hanya dapat dinikmati oleh sebuah kelompok lama kelamaan akan menamatkan kegairahan itu. Sebuah kreatifitas akan mati, karena semuanya memunculkan sebuah warna yang sama. ”Sekarangpun saya masih membaca media-media lain dengan setia tetapi tanpa debar-debar jiwa remaja. Apakah tulisan saya dimuat di media ini atau itu.” Kata Agus R sarjono(Horison Mitos dan Horison realitas”Horison November 2006). Sebuah kegairahan telah hilang pada diri redaktur Horison tersebut, sebuah persaingan yang ditandai dengan debar-debar sudah tidak ada. Sebab dia telah memiliki sebuah tiket gratis sehingga semua tulisan akan selalu mulus keberbagai media. Kehilangan debar-debar adalah kehilangan kegairahan dan kreatifitas. Inilah salah satu wajah sastra Indonesia yang selalu”melihat siapa yang menulis bukan apa yang ditulis.”
Sudah seharusnya kelompok sastra yang saat ini sebagai pemegang Patron sastra Indonesia lebih menghargai sebagai keorisinilan “IDE” sebab sebuah ide yang cemerlang dari berbagai tema tidak akan tergantikan oleh siapapun. Kelompok sastra sebaiknya bergerak dalam tataran Teknis penulisan, sehingga sebuah Ide dari seorang penulis dapat sampai kepada pembaca sesuai yang di maksud. Bergerak dalam tataran kualitas hanya akan membawa gerbong kelompok sastra yang di ikutinya mengekor dan menutup kelompok lain yang berseberangan.”bukankah kualitas masih diperdebatkan?seperti Ruwetnya puisi Afrizal Malna(Ikhwal Kritik sastra Alex R Nainggolan”SINDO”).
Kesuksesan meningkatkan Oplah sebuah majalah sastra Horison seperti sekarang ini dianggap sebagai sebuah kegairahan sastra. Secara Kwantitative memang benar, sebab sebuah majalah sastra semakin laku berarti ada sebuah kegairahan dari masyarakat untuk membaca sastra. Tetapi jika pemberian sebuah majalah sastra secara gratis, apakah dapat di katakana masyarakat bergairah dengan majalah sastra atau hanya gratis kemudian bergairah. Karena seorang pemulungpun bergairah sekali jika diberikan koran-koran bekas. Tetapi tentu saja, pemulung bergairah dengan Koran bekas karena aroma uangnya bukan bergairah membaca isi berita dari Koran-koran bekas tersebut. Secara Oplah setelah terjadinya Road Show sastrawan dengan bantuan Ford Foundation dan Departemen Pendidikan Nasional memang meningkat. Semula 9000 Eksemplar tahun 2004 kemudian meningkat mencapai 12000 Eksemplar, setelah Departemen Pendidikan nasional memberikan bantuan sebanyak 4500 sekolah menengah atas dan Madrasah Aliyah menjadi pelanggan(Maman S Mahayana,Horison Nov 2006). Berarti Majalah Horison yang diberikan sercara gratis sebanyak 37,5%,sehingga masyarakat yang membeli Majalah Horison karena menyukai sastra sebanyak 62,5% atau 7500 Eksemplar. Jadi sebenarnya dibandingkan dengan 2004 majalah horison sebenarnya mengalami penurunan peminat. Kurangnya Peminat tentu karena kualitas isinya, sebab seorang pembeli majalah jika menyukai majalah tertentu sesulit apapun pasti mencarinya. Jadi sastra telah berhasil menggairahkan Pemerintah bukan masyarakat.
Apabila nanti, Departemen pendidikan nasional mencabut subsidi, sekolah-sekolah tersebut masih berlangganan majalah Horison, berarti majalah sastra Horison sebagai majalah sastra yang turut berjasa memajukan sastra Indonesia.
