Langsung ke konten utama

Bapakku Telah Pergi

Bapakku telah pergi
menemui pembakaran
ruang suci tempat selesaian

tapi ekor-ekor yang ditinggalnya membelit tubuhku
menciptakan jarak, yang diujungnya

masih dipegangnya
batasnya tak teraba
maka jadilah itu hantu

Bapakku telah pergi, memang
tapi hantunyanya itu demikian kuat
demikian mendesak

sampai bagian dalam tubuhku
bergetar, berpusar, seperti
tubir, seperti gerigir

si sayap-sayap tembikar
yang selalu melipatiku
seperti melipati ladang-ladang itu

tanah harapan, dimana
aku telah menyerahkan kesetiaan
bangkit dan runtuh, runtuh dan bangkit

dan gelembung yang bugil
lewat dua puluh jari aku pahit . Kuberi
mata, mulut, telinga, hidung, dan organ

lalu beberapa kata. "Hantu tadi,"
lalu beberapa ekor. "Ujungnya di Bapak,"
lalu sebuah meja, payung dan kursi

"Selamat datang," kataku

aku dan gelembung pun saling berkata
dan saling terbuka
seterusnya sebuah percakapan

demikianlah asal-mula
aku membikin sebuah lahan di gelembung
demikianlah seterusnya aku mengada

sambil terus dilipati hantu
sambil terus berpegangan pada ekor
yang ujungnya di Bapak

yang memberi nama pada
setiap nama yang kupanggil
dan kuseru

yang melingkupi bumi
dimana aku
terbaring atau berkelamin

menegak atau ditegakkan
menyedot atau disedot
menetak atau ditetak

lalu menempeli keningku
seperti tempelan tato kelabu
yang memancar bagai merkuri

kemudian merajut setiap
diri anak-anakku, dan anak
dari anak-anakku

dan membikin mereka percaya
jika tato kelabu dan lahan di gelembung itu
memang terwarisi atas atas kromosomku

dan bukan atas hantu:
"Hantu Bapak!"

Bapakku telah pergi, emmang
menemui pembakaran
ruang suci tempat selesaian...


Gresik 1995

Puisi H.U. Mardi Luhung diambil dari Antologi Puisi "Terbelah Sudah Jantungku"

Komentar

  1. maaf, hanya ingin bertanya saja kok :) ..

    H.U Mardi Luhung itu saya belum tahu beliau .. apa termasuk penyair

    baru atau sudah lama menjadi penyair ?? di Gramedia, saya rasa tidak ada

    buku antologi dengan judul itu .. kelihatannya sudah pengalaman dan dari

    kata - kata nya, setingkat dengan Apip Mustofa .. (secara pribadi,ya .. saya

    mengatakan masih harus belajar dari Gunawan Muhammad atau Sapardi) ..

    atau saya yang telat baca yaa :) ???

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007