Langsung ke konten utama

Padang Gerimis Burung-Burung

di padang gerimis
pecahan kabut kian tipis
di selak angkasa
gumpalan gabak kian sempurna

di mataku
burung-burung berkawin dengan angin
menuju semesta penuh tanda

dengan paruh kuncup
dan bianglala yang susup
ditelannya sebuah pesan
tentang hutan dan udara perawan

tahun pun seiring bulan tua
seperti lingkar buta
yang terpanah cahaya

ia pun berumah, di ujung tahun
dalam mimpi yang terbangun
memungut rumput di padang keriput
menanam isyarat saat musim berangkat

rumah itu,
dalam wujud daun berajut
tempat ia dan sepi berpaut
menghadiahi sepasang kepak baru:
sepasang rindu masa lalu

hingga, pelan-pelan
sebentang ingatan
menggerus tubuhnya,
sebentuk tanda di balik gebuk awan,
tempat ia menajamkan mata
mencurigai segala

juga kerisauan yang
terhampar serupa padang
ketika ia dilepas dalam lengang

tapi, tentang pulang
ia hanya kenal setumpuk maksud yang jauh
yang tanggal di tiap bulunya yang janggal

mengenai sebuah kembara
ke tahun yang samar, tempat hidup
dituang lebih pijar
membuatnya sadar sebab kelompok terpencar:
kawanan lama
yang melepas sebentuk tanda
kegaiban

lalu, hari itu
dalam bilik cuaca,
dalam sekat tanpa rongga
antara celah persentuhan api dan bara
berangkatlah ia,
menuju apa yang dimaksud
sebagai raga

sebab sekian sakit berlepasan,
telah berjumput hening bertikaman,
seakan angin pada gerimis
yang datang bagai berlupa

mengeja duga, juga tiada

gerimis pun lerai
dan langit pecah rampai

mulailah ia meneruka padang
menghadapi perburuan yang usang

seteguk kabut, musim bertumbuh gaduh

ketika samar-samar
gerusan kuku langit itu memudar
ada geliat terlempar,
benda bulat padat dan bergetar

dan terbesit kisah perjumpaan
dari pertanda yang luka
dikenalinya diri,
rajut-rajut usia


maka, kepak itu
yang disisipkan pada seciap malu
membentang serupa dulu
serupa perkawinan angin dan tubuhnya
menuju cakrawala penuh terka

musim meregang
cahaya merah memanjang
membatas tepi langit petang

telah ditembusnya
segala yang berhembus
telah ditelanya
segala yang sesat dan tiba-tiba

dari hening ia berpaling,
dari satu dahan ke lain ranting

sayup-sayup
menelan senja yang mulai keping
dan angin padang sehabis ditumpul gerimis
sebilah cahaya menghunus:
sisik air yang mengakar
dan sekejap kering
memerah saga

menggelinjangi urat
geletarkan hasrat,
menghela diri menuju lipatan angkasa

angin bertiup ringan
menyapu ujung petang
melempar sebekas tanda
serupa bulu di awang-awang

burung itu, yang lepas
dari sekawanan penempuh hujan
yang bertahun kupungut
saat siang habis dipukul gerimis
apakah ia telah terbang,
meninggalkan untai daun
yang kurajutkan di tubuhmu sebagai sarang?

mungkin saat ini ia telah dewasa


sebab di tubuhku:
tubuh padang yang terus mengunyah sepi
menyisakan ia dalam sebatuk angin
bau cakar dan sayap mimpi

Kandangpadati, 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...