Novel pertamanya berjudul Matahari Di Atas Gili diterbitkan tahun 2004. Selain itu dia juga membuat Narasi : Lukisan anak-anak Aceh ~ Menyapa Pagi Yang Baru (2006). Puisi dan cerpen pernah dimuat di berbagai Media cetak Pikiran Rakyat, Republika, Kompas, Sindo, M2 Media, Jawa Pos dan Jurnal Perempuan.
Aktivitas-aktivitas :
• Bergabung dengan Seniman Daerah, mengadakan Observasi Budaya seJawa-Bali (1999)
• Pernah menjadi guru sukarela di P.Gilli Jawa Timur (2000)
• Ikut mensosialisasikan Negara Kemaritiman melalui Budaya Pesisir dan Gemar Membaca pada daerah pesisir di Jawa – Madura (2003)
• Bergabung dengan UNFPA (United Nation Population Fund) dalam program “Psychosocial Terapy Art” bagi para pengungsi korban gempa dan tsunami di Banda Aceh, Aceh Jaya, Aceh Besar (NAD) (Juni-September 2005)
• Sebagai pembicara dalam bedah buku sastra di IAIN Jakarta, UNPAD Bandung, IKIP Malang, RESTO GAMA Malang dan UNEJ Jember
• Sebagai Nara Sumber bedah sastra di radio MAS FM – Malang, radio Suara Jember FM, M2 FM radio - Bekasi
• Membuat Narasi Lukisan para korban gempa dan tsunami di NAD yang akan di bukukan oleh UNFPA (Maret 2006)
- Sebagai trainer di workshop penulisan di pondok-pondok pesantren, dan komunitas-komunitas sastra.
Berikut percakapan Puitika.net via e-mail dengan penyair , cerpenis dan novelis perempuan , seorang Lintang Sugianto :
Bisakah anda ceritakan masa kecil anda? Sejak kapan anda mulai menulis puisi dan apa yang menjadi pendorongnya?
~ Dulu, ketika saya tumbuh menjadi gadis kecil, saya bukanlah tergolong gadis kecil yang menggebu-gebu, tetapi pemalu, dan penuh kekhawatiran. Saya lebih sering menarik diri dari keramaian, menutup diri di dalam kamar dengan di temani tumpukkan buku-buku. Orangtua saya mewajibkan saya untuk membaca. Setiap pulang sekolah, di meja makan, di samping piring dan menu makanan siang, selalu ada sebuah buku baru dengan catatan kecil di atasnya. Dan saya merasa bosan dan enggan, membaca catatan bernada perintah itu setiap hari: Baca! Dan ceritakan kembali nanti malam. Seusai makan siang, saya segera berlari ke halaman belakang rumah. Lalu, saya memanjat pohon belimbing, dan berlama-lama duduk di dahan sambil membaca buku yang di wajibkan. Pada akhirnya, pohon belimbing itu telah menjadi buku harian saya. Diatasnya, saya banyak melewatkan waktu untuk mencari potret diri yang gembira, dan berkhayal menjadi gadis kecil periang yang dapat di terima di kalangan teman-teman. Meskipun, setiap kali turun dari pohon belimbing, saya tetap merasa tak berhasil. Perubahan tidak terjadi pada diri saya, saat itu. Saya tetap tumbuh menjadi gadis sensitif dan pemikir. Di atas pohon belimbing, saya dapat dengan leluasa untuk marah, menangis, terluka, bahkan fantasi saya dapat berkelana bebas dan jauh, membentuk kisah dramatis, menghadirkan seorang pangeran dengan cinta, yang menunggu saya turun dari atas pohon. Di atas pohon belimbing itu, saya merasa memiliki otoritas untuk menjangkau dunia melalui medium buku dan ide-ide. Ide-ide itu berwujud nyata, ketika huruf-huruf dalam buku-buku itu menjadi ilustrasi yang hidup. Saya bermain-main sendiri dengan mereka – huruf-huruf itu. Saya menyadari betapa berharga kebersamaan saya dengan pohon belimbing di periode hidup saya saat itu. Dan bahwa, walaupun menyimpan banyak ketidaktahuan tentang hidup dan dunia, pengalaman itu tidak tergantikan oleh apapun. Di sanalah, di masa kecil saya, masih di penuhi tarian saya bersama kupu-kupu. Mengubur semut-semut yang mati. Menangisi pohon pepaya yang telah lama tumbuh, tetapi tak memiliki kembang dan buah. Atau bertanya kepada malam, di balik jendela kamar, mengapa bintang tak merendah? Saya merasa, kala itu, saya berada di fase pembelajaran sebagai perempuan, sebagai manusia. Saya bahagia...
