Langsung ke konten utama

Kerajaan Pemabuk

Meja persegi berpelitur separoh, tuak dan tambul
berdetak. Sambil ngelindur, kita lihat bulan
lorotkan engselnya:
"Ini malam kerajaan pemabuk!"
setelah itu, kau terus terbang ke sorga
atau justru aku yang terkapar di kolong-kolong
ini memang sudah amsalnya
seperti amsal bumi yang ringsek. Sebab,
terlalu lama menanggung beban keberanak-pinakan
yang tak terduga:
"Tapi, mengapa selalu saja kau ilusikan
kebun-kebun bening di ubun-ubunku. Padahal, itu
kau tahu cuma batok berkarat?"
mungkin, ya, mungkin saja, kau kelewat akrab dengan
pil-pil, sampai lupa pada apa yang kau lihat :
"Apakah aku daging atau lanskap, belulang-air atau tata-kota?"
yang melulur lewat kantong-garba, diselup di tiap
selangkang neon, yang persis diantara moncong-murnya
seseorang yang telah ketemu Maut, masih merasa sangat
sayang atas gemerincing-recehan
dan : "Oh, kemamang, kemamang, pemberhentian, hunus saja
pedangmu untuk ilusinya itu, " ilusi yang membuat siapa saja
untuk saling dekat, saling rapat, saling raba,
dan saling rasa, jika apa yang ada tak lebih serupa
belitan sang set
si penjaga jamban yang kecil, tapi siungnya selalu
menjilati pelir-pelir tersimpan
agar tak berlama-lama dalam kejantanan:
"Kejantanan?"
akh, lihat engsel bulan yang mulai bunting!

Gresik, 1996

Puisi H.U. Mardi Luhung diambil dari Antologi Puisi "Terbelah Sudah Jantungku"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...