Tebaran Mega
Sutan Takdir Alisjahbana
Penerbit Dian Rakyat - Jakarta
Cetakan I, 1935
47 Halaman
Beberapa puisi dari Antologi Puisi "Tebaran Mega"
I. Kepada Anakku
Tiada tahukah engkau sayang,
Bunda pergi melawat negeri,
Belum seorang pulang kembali,
Ninggalkan kita sepi berempat?
Mengapa engkau gelak selalu,
Mengapa brgurau tiada ingat?
Pada muka tiada berkesan,
Pada bicara tiada bergetar.
Tiada tahukah engkau sayang,
Tiada insaf tiada 'ngerti
Bunda pergi tiada kembali?
Mengapa bicara sebijak itu,
mengapa tertawa gelak selalu?
Air mata pilu kutelan.
23 April 1935
II. Kepada Anakku
Aku meninjau kembang sepatu,
Larat berkembang di seberang jalan.
Bersorai-sorai kesuma memerah,
Dalam girang silau kemilau.
Daun kering gugur ke bawah,
Bunga kerisut menutup kuncup.
Siapakah yang melihat,
Siapakah yang teringat?
Sebab alam ialah hidup:
Bertempik sorak muda remaja,
Berseri bersinar tunas baru,
Sedihlah menyepi selara yang jatuh.
24 April 1935
Bertemu
Aku berdiri di tepi makam.
Suria pagi menyinari tanah,
merah muda terpandang di mata
Jiwaku mesra tunduk ke bawah
Dalam hasrat bertemu muka,
Melimpah mengalir kandungan rasa.
Dalam kami berhadap-hadapan
menembus tanah yang tebal
Kuangkat muka melihat sekitar:
Kuburan berjajar beratus-ratus,
Tanah memerah, rumput merimbun,
Pualam berjanji, kayu berlumut.
Sebagai kilat 'nyinar di kalbu:
Sebanyak it curahan duka,
Sesering itu pilu menyayat,
Air mata cucur ke bumi.
Wahai adik, berbaju putih
Dalam tanah bukan sendiri!
Dan meniaraplah jiwaku papa
Di kaki Chalik yang esa:
Di depanMu dukaku duka dunia,
Sedih kalbukuku sedih semesta.
Beta hanya duli di udara
Hanyut mengikut dalam pawana.
Sejuk embun turun ke jiwa
Dan di mata menerang sinar.
26 April 1935
Tiada Tertahan
Tanah dipijak serasa air,
Dahan dipegang menjadi awang,
Pandangan ke depan megabut tebal,
Menoleh belakang gulita semata
Terbang diri ditiup angin,
Tiada berarah tiada tertuju,
Terhempas ke bumi tertepuk ke batu,
Kejam didera ganas disiksa.
Ya Allah, ya Tuhanku,
Benamkan beta ke laut dalam,
Bakar beta di api nyala.
Sangsi begini tidak tertanggung:
Di laut tidak di darat tidak,
Segala penjuru kabut mengepung.
Awan Berkuak
Duduk beta merenung awan,
Bercerai menipis di langit biru.
Sayu sendu alun di kalbu,
Menurut mega berkuak menjauh
Wahai Chalik, mengapa kejam
Seganas ini hidup di dunia?
Mengapa gerang dicerai pisah
Segala yang asik bercinta?
Menangislah jiwa tersedu-sedu.
Mengalirlah air mata berduyun-duyun.
Dalam jiwa sedang meratap,
Dalam sukma pilu mengeluh,
Menyerbu sinar ke dalam kabut,
Menjelma kembali awan menjauh.
Beta melihat kilau bergurau,
Beta menyambut suria bersinar.
Segar gembira sukma menggetar
Menunda melanda pergi berjuang.
14 Mei 1935
Komentar
Posting Komentar