Langsung ke konten utama

Ziarah Ke Reruntuhan Makammu

"Apa yang bisa aku baca dari reruntuhan makammu
yang kini tinggal lubang kakusnya itu, "
negitu akhir puisi yang aku tulis persis ketika
waktu sampai titik dan tubuhku meleleh demikian cepat

ziarah itu, ya, ziarah ke reruntuhan makammu itu
ternyata tak aku gerayangi sejak mula. Yang aku bayangkan:

"Seorang lelaki tua, berbaju terusan, berterompah
kulit semakan, dan selalu memintal tasbih antara
atas antara bawah,"

seperti asap yang digertak angin, kesaput
batu-batuan berlumut, undak-undakan kelabu, yang
aku rasa; lebih mirip gergaji daripada sesaji

dan dunia sana, duniamu tempo dulu
yang berbinar oleh umbul-umbul, kuda-kuda dan para
syuhuda jadi keceblong-keceblong

yang rasanya begitu gerah untuk metamorfosa
apalgi memahat perjamuan antara aku dan kau :
"Pertemuan antara pencari dan yang dicari,"

"Tapi , apakah memang mataku yang terlalu waras
sehingga tak sanggup menangkap ketakwarasan ini?"

Akh, aku pun cuma bisa kembali membacai apa yang ada
di reruntuhan makammu itu, dan kembali simpulkan:

"Memang cuma lubang kakus,"

sebuah pembuangan sisa-sisa, yang melintas
antara mulut dan dubur, yang bergerak antara vitamin
dan sampah akhir

kemudian, menyeret lelehan-lelehan tubuhku
ke tempat-tempat; dimana, orang-orang tak lagi menyapa
dengan bibir

tapi lewat kangkangan-kangkangan kakinya, yang persis
di tengahnya, aku lihat lubang-lubang syawat merayu
segala gerak yang lewat

segala gerak yang menyusun bangkai-bangkai laki dan perempuan, menjadi sedot-

sedotan dengan nganga yang cuma dua saluran:

ya, apa yang bisa aku baca dari reruntuhan makammu
yang kini tinggal lubang kakusnya itu ....

Gresik 1995

Puisi H.U. Mardi Luhung diambil dari Antologi Puisi "Terbelah Sudah Jantungku"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...