~ Ayah saya mempunyai kebiasaan menulis surat kepada saya dan menyelipkannya di bawah pintu kamar tidur saya. Kebiasaan itu ia lakukan, setiap kali ia mendapati saya melakukan hal yang membuatnya marah, senang, ataupun berupa sebuah nasehat. Dan saya selalu membalasnya – mengungkapkan argument-argument saya di dalam tulisan. Kemudian saya pun melakukan hal yang sama, yaitu menyelipkan surat balasan itu di bawah pintu kamar tidur ayah saya. Ternyata kebiasaan itu membuat saya cukup percaya diri dalam merangkai kata, dan menuang ide-ide menjadi sebuah kalimat atau puisi. Pada saat kelas 2 SMP, saya merasa hidup saya telah berubah, sejak berkenalan dengan seorang gadis kecil – 9 tahun – bernama Lastri. Ia, pengemis gelandangan yang saya jumpai di Alun-alun Kota Malang. Suatu hari, saya bermain ke tempat tinggalnya – sebuah tempat penampungan pengemis, yang terorganisir – di Kuto Bedah. Saat itu, setelah mendengar cerita dari Lastri yang polos, saya menemukan kehidupan Lastri yang terguling ke dalam jurang kengerian yang berdasar. Ia telah di calonkan sebagai pelacur, saat usianya mencapai 11 tahun. Saat Lastri bercerita, saya hampir tidak dapat menerjemahkan ekspresi wajahnya yang biasa saja, bahkan tidak ada ketakutan. Tetapi dari sinar matanya saya dapat memastikan bahwa ia belum sampai pada sebuah pengertian yang jelas, mengenai arti sesungguhnya pelacur itu. Saya berusaha menjelaskan dan mengajaknya pergi. Tetapi, Lastri menolak. Dihadapan beberapa pengasuhnya yang terlihat mabuk, saya menggenggam tangan Lastri. (Hingga saat ini, saya masih mengingat wajahnya dan kejadian itu) Dan dunia terasa ambruk berserta atribut-atribut positifnya, ketika saya tak bisa membawa Lastri pergi. Saya menangis. Tangisan itu menjadi sebuah puisi pertama yang saya cipta. Sebuah puisi panjang, personal, penuh teriakan, dan serupa doa. Dan puisi – Setaman Seribu Dunia – itulah, yang pada akhirnya menjadi “ibu” dari seluruh puisi-puisi saya.
Literatur-literatur yang mempengaruhi karya anda?
