Langsung ke konten utama

Tebaran Mega

stayz8.jpgKumpulan sajak ini ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam masa dua tahun : 1935-1936. Bisa dikatakan pada kurun itu, ia berada dalam suasana berkabung, karena wafatnya istri tercinta. Namun sikap optimisnya, nalarnya yang luas, mampu menghapus pilu, menghalau duka yang melandanya. Sutan Takdir Alisjahbana yang akrab dengan panggilan STA merupakan penyair angkatan pujangga baru. Beliau lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 dan tutup usia di Jakarta, 17 Juli 1994.

Tebaran Mega
Sutan Takdir Alisjahbana
Penerbit Dian Rakyat - Jakarta
Cetakan I, 1935
47 Halaman

Beberapa puisi dari Antologi Puisi "Tebaran Mega"

I. Kepada Anakku



Tiada tahukah engkau sayang,
Bunda pergi melawat negeri,
Belum seorang pulang kembali,
Ninggalkan kita sepi berempat?

Mengapa engkau gelak selalu,
Mengapa brgurau tiada ingat?
Pada muka tiada berkesan,
Pada bicara tiada bergetar.

Tiada tahukah engkau sayang,
Tiada insaf tiada 'ngerti
Bunda pergi tiada kembali?

Mengapa bicara sebijak itu,
mengapa tertawa gelak selalu?
Air mata pilu kutelan.

23 April 1935

II. Kepada Anakku



Aku meninjau kembang sepatu,
Larat berkembang di seberang jalan.
Bersorai-sorai kesuma memerah,
Dalam girang silau kemilau.

Daun kering gugur ke bawah,
Bunga kerisut menutup kuncup.
Siapakah yang melihat,
Siapakah yang teringat?

Sebab alam ialah hidup:
Bertempik sorak muda remaja,
Berseri bersinar tunas baru,
Sedihlah menyepi selara yang jatuh.

24 April 1935

Bertemu



Aku berdiri di tepi makam.
Suria pagi menyinari tanah,
merah muda terpandang di mata
Jiwaku mesra tunduk ke bawah
Dalam hasrat bertemu muka,
Melimpah mengalir kandungan rasa.

Dalam kami berhadap-hadapan
menembus tanah yang tebal
Kuangkat muka melihat sekitar:
Kuburan berjajar beratus-ratus,
Tanah memerah, rumput merimbun,
Pualam berjanji, kayu berlumut.

Sebagai kilat 'nyinar di kalbu:
Sebanyak it curahan duka,
Sesering itu pilu menyayat,
Air mata cucur ke bumi.
Wahai adik, berbaju putih
Dalam tanah bukan sendiri!

Dan meniaraplah jiwaku papa
Di kaki Chalik yang esa:
Di depanMu dukaku duka dunia,
Sedih kalbukuku sedih semesta.
Beta hanya duli di udara
Hanyut mengikut dalam pawana.

Sejuk embun turun ke jiwa
Dan di mata menerang sinar.

26 April 1935


Tiada Tertahan



Tanah dipijak serasa air,
Dahan dipegang menjadi awang,
Pandangan ke depan megabut tebal,
Menoleh belakang gulita semata

Terbang diri ditiup angin,
Tiada berarah tiada tertuju,
Terhempas ke bumi tertepuk ke batu,
Kejam didera ganas disiksa.

Ya Allah, ya Tuhanku,
Benamkan beta ke laut dalam,
Bakar beta di api nyala.

Sangsi begini tidak tertanggung:
Di laut tidak di darat tidak,
Segala penjuru kabut mengepung.

Awan Berkuak



Duduk beta merenung awan,
Bercerai menipis di langit biru.
Sayu sendu alun di kalbu,
Menurut mega berkuak menjauh

Wahai Chalik, mengapa kejam
Seganas ini hidup di dunia?
Mengapa gerang dicerai pisah
Segala yang asik bercinta?

Menangislah jiwa tersedu-sedu.

Mengalirlah air mata berduyun-duyun.

Dalam jiwa sedang meratap,
Dalam sukma pilu mengeluh,
Menyerbu sinar ke dalam kabut,
Menjelma kembali awan menjauh.

Beta melihat kilau bergurau,
Beta menyambut suria bersinar.
Segar gembira sukma menggetar
Menunda melanda pergi berjuang.

14 Mei 1935

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...