Langsung ke konten utama

Sepucuk Pesan Ungu

Pesan UnguSepucuk Pesan Ungu adalah rindu yang mendayu-dayu lelaki pada kekasihnya.Sedemikian rindu sehingga tidak menyisakan ruang lain selain cinta, kau, dan aku. Kisah kasih yang sendu, harapan-harapan yang tumbuh silih berganti meresap di setiap puisi yang tertulis.Kumpulan Puisi ini ditulis oleh Ready Susanto, penyair kelahiran 40 tahun silam di Palembang (yang tentunya tidak lagi muda), mungkin tidak menawarkan sesuatu yang baru tetapi tetap pantas jika anda ingin menikmati kembali puisi percintaan yang lembut dan bernuansa ungu.

Sepucuk Pesan Ungu: Dua Kumpulan Sajak
Ready Susanto
Penerbit Semenanjung, Bandung
80 Halaman

3 Puisi dari Antologi Puisi "Sepucuk Pesan Ungu"

Profil Penyair


Ready Susanto kelahiran Palembang, 25 Desember 1967. Lulus dari Departemen Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjarasn pada 1992. Bekerja sebagai editor di beberapa penerbit di Jakarta dan Bandung sejak 1993. Menulis karya fiksi dan nonfiksi di pelbagai media massa sejak masih duduk di bangku SMA. Sajak-sajaknya dimuat antara lain di Suara pembaruan, jayakarta, Bandung Pos, Pikiran Rakyat, Puisinet , serta dalam antologi Potret Pariwisata Dalam Puisi (1990) dan Cerita dari Hutan Bakau (1994). Kumpulan sajaknya Surat-Surat dari Kota terbit pada Juni 2006. Bukunya antara lain Emotikon : Kamus Gaul Internet (2002) , 100 Tokoh Abad ke-20 ; Paling Berpengaruh (2004), dan 250 Wanita Abad ke-20 : Paling Berpengaruh (2007). Sajak-sajak barunya dapat diakses di www.kata2bersahaja.blogspot.com

Sepucuk Pesan Ungu


ini pagi yang sungguh rindu
seperti langit mendung yang kugulung
jadi sepucuk pesan ungu
yang entah apakah selalu kau tunggu

Engkaukah


engkaukah laut,
deburmu merindu
kelip lampu

engkauhkah angin,
bersiut rawan
pada dahan

engkauhkah sampan,
terkenang rindu
pelabuhan

Album : Cisangkuy


Siapakah yang kau nanti di sudut itu? Bangku cokelat, petang
menjelang. Langit sebentar jadi buram, cuaca suka-suka.
"Mungkin tak banyak lagi waktu,' katamu. dan jika pesan itu terkirim sudah, saatnya pun akan tiba. Dia akan terbang, sayap waktu di pundaknya berkepak tanpa ragu.

(dan aku pun bersicepat, mengejar saat yang sekelebat.
Mungkin tak banyak waktu lagi,"bunyi pesan diponselku.)


Menguyah pedas kehidupan, matamu rerimbun daun di taman seberang. Betapa rindu telah kau lewati kini? Menanti pesan dalam sendiri, memamah takfir pelan-pelan. Sesayup apa duka yang menggantung di dahan-dahan? Payung nasib begitu rindang.

(Dan aku mengemudikan angin, sahabat lama. Ia pun berharap
menemuimu di bangku cokelat, saat petang mulai menjelang."


Siapa yang menggelepar di sampingmu? Mengelus pundak selembut karib lama: angin.. Diakah yang datang dari masa lalu itu. Lengannya melipat tahun-tahun, tatapannya menggulung jalan-jalan, pesannya secemerlang kristal hujan. Siapakah gerangan mengundangnya ke pesta diam? "Akukah?" katamu. Engkau lupa pernah mengundang bahaya..

(Dan aku pun duduk begitu saja di bangku cokelat. Petang jadi
kristal, tahun-tahun menjadi bungkah es. Akukah yang kau nanti di sudut itu; tawa? berderai-derailah aku di dahan waktu.)


"Pasti sudah tak tersisa lagi waktu," katamu. Tentu saja, sekian zaman kita duduk di bangku cokelat itu. menanti getar yang menjulur di ponsel kita. saling menunggu.
Mau temani aku?

(2007)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...