Saat saya remaja, hampir berminggu-minggu lamanya, saya merasa sulit menghilangkan jejak kisah “Looking For Alibrandi” - karya Melina Marchetta – dari pikiran saya. Saya masih dipenuhi keharuan dan kekaguman pada seorang perempuan berdarah Italia yang lahir dan dibesarkan di Australia, lalu, menghadapi pertentangan nilai-nilai konvesional dan modern yang di temuinya sehari-hari. Saya akuhi, dari novel itulah saya berdiskusi dengan teman-teman, dan mulai belajar pula menimbang baik buruknya sesuatu. Tidak hanya melalui batasan-batasan absurd di sekolah, walaupun saat itu, saya bukanlah tergolong anak “gaul”. Namun, di perpustakaan kecil saya – dulu hingga sekarang – serial cerita remaja “Girl Talk” (Sidney Sheldon), “The Earth Gods” (Khalil Gibran), “Musyawarah Burung” (Farid Ud – Din Attar), Jalaluddin Rumi, Hamka, “Catatan Pinggir” (Goenawan Muhamad), hingga Shakespeare tetaplah bergiliran menemani malam-malam saya, meskipun telah berulang kali saya baca. Akhir-akhir ini, saya lebih menyukai buku-buku karya pengarang India. Saya sedang mengoleksi buku sejarah India, hingga “Aparajito” (Bibhutibhusan Bando padhyay) atau serial “Krishnamurti”. Meskipun saya juga mengagumi “That Other World That Was The World” (Nadine Gordime). Yang menceritakan tentang peran dan pengalaman pribadinya sebagi penulis di masa pemerintahan Apartheid Afrika Selatan. Tetapi perlu saya tegaskan bahwa observasi fisik secara khusus lebih berpengaruh terhadap seluruh karya saya.
Bentuk seni lain yang mempengaruhi anda? Dan seniman yang memberikan inspirasi pada anda?
~ Menyanyi dan menari adalah kegiatan yang tak pernah lepas di dalam keseharian saya. Meskipun hanya menggerakkan kedua tangan dan bersenandung, keduanya saya lakukan dengan perasaan sungguh-sungguh, di saat saya memerlukan sebuah “pause” di tengah-tengah waktu ketika saya sedang menulis.
~ Segala sesuatu yang ada di semesta pikiran manusia adalah energi. Di sanalah, muara bagi persatuan ide yang tak terbatas, semua pengetahun, dan penemuan. Secara alamiah, energi itu tumbuh bersamaan dengan kelahiran manusia. Kemudian ia – energi – berkembang menjadi energi positif akibat magnet energi yang secara elektris tak berkesudahan menyerap dan memberi kemurnian cinta, di sekitar kehidupan manusia. Inspirasi, penemuan, dan penciptaan adalah bagian daripadanya. Sebagai manusia, saya bersyukur tiada henti, dengan dihadirkannya dua magnet energi yang secara berkesinambungan di dalam hidup saya. Dua magnet energi itu, ialah Ayah saya, dan lelaki berambut panjang yang pada akhirnya menjadi suami saya, yang selalu saya panggil dengan sebutan Abang. Dari saya kecil hingga dewasa, Ayah saya berperan total sebagai guru kehidupan. Setelah Ayah saya meninggal, peran itu di lanjutkan oleh Abang. Saya mengagumi mereka. Dan merekalah yang memberi inspirasi terbesar bagi saya.
Penyair-penyair kesayangan anda?
Setelah Jallaludin Rumi, saya mengagumi Rendra. Mereka sama-sama menggetarkan. Mereka bergairah. Mereka sama-sama memiliki mata cinta yang tajam. Mereka sama-sama memastikan diri – dengan sikap teguh – bahwa mereka terkait sepenuhnya dengan alam semesta, kemudia menjelajahi pengalaman spiritual, hingga tingkat-tingkat tertentu. Dan keduanya, sama-sama meraih kebesaran di zamannya masing-masing, karena kesabaran, cinta dan rendah hati.
Sebagai seorang istri, ibu, aktivis, dan juga penulis, bagaimana anda mengatur waktu anda itu semua? Apakah keluarga memberikan dukungan?
Saya merasa tidak bergerak bersama waktu seperti perempuan pada umumnya. Tetapi, saya bahagia melewati 1x24 jam, tanpa tersisa dengan kesia-siaan. Jika saya sedang tidak memiliki aktivitas diluar, maka pukul 14.00 siang – saat anak-anak pulang sekolah – adalah waktu kami sekeluarga berkumpul. Kami bermain, berdiskusi, dan menyelesaikan berbagai hal. Di waktu-waktu itu, saya berwujud sebagai seorang ibu seutuhnya. Kebersamaan saya dengan anak-anak berakhir ketika pukul 21.00 malam. Dan saat mereka tertidur, waktu saya di dominasi penuh oleh Abang. Di ruang waktu yang personal itu, saya pun telah berdiri di depan Abang sebagai istri, kekasih, teman, terkadang ibu, atau murid yang total dan patuh. Kami saling menyatakan cinta, saling mengevaluasi, saling menyerap dan memberi makna sprirtual, sekaligus makna batin yang sangat mendalam. Ketika saatnya tiba, kurang lebih pukul 01.00 dini hari, dengan sikap elegan, Abang sering mengingatkan saya agar segera memanjat “Pohon Belimbing”. Seketika saya berubah menjadi diri saya sendiri, bahkan terkadang seperti anak kecil yang amat gembira berlari ke arah, “Pohon Belimbing”. Tentu saja, pohon belimbing yang saya panjat sekarang, bukanlah berbentuk pohon, berdaun, berdahan, dan berbuah. Tetapi sebuah metafora bagi compiuter atau alat tulis saya, yang saya perkenalkan kepada anak-anak dan Abang secara akrab. Kegiatan menulis, setiap hari saya lakukan hingga pagi hari. Setelah sholat subuh dan makan pagi bersama, saya melepas keberangkatan anak-anak saya ke sekolah, lalu, saya berangkat tidur hingga pukul 12.00 siang. Pada awalnya, membiasakan kebiasaan yang tidak biasa, adalah tidak mudah dan berat. Namun, setelah hampir 7 tahun, saya membiasakan pemakaian waktu yang tidak masuk akal ini, saya justru mendapatkan perkembangan pemikiran yang sehat. Barangkali, ini menjadi hal yang sulit untuk anda yakini, jika saya katakan bahwa di tengah malam, di keheningan, saya justru seperti kanak-kanak yang menimba ilmu tentang estetis dari kehidupan yang lurus, dan menimba energi kelembutan. Dan bukankah dua hal di atas adalah bekal untuk mendapatkan pena yang tajam?
Anda menulis banyak puisi, cerpen dan terakhir menulis novel, bisa anda ceritakan sedikit tentang karya novel anda yang terbaru “Matahari Di atas Gilli”?
Sebenarnya “Matahari Di atas Gilli” sudah pernah diterbitkan oleh Penerbit Bima Rodheta – 2004. Tapi, saya merasa proses pengemasan pada saat itu kurang menyenangkan;tidak ada editor, pendistribusiannya pun tidak gesit dan nyaris tidak bergerak. Saya pun mengakuhi naskah awal, memang kurang tersajikan dengan sudut pandang yang luas, juga belum matang. Lalu, pada tahun 2006, saya merevisinya selama 1 tahun, dan pada bulan Juli 2007, “Matahari Diatas Gilli kembali di terbitkan oleh Penerbit Republika. Menulis “Matahari Diatas Gilli”merupakan sebuah pengalaman yang berguna. Pengalaman itu membuat saya mengalami hal-hal yang mengejutkan, setiap kali saya berusaha keras menghadirkan Pulau Gilli kembali dan hadir seutuhnya di hadapan saya, dan di atas kertas. Yang paling penting, saya menyadari betapa berharga dan formatifnya periode naluri imajiner saya, meskipun banyak tantangan. Setidaknya, saya merasa siap untuk menceritakan kehidupana masyarakat Pulau Gilli yang terasing, teringgal, bahkan tak mengenal secara pasti negaranya sendiri. Matahari Di atas Gilli adalah kisah yang jauh lebih mendekati kebenaran, karena saya mengenal masyarakatnya, dan saya hidup di tengah mereka selama 6 bulan. Di dalam novel itu, saya menghidupkan tokoh perempuan bernama Suhada, yang tidak pernah mengenal kasih sayang orangtuanya. Tetapi ia berdiri tegar di atas nasibnya. Setelah ia menikah dengan Suamar – lelaki asal P. Gilli – hidupnya berubah total dengan cara yang sangat tak terduga. Suhada menjadi antusias, dan energetik, ketik ia mulai jatuh cinta pada anak-anak Gilli, masyarakat dan alamnya. Awalnya, ia hanya bersahabat dengan Tuhan saja. Karena seluruh masyarakat Gilli menolak dirinya, saat ia mengajar anak-anak mereka menulis dan berbahasa Indonesia.
Bagaimana proses kreatif anda menulis puisi?
Perlahan-lahan saya mulai fasih terhadap hal-hal di sekitar hidup saya, termasuk akrab dan menerjemahkan bahasa keheningan itu sendiri. Keheningan menjadir sebuah lorong panjang bagi seluruh ide-ide saya yang bersenandung pelan tapi berirama. Awalnya, kata-kata berkelebatan, sebagai penterjemahan bahasa nurani saya. Biasanya, itu terjadi sesaat setelah saya bergesekkan langsung dengan idium yang berhasil menempati hati saya. Yang tak bisa saya hindari, adalah hati saya selalu bersikap setia kepada apapun yang tertindas – tanpa bicara benar atau salah. Segalanya terjadi sangat singkat, dan refleks. Seperti ada elektroda yang menempel di kepala, lantas, bagaian dalam tubuh saya berguncang seirama dengan aktivitas listrik itu. Di saat itulah, secara tersembunyi, saya berdialog panjang dengan idium, kemudian memutuskan, Saya menjadi Engkau. Saya tetaplah Lintang. Tetapi “Engkau” bisa berbeda-beda dan berjumlah. “Engkau” adalah wujud dari Stunami di Aceh. “Engkau” adalah gempa di Jogja, Lumpur Panas Sidoarjo, Lastri, Pengemis anak-anak di lampu merah, Pelacur, Indonesia atau Gilli. Dan “Engkau”, juga adalah cinta manusia kepada Tuhannya. “Engkau”, menjadi berkembang, berganda menyeret-nyeret saya mengembara ke masa silam yang amat jauh, juga ke sebuah tempat yang mungkin tak dapat di capai secara fisik. Pada dasarnya proses penciptaan karya sastra; novel, cerpen, puisi, harus di letakkan di dalam hubungan antara Tuhan, alam dan manusian. Tuhan, sebagai Maha Pemilik Ilmu memerlukan semesta untuk menampakkan kehadiranNya. Sedangkan semestam, ia hanya sebuah alam yang bisa; ada, tak bisa di maknai, apabila tanpa manusia, karena hanya manusia yang dapat memaknainya dengan peristiwa yang di alami manusia. Terakhir, menurut saya, karya sastra – novel, cerpen dan puisi – adalah tubuh pengarang. Pengarang harus berani menjauhkan, mendiamkan, bahkan meniadakah dirinya sendiri untuk mencapai proses penciptaan tokoh, dalam alur, dan tema. Pengarang harus penuh kesabaran membuat terowongan yang terjalin antara Tuhan, semesta dan manusia. Kemudian ia harus berjalan mondar-mandir diantara ketiga hal itu. Tanpa keterikatan itu, sebuah karya sastra akan lemah, tak bertonggak. Ia tak dapat menyampaikan pesan moral bagi pembacanya.
Sebagai seorang perempuan, bagaimana kepentingan feminisme merasuk ke dalam karya puisi-puisi anda? Atau anda punya misi-misi lain dalam menulis puisi?
Revolusi yang tertuang di dalam tulisan – novel, cerpen, puisi – para penulis perempuan Indonesia memang merupakan konsekuensi wajar yang timbul dalam sebuah budaya massa. Hal itu sama seperti beberapa fenomen lainya: Feminisme merupakan konsekuensi dari kekuasaan patriaki, dan anarki adalah bias demokrasi dalam perlawanan menentang tirani kekuasaan tertentu. Namun, perlu disadari bahwa revolusi itu pun bagian dari evolusi. Fenomena-fenomena yang muncul pun merupakan dialetika yang terjadi dalam naungan evolusi. Sebenarnya perempuan memiliki kesempatan lebih untuk meredefinesi diri dalam peran sosialnya. Dan saatnya pula menerima kenyataan bahwa dirinya ialah bagian evolusi yang terjadi selama milyaran tahun, yang lalu. Saya kira, tak ada gunanya melawan hukum alam. Untuk lebih jelasnya, apa yang saya baca, apa yang saya tulis – novel, cerpern dan puisi – saya lalukan sebagai seorang manusia. Dalam proses penciptaan itu, saya merasa tak perlu terbatas dengan keperempuanan, dan tak perlu pergi dari keperempuanan saya. Jika memang “terlanjur” ada penulis/penyair pria dan perempuan, yang kemudian keduanya memiliki wilayah masing-masing, saya berharap sejogjanya keduanya saling menjaga citra sebanding. Meskipun, saya tetap yakin bahwa yang ada di dalam sastra hanya good writing and bad writing.
Bagaimana menurut anda penyair perempuan sekarang?
Usaha-usaha apa kiranya untuk membangkitkan perempuan menulis puisi dan berani mempublikasikan pengalamannya sebagai perempuan?
~ Tampaknya tidak ada alternatif lain, selain kita – penyair – tidak pernah kehilangan harapan pada kata, juga tidak pernah punya niat untuk membebaskan kata dari makna. Dan saatnya pula, perempuan lebih fokus meningkatkan potensi yang di miliki, dengan keunggulan di berbagai aspek kemanusiaan, termasuk di dalam sastra, di dalam kepenyairannya. Saya optimis, meskipun harus di ihktiarkan terus menerus bahwa perempuan mempunyai warna yang hangat, dan berkarakter kuat dalam meramu imajinasi dan realitas pada karya-karya puisinya. Asalkan, kita mau menyadari bahwa kata tidak bisa di murnikan, kecuali dengan memurnikan kalbu kita sendiri. Menurut saya, kata-kata yang muncul dari kemurnian kalbu akan punya kharisma sehingga bisa me-ruang dan me-waktu, lepas dari kamus, lepas dari sejarah, lepas dari daya korupsi manusia.
~ Perempuan harus menulis! Puisi adalah hal yan paling dekat dengan kehidupan perempuan. Hanya saja, perempuan seringkali tidak menyadari kehadirannya, dan tidak menghendaki untuk lebih jauh mengenalnya. Mari kita telusuri bersama-sama. Perempuan adalah makhluk yang memiliki tingkat kepekaan tertinggi dalam menggunakan panca inderanya, untuk menjangkau alam sekitar, dengan pandangan dan rasa secara detail, dengan cinta. Sementara cinta itu sendiri ialah motorik sempurna untuk menulis. Melalui “Kata-katanya sendiri” (in her own words), perempuan dapat memulai membentuk sebuah kalimat, sebagai penterjemahan bahasa nuraninya. Sedangkan kita sama-sama tahu, bahwa akurasi dalam karya seni/karya sastra terletak pada kejujuran. Bukankah cinta dan kejujuran itu tak berjarak? Sekali lagi, perempuan harus menulis. Menulis adalah ungkapa kultural yang kuat utuk mengubah nasib perempuan. Oleh karenanya, perempuan diwajibkan memproduksi dan mengkonsumsi teks (menulis dan membaca). Hanya itulah, usaha satu-satunya yang dapat merubah perempuan untuk menjadi lebih berani mengakrabi suara hatinya, mengenal dirinya bahwa ia – perempuan – adalah subyek yang melakoni sesuatu, dan yag mempengaruhi sesuatu. Dengan menulis, perempuan akan mengkomunikasikan kekuatan ide-idenya: di baca, di suarakan dan di akuhi, sehingga ia berdaya untuk memberdayakan daya manusia di sekitarnya. Seumpama perempuan adalah pohon, generasi daun-daun yang menguning, runtuh, dan pupus adalah puisi-puisi. Pohon-pohon adalah rimba. Rimbunan daun-daun adalah kelahiran kolosal. Siapakah yang menandai musim semi? Jawabnya, adalah perempuan yang menjadi a good fighter dalam hidupnya. So, why don't you write?
Tiga kata yang mendeskripsikan diri anda?
Bacalah! Cintailah! Dan, tulislah!
Apa hal yang paling membahagiakan sebagai penyair menurut anda? Sifat terburuk dalam diri anda?
~ Barangkali kebahagiaan para penyair adalah kebahagiaan seperti yang saya rasakan: ketika saya berhasil menjadi “Engkau” di dalam sebuah puisi. Seandainya toh ada yang berbeda, tentu tak bergeser lebih jauh. Itupun, karena saya tak pandai menelusuri apa yang dapat membahagiakan penyair secara umum. Bukankah setiap penyair memiliki orentasi dan semesta yang berbeda-beda?
~ Saya sudah berusaha memeranginya, tetapi saya tetap mudah jatuh dengan rasa iba, menangis dan tidak tegas
Apa yang menjadi ketakutan terbesar dalam diri anda?
Saya takut tak lagi bisa membaca. Saya juga takut tak dapat lagi menulis. Tetapi, saya lebih takut jika saya tidak bisa lagi mencintai.
Makan untuk jiwa anda?
Selain membaca, saya memiliki jadwal atau hari yang sudah ditentukan untuk melakukan kegiatan observasi fisik, tanpa harus dengan sebuah rencana. Saat itu, hati saya berkuasa penuh untuk menentukan arah. Satu-satunya bekal yang saya bawa, hanyalah cinta dan siap berbagai. Sepertinya ini terdengar dramatis, klise, dan tampak terlalu dibesar-besarkan. Tetapi, dalam kenyataannya, bagi saya, semua itu terjadi senormal bernapas. Sebuah bagian yang rutin saya hadir di rumah sakit, di penjara, di pinggiran Jakarta yang kumuh, di kota-kota tertentu atau tempat ibadah. Tubuh saya seperti anak panah yang melesat, dan ketika saya menancap tepat di tengah-tengah mereka, saya telah menjadi bagian dari mereka. Yang saya tahu, tak ada yang membedakan di antara kami, selalin kami sama-sama mempunyai mimpi yang indah sebagai manusia. Sama-sama ingin sembuh dari penyakit yang ganas. Sama-sama ingin bebas. Sama-sama ingin berubah menjadi baik. Sama-sama ingin mendapat keadilian. Sama-sama ingin hidup yang layak. Anda tahu, dalam kebersamaan itu, kami saling memancarkan frekuensi tertingg, yaitu saling memberi cinta. Semakin besar rasa cinta saya kepada mereka, semakin besar pula kekuatan cinta yang mereka berika kepada saya. Adakah makanan lain bagi jiwa yang dapat memberikan kekuatan dinamis, yang mampu memberikan vitalitas bagi kebeningan pikiran, selain cinta? Tentu, anda mempunyai pendapat yang berbeda. Tapi, bagi saya, tanpa itu semua, saya seperti orang-orang di sawah. Hampa.
Dan apa yang menjadi resolusi anda di tahun 2008 ini?
Di tahun ini, saya harus merasa lebih bahagia dengan kumpulan naskah cerpen, kumpulan puisi, juga sebuah naskah novel, yang akan diterbitkan serentak, meskipun tidak pada satu penerbit yang sama.
Terakhir, puisi menurut anda?
Puisi itu bahasa jiwa. Sebuah bahasa yang lahir dari kejujuran, kemurnian dan ketulusan. Sebuah bahasa yang jauh dari rekayasa, dan tak dapat terkontaminasi dengan kepentingan-kepentingan. Ia, adalah bahasa yang menerjemahkan bahasa nurani penyairnya. Bukan lahir dari kamus, atau dari katalog. Saya selalu katakan kepada setiap orang, bahwa saya memimpikan bahasa jiwa dapat menjadi bahasa Nasional, atau Internasional. Sehingga tak akan ada perang, tak ada penindasan, ataupun ketidakadilan. Semua bicara tentang cinta, dan berbahasa cinta.
Beberapa Puisi Lintang Sugianto
Amnesia
Daun daun tua
Hutan yang merah
Adalah negeriku
Pagi itu…
Matahari duduk bersila
Ia mendongengkan kekuasaan
Orang orang besar berdatangan mengoles gincu
Mukanya cantik
Mereka memakai dasi
Mereka berebut naik panggung
Mereka berebut bicara
Daun daun kemanusiaan
Daun daun moral
Berjatuhan
Adalah negeriku
Siang itu…
Matahari tertawa sambil membaca mantra
Amnesia…amnesia…amnesia…amnesia…
Orang orang kecil mengencangkan sarung
Mereka menari mengeliling panggung
Mukanya pucat
Mereka lupa sejarah
Lupa lapar
Lupa siapa dan siapa
Lupa…
Daun daun terkulai
Daun daun terluka
Daun daun kumal
Adalah negeriku
Malam itu…
Burung hantu mencatat buku harian
Ratusan tangan berkuku panjang
Berlumuran darah
Sedang berpesta di Hotel mewah
Seusai mencuci tangan
Daun daun busuk
Hutan yang kumuh
Matahari berkunjung setiap pagi
Amnesia…amnesia…amnesia…amnesia…
Orang orang besar berdatangan lagi
Amnesia…amnesia…amnesia…amnesia…
Kemanusiaan lagi
Amnesia…amnesia…amnesia…amnesia…
Moral lagi
Amnesia…amnesia…amnesia…amnesia…
Orang orang kecil lagi
Amnesia…amnesia…amnesia…amnesia…
Daun daun lagi
Amnesia…amnesia…amnesia…amnesia…
Kuku kuku panjang lagi
Amnesia…amnesia…amnesia…amnesia…
Negeriku
Negeriku
Negeriku
Negeriku
Amnesia…
Lintang Sugianto
Pondok Pesantren Darussalam ~ Banyuwangi
28 June 2007 at 03.03
Api Kecil
Biarlah aku menjadi api
pada damar yang menempel di dindingMu
Meski tak layak cahayaku menyamai matahariMu
Api yang tak benderang
Api yang selalu dipermainkan angin
Tetapi aku ialah api yang ingin menyala
selama-lamanya untukMu
Meski minyak telah kering pada sumbu
–Lintang Sugianto
* Api Kecil adalah puisi yang di tulis oleh tokoh Suhada, di Novel Matahari Di atas Gilli
Bicaralah, Mak
Sudah jauh aku berlari, Mak
Tetapi debu-debu masa kecilku terus mengejar dan menggulungku
Maafkan aku, Mak
Aku telah membuka almari tua kita
Tetapi mengapa semua catatanku hilang
Mengapa tak kutemukan nama seorang lelaki disana
Apakah benar burung-burung berwarna merah itu terlalu jauh membawanya berlalu sehingga ia lupa
Melupakanmu
Juga tentang aku
Lalu, baju hangat siapa yang kau pintal dengan airmatamu setiap malam itu, Mak
Dan mengapa bunga-bunga bungur di kebun belakang rumah kita selalu bersemi
Siapa yang menyebarkan biji-biji itu untuk kita, Mak
Siapakah pula yang mencangkul ladang kita setiap pagi
Bicaralah, Mak
Karena lelaki berbau tembakau itu benar-benar kurindukan sebagai ayahku
Dan hari ini aku tak kuat lagi berlari karena luka di kakiku semakin parah
Lintang Sugianto
Bekasi, 29 Desember 2006 (dini hari, 3:27)
maafkan
BalasHapusaku ingin berguru...
ajari aku
menjadi aku (paling tidak)
atau mungkin jejak langkah
yang kau tapak
ku pijak dengan tapak ku
ajari aku
mengenal"nya"
membenamkan diriku hingga padu
sepenggal kepala (pun jadilah)
tubuhku merasakannya saja sudah cukup
sampai aku bisa perlahan menyelaminya
hingga ke ubun-ubun
Salam Ibu...
BalasHapusSemoga TVRI terus eksis bersama Ibu Lintang dalam membumikan dunia sastra. siapa?
salam, syam_stamoe@yahoo.co.id