Langsung ke konten utama

Sajak-sajak Rio SY

DI TELAGA LABUHAN


;senasib puisi

ketika telaga basah, kembang diundang
untuk membelukar dalam muatan yang ia kenali
sebagai sepi. juga lumut yang bertabir di sesisa kenangan

mereka senasib puisi
mereka senasib mimpi

yang basah, meski tak bermuara menakar dermaga
nafas mereka menumpuk dan beranak pada riak
memanggil sepotong nama yang belum terjumpa

terlalu dibukanya tahuntahun ngiang
meraut kepulan yang mulai menyuruk

serupa puisi yang tiada ditinta


;biduk hanyut

ada yang menyerupai biduk bertolak dari seberang
samar. tapi unggun. melingkari gugusan senja
yang tak kunjung terbenam. maka benarlah
arah arus membusuk dan terurai menjadi
serat yang merawat ikanikan
dan biduk masih mencari labuhan yang sempat hanyut
oleh puisi. pun air menghanyutkannya

seumpama layar membuka-menutup


;sebilah dayung

telaga hampir reda, irama alir makin bening
betapa pun beningnya, ikanikan terhantuk bebatuan
sebab mereka buta arus surut yang mengerut
ke dalam puisi, dan mereka lupa membuat perahu kertas
guna bersurat merintang labuhan hanyut

lalu kubayangkan mereka adalah sebilah dayung
mengapung menyimpan senja di tangkainya

umpama hujan yang tak reda

(2007)


SYAIR SUNGAILIKU

Daun Sirih mula kabar dibuka dituturkan
permulaan sajak jalan kepada tolan di kampung Sungailiku
lama berjalan bersama tahun dan zaman tanpa karangan surat pengganti badan
terbuka hati tak hendak mengirim zaman, hanya sembah dari hayat perjalanan
salam sembah kebawah kaki amak akan ganjil langkah sepanjang tahun yang genap
kasih sayang itu tak hilang rupa dalam pejam atupun nyalang
tidak orang bertemu bermula dan berpisah berakhir
jika sakit, yang di sungailiku yang merasa dan aku teringat pula
di ujung akhirat itu kulihat abak menanti
di ujung lain amak mengharapkan pulang anak sibiran tulang seumpama bambu

Juni 2007


SECANGKIR KOPI UNTUK SETAN

Setan, kemarilah duduk. jangan berdiri di pintu
seingatku, aku tak pernah berhutang padamu
kau datang tentu bukan sebagai penagih hutang, bukan ?
duduklah disini
mungkin kita bisa ngobrol sebentar
adakah kau mau kopi ?
oh, kau tak minum kopi ternyata
akibat gagal ginjal beberapa waktu lalu
baiklah, mungkin kita bisa lebih saling mengenal

" aku tak pernah apa-apa dengan siapa pun !" Katamu
" aku banyak urusan yang lebih penting dari menemanimu mengopi !"
kau membanting pintu dan pergi

Juni 2007


SEORANG YANG LUPA PADA KETUKAN

daun pintu mengetuk di luar, lihatlah !

tapi tidak. biarlah ia mengetuk
serupa aku membiarkan kau mengaduk gula dalam cangkir tehku

kenapa?

tentu iya. apalagi yang dapat diketuk selain pintu yang tertutup ?
tidur, sambil memintal kisah seraya lupa
kalau perlu berjudi di urat leherku
dan tertawa pada pucuk pertemuan

ah ! cepat, buka santung pintu itu
ia mulai mengetuk di ubun-ubunku
jangan sampai ia mengetuk di dadaku

Ruang Liku, 2 Juli 2007

Komentar

  1. dalam perpuisian indonesia mutakhir, baru kali ini(dalm puisi ini) saya mendapati betapa penyairnya sungguh hati-hati dalam berkata.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...