Dengan melihat Road Show para sastrawan dengan memakan biaya yang tidak kecil, ternyata sampai saat ini belum dapat menggairahkan karya sastra Indonesia(dengan parameter menurunnya pembeli Potensial majalah Horison). Sehingga yang terlihat dari kegiatan ini hanyalah sebuah “Proyek Sastra”. Dan sudah saatnya para sastrwan mengubah cara pandang dalam menggairahkan sastra Indonesia. Para sastrwan harus menyadari benar apa sebenarnya kurang bergairahnya sastra di negeri ini. Sebab permasalahan menggairahkan sastra di Indonesia sekarang ini jauh lebih rumit dari era tahun 1966. Sebab hiburan-hiburan Instant yang di komandani Televisi dengan berbagai variasi acaranya menawarkan sesuatu yang lebih nyaman di otak dan lebih murah biayanya.
Sastra harus membuka diri dan jangan terkungkung oleh sebuah “Patron yang berpendar”.Karya sastra tidak boleh terkungkung dalam kelompok-kelompok sastra yang sekarang sebagai pemegang Tafsir di berbagai media. Sastra harus lebih dekat dengan masyarakat bukan siswa. Sastrawan tidak perlu takut jika sastra dilepas ke masyarakat, sastra akan kehilangan kesakralanya dan keelitanya. Sebab dari Kwantitas pasti akan melahirkan Kwalitas. Akan sangat Indah jika warna sastra berwarna-warni, sehingga masyarakat dari berbagai kelompok akan menganggap sastra adalah bagian dari hidupnya. Bukan milik para sastrawan saja atau kelompok-kelompok sastra. Untuk saat ini, ternyata Puisi Teka-teki karya mahawan masih Relevan.
Saya ada dalam puisi/saya ada dalam cerpen/saya dalam novel/saya ada dalam roman/saya ada dalam kritik/saya ada dalam esai/saya ada dalam wc//siapakah saya?/jawab:komplotan sastra//
Bogor, 2007
Moch Arif Makruf
ALUMNI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
Penggiat di SAINS,Sajogyo Inside Bogor
Anggota KMB(komunitas menulis Bogor)
Beberapa Puisi saya tergabung dalam antologi bersama penulis muda,yang terbit tanggal 7 agustus 2007
Beberapa tulisan saya baik berupa Opini,cerpen,puisi dan esai sastra pernah dimuat di harian suara Karya,surya(jawa Timur),Pakuan Raya(bogor),majalah anak orbit,Batam Pos dan lain-lain.)
Perumahan Bukit Mekar Wangi
Blok C8 No.6
Kec.Tanah Sareal,Ds.Mekar Wangi Bogor-Jawa Barat
Telepon : (0251)7536078/0815 6544964
Email:Endoetmembara@gmail.com/arifmakruf@telkom.net
Pada tanggal 8 september 1974 adanya gugatan terhadap Patron sastra oleh beberapa penyair muda terhadap penyair senior terhadap kuatnya dominasi sastra. Salah satu puisi yang mewakili situasi tersebut adalah karya Mahawan berjudul Teka-teki :saya ada dalam puisi/saya ada dalam cerpen/saya ada dalam novel/saya ada dalam roman/saya ada dalam kritik/saya ada dalam esai/saya ada dalam w.c//siapakah saya?/jawab:hb jassin//(Maman S.Mahayana,Horison Nov 2006). Cerita diatas di tampilkan sebagai sebuah dinamika sastra masa silam. Dan sepertinya, di era sekarang ini tidak adanya sebuah Patron terhadap dunia sastra Indonesia, sehingga majalah Horison tidak perlu membahasnya.
Patron Sastra diera sekarang ini telah berpendar. Patron sastra telah bergeser dari patron Individu ke patron Kelompok sastra. “Kegairahan” sastra di era sekarang ini di mentahkan oleh-oleh tembok-tembok kelompok sastra. Para anggota kelompok-kelompak sastra yang menduduki redaksi di berbagai Media telah “merampok”karya sastrawan gelandangan atau di luar kelompok komunitasnya yang tidak sepaham. Kelompok-kelompok sastrawan ini dengan komplotanya memberikan sebuah tiket gratis publikasi buat para anggotanya di berbagai media. Hanya dengan memberikan keterangan sebuah “Adress Sastrawan” di akhir sebuah karyanya. Aktif di “anu”, Pembina sanggar “anu”.Penggerak kelompok penulis”anu dan sebagainya yang berkaitan dengan “anu”. Sama seperti politikus yang membeli kartu anggota Parpol tertentu untuk sebuah tiket menjadi Gubernur,Bupati ataupun Presiden sekalipun. Hal ini pernah diucapkan oleh saudara saut situmorang”Politik representasi identitas”sastra Indonesia oleh komunitas sastra tertentu terbukti cuma menimbulkan krisis artistik”selera artistik komunitas tertentu dianggap merupakan selera internasional/kosmopolit(Politik Komunitas sastra”SINDO”)
Sebuah “gairah”yang hanya dapat dinikmati oleh sebuah kelompok lama kelamaan akan menamatkan kegairahan itu. Sebuah kreatifitas akan mati, karena semuanya memunculkan sebuah warna yang sama. ”Sekarangpun saya masih membaca media-media lain dengan setia tetapi tanpa debar-debar jiwa remaja. Apakah tulisan saya dimuat di media ini atau itu.” Kata Agus R sarjono(Horison Mitos dan Horison realitas”Horison November 2006). Sebuah kegairahan telah hilang pada diri redaktur Horison tersebut, sebuah persaingan yang ditandai dengan debar-debar sudah tidak ada. Sebab dia telah memiliki sebuah tiket gratis sehingga semua tulisan akan selalu mulus keberbagai media. Kehilangan debar-debar adalah kehilangan kegairahan dan kreatifitas. Inilah salah satu wajah sastra Indonesia yang selalu”melihat siapa yang menulis bukan apa yang ditulis.”
Sudah seharusnya kelompok sastra yang saat ini sebagai pemegang Patron sastra Indonesia lebih menghargai sebagai keorisinilan “IDE” sebab sebuah ide yang cemerlang dari berbagai tema tidak akan tergantikan oleh siapapun. Kelompok sastra sebaiknya bergerak dalam tataran Teknis penulisan, sehingga sebuah Ide dari seorang penulis dapat sampai kepada pembaca sesuai yang di maksud. Bergerak dalam tataran kualitas hanya akan membawa gerbong kelompok sastra yang di ikutinya mengekor dan menutup kelompok lain yang berseberangan.”bukankah kualitas masih diperdebatkan?seperti Ruwetnya puisi Afrizal Malna(Ikhwal Kritik sastra Alex R Nainggolan”SINDO”).
Kesuksesan meningkatkan Oplah sebuah majalah sastra Horison seperti sekarang ini dianggap sebagai sebuah kegairahan sastra. Secara Kwantitative memang benar, sebab sebuah majalah sastra semakin laku berarti ada sebuah kegairahan dari masyarakat untuk membaca sastra. Tetapi jika pemberian sebuah majalah sastra secara gratis, apakah dapat di katakana masyarakat bergairah dengan majalah sastra atau hanya gratis kemudian bergairah. Karena seorang pemulungpun bergairah sekali jika diberikan koran-koran bekas. Tetapi tentu saja, pemulung bergairah dengan Koran bekas karena aroma uangnya bukan bergairah membaca isi berita dari Koran-koran bekas tersebut. Secara Oplah setelah terjadinya Road Show sastrawan dengan bantuan Ford Foundation dan Departemen Pendidikan Nasional memang meningkat. Semula 9000 Eksemplar tahun 2004 kemudian meningkat mencapai 12000 Eksemplar, setelah Departemen Pendidikan nasional memberikan bantuan sebanyak 4500 sekolah menengah atas dan Madrasah Aliyah menjadi pelanggan(Maman S Mahayana,Horison Nov 2006). Berarti Majalah Horison yang diberikan sercara gratis sebanyak 37,5%,sehingga masyarakat yang membeli Majalah Horison karena menyukai sastra sebanyak 62,5% atau 7500 Eksemplar. Jadi sebenarnya dibandingkan dengan 2004 majalah horison sebenarnya mengalami penurunan peminat. Kurangnya Peminat tentu karena kualitas isinya, sebab seorang pembeli majalah jika menyukai majalah tertentu sesulit apapun pasti mencarinya. Jadi sastra telah berhasil menggairahkan Pemerintah bukan masyarakat.
Apabila nanti, Departemen pendidikan nasional mencabut subsidi, sekolah-sekolah tersebut masih berlangganan majalah Horison, berarti majalah sastra Horison sebagai majalah sastra yang turut berjasa memajukan sastra Indonesia.
Dengan melihat Road Show para sastrawan dengan memakan biaya yang tidak kecil, ternyata sampai saat ini belum dapat menggairahkan karya sastra Indonesia(dengan parameter menurunnya pembeli Potensial majalah Horison). Sehingga yang terlihat dari kegiatan ini hanyalah sebuah “Proyek Sastra”. Dan sudah saatnya para sastrwan mengubah cara pandang dalam menggairahkan sastra Indonesia. Para sastrwan harus menyadari benar apa sebenarnya kurang bergairahnya sastra di negeri ini. Sebab permasalahan menggairahkan sastra di Indonesia sekarang ini jauh lebih rumit dari era tahun 1966. Sebab hiburan-hiburan Instant yang di komandani Televisi dengan berbagai variasi acaranya menawarkan sesuatu yang lebih nyaman di otak dan lebih murah biayanya.
Sastra harus membuka diri dan jangan terkungkung oleh sebuah “Patron yang berpendar”.Karya sastra tidak boleh terkungkung dalam kelompok-kelompok sastra yang sekarang sebagai pemegang Tafsir di berbagai media. Sastra harus lebih dekat dengan masyarakat bukan siswa. Sastrawan tidak perlu takut jika sastra dilepas ke masyarakat, sastra akan kehilangan kesakralanya dan keelitanya. Sebab dari Kwantitas pasti akan melahirkan Kwalitas. Akan sangat Indah jika warna sastra berwarna-warni, sehingga masyarakat dari berbagai kelompok akan menganggap sastra adalah bagian dari hidupnya. Bukan milik para sastrawan saja atau kelompok-kelompok sastra. Untuk saat ini, ternyata Puisi Teka-teki karya mahawan masih Relevan.
Saya ada dalam puisi/saya ada dalam cerpen/saya dalam novel/saya ada dalam roman/saya ada dalam kritik/saya ada dalam esai/saya ada dalam wc//siapakah saya?/jawab:komplotan sastra//
Bogor, 2007
Moch Arif Makruf
ALUMNI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
Penggiat di SAINS,Sajogyo Inside Bogor
Anggota KMB(komunitas menulis Bogor)
Beberapa Puisi saya tergabung dalam antologi bersama penulis muda,yang terbit tanggal 7 agustus 2007
Beberapa tulisan saya baik berupa Opini,cerpen,puisi dan esai sastra pernah dimuat di harian suara Karya,surya(jawa Timur),Pakuan Raya(bogor),majalah anak orbit,Batam Pos dan lain-lain.)
Perumahan Bukit Mekar Wangi
Blok C8 No.6
Kec.Tanah Sareal,Ds.Mekar Wangi Bogor-Jawa Barat
Telepon : (0251)7536078/0815 6544964
Email:Endoetmembara@gmail.com/arifmakruf@telkom.net
Komentar
Posting Komentar