Langsung ke konten utama

Ketika Sastra dan Budaya Luhur Terpinggirkan

Suatu saat, suatu saat, dan suatu saat lagi saya dihantui oleh kecemasan. Kecemasan saya itu bukan tanpa alasan.Hampir tiap hari saya menyaksikan kenyataan bahwa kehidupan semakin dikuasai oleh pertimbangan-pertimbangan yang mendudukkan uang di singgasana kekaisaran. Uang jadi raja segala-galanya.

Pertimbangan-pertimbