Kata
Bakdi Soemanto
Penerbit Bentang
Cetakan Pertama, Oktober 2007
136 Halaman
ISBN 978-979-1227-14-8
Beberapa puisi dari antologi "KATA" :
Penyair
Bersama sebatang rokok
yang saya nikmati
dengan minum kopi
saya telah berubah
menjadi asap
dan terbang
membubung tinggi
ke langit mimpi
di mana hidup
tak dibagi malam dan hari.
"Penyair,
kembali ke bumi!"
Saya tersentak
dan sadar
akan tubuh
yang badani.
"Penyair,
kembali ke bumi!"
Suara keras
mengguncang diri.
Saya melihat ke kiri
dan ke kanan
lalu menatap tangan saya sendiri.
Astaga
di tangan saya hanya
sebatang pena
dan secarik kertas
di atas meja.
Benarkah
saya ingin mengubah
dunia?
[Oberlin, 1987]
Ulang Tahun
Hari ini ulang tahunmu
kata lelaki itu
kepada sebuah foto.
Lalu,
lelaki itu mengubah dirinya
menjadi sebuah foto pula.
Di jagad foto itu,
mereka bercintaan,
tanpa mengenal siang dan malam.
Mereka merasa tanpa batas
dan memang berada di luar ukuran kita.
Hari ini ulang tahunmu,
kata lelaki itu kepada sebuah foto.
Lalu hari berubah menjadi biru,
hidup seperti fatamorgana,
dan musik walsa terdengar perlahan
Sejarah memang begitu:
setengah fakta
setengah fiksi.
Maka perlu ada koreksi,
perlu ada reinterpretasi.
Gitar
Gitar itu membuka mulutnya
ke dalamnya seorang anak
memasukkan kepalanya
tepat pukul dua belas siang hari,
pada hari Minggu.
lalu dari pantatnya
terdengar bunyi aneh,
dan disusul bau busuk.
Orang-orang mencoba menebak
masukkan apa yang tersedia
dalam lubang mulut gitar itu?
Ataukah hari dimasukkannya
kepala berpengaruh besar?
Bunyi aneh terus terdengar sepanjang hari
dan bau busuk bervariasi
memenuhi ruangan itu
Dunia dalam gitar
tetap sebagai teka-teki.
[1984]
Ledek Munyuk
Terlintas, kita adalah ledek munyuk itu
menari diiringi tabuhan
Membawa payung dan jumpalitas
Menarik gerobak tanpa tujuan.
Jika si munyuk bosan dan tak hiraukan
irama gendang
Lari mencolek tangan perawan tengah nonton
cemeti memukul punggung sebagai hukuman
Seiring irama gendang kehidupan
Kita pun menari
Hingga batas waktu
Tatkala tirai panggung turun
Dan pertunjukan usai
Lenyaplah kita tanpa catatan.
[MINGGU PAGI, Juni 1995]
Kota
Kota tertidur
di dalam hatiku
Hatiku tertidur
di dalam kotaku
Angin bersembunyi di rumahnya
Dan sepi menjelajahi seluruh kota.
Tak ada bunyi, tak ada suara
Pengertian muncul bukan karena makna kata.
Kota tertidur
di dalam hatiku
Setelah lelah berteriak
menyatakan adanya.
Dan engkau?
Engkau menggeliat di sisiku
Karena inilah saatnya
Kita berdekapan kembali;
Dengan diam-diam
tanpa bahasa kata
Kota yang tertidur
tempat kita diam-diam
membangunkan kembali gairah saling percaya
yang lesu, karena hingar-bingar kota:
di mana penghianatan
terbuka kemungkinannya.
Kota tertidur di dalam hatiku
Menggeliatlah engkau!
Mendesahlah engkau!
Ini saatnya!
[1982]
Komentar
Posting Komentar