Langsung ke konten utama

Sajak Fitri Yani

subuh
; a. h


“aku ingin sampai kepada lelap
maka izinkan aku bermalam di matamu
sebelum subuh menjadi dongeng bagi pasukan kabut”

perbincangan belum selesai
namun kautergesa menemui pagi

padahal masih kuhayalkan karam
di matamu yang mengandung garam
di bibirmu yang berpoles kelam
sebab di tubuhku ada sunyi yang melekat
menghujat gelap dalam perputaran waktu

tapi tak apa!
Biarkan kumaknai langit yang masih pekat
agar pasukan kabut menjelaskan perkara subuh
yang menjadi doa-doa di tubuhmu
seperti sebuah perkiraan yang suatu saat
berubah menjadi pasti


Januari 2008

Komentar

  1. Agit Yogi Subandi12 Maret 2008 pukul 02.18

    :“aku ingin sampai kepada lelap/ maka izinkan aku bermalam di matamu/ sebelum subuh menjadi dongeng bagi pasukan kabut”, betapa ia ingin kembali kepada harapan-harapan yang sempat sirna ditunjukan oleh penulis pada awal larik ini. seperti seseorang yang ingin kembali kepada rumah. di mana ia dapat mengembalikan dirinya yang mengambang dan tak tentu arah, dan ditambah lagi dengan kalimat "sebelum subuh menjadi dongeng bagi pasukan kabut" yang menggambarkan sesuatu yang asap atau mimpi atau bentuk yang tak tentu.

    :"perbincangan belum selesai/ namun kautergesa menemui pagi", mungkin penulis ingin menyatakan kegelisahan tentang hatinya, namun yang diharapkan untuk menjadi tempat kembalinya, bergegas menemui pagi dan si penulis kembali kepada tak terarahnya dirinya. tapi kata-kata ini kemudian ia tegarkan kembali di akhir bait sajak ini dengan kata-kata: "tapi tak apa!/ Biarkan kumaknai langit yang masih pekat/ agar pasukan kabut menjelaskan perkara subuh/ yang menjadi doa-doa di tubuhmu/
    seperti sebuah perkiraan yang suatu saat/ berubah menjadi pasti/"

    pada sajak subuh ini yang diperuntukkan seseorang ini, penulis menyampaikan kegelisahannya yang belum selesai. sebuah proses pencarian diri yang dilematis dan dramatis ditunjukkan dalam sajak-sajak Fitri Yani ini. namun di sisi lain, hal-hal yang ia tunjukkan tadi ia ungkapkan dengan sangat sederhana. proses pengendapan yang matang. pada akhirnya, setiap orang memiliki tempat kembali; di mana setiap orang akan kembali menjadi dirinya sendiri. mungkin tempat kembalinya itu rumah, kekasih, atau tempat yang sepi atau apa saja di mana ia dapat merenungkan dirinya dan menetralkan emosinya. inilah yang ingin digambarkan pada sajak Subuh ini. tetapi tak semua harapan itu dapat kita dapatkan dengan mudah. ada proses-proses yang menuntut hal-hal di dalam diri kita. terima kasih. teruslah menjadi yang terbaik Fitri.

    BalasHapus
  2. yang pertama, terimakasih atas semuanya abang....kebersamaan yang tak tahu akan bermuara di mana. kau pernah mengatakan, siapa yang tak pernah terluka, siapa yang tak pernah mencari, semua mencari, semua berjalan, semua terluka.....dan lagi-lagi, yang menjadi soal adalah kapan kita akan sampai tapi sampai kapan kau akan setia menemaniku berjalan...kita sudah minum anggur bersama. melewati malam yang pernah bercerita tentang kisah remaja yang dilanda asmara....akirnya, teruslah senandungkan lagu-lagu dari petikan gitarmu. sampai aku benar-benar mabuk dan ingin kembali ke suatu tempat yang entah.

    BalasHapus
  3. sudah lama sekali ini tertulis, ya. aku sendiri hampir lupa dan heran saat menemukan ini lagi..hmmm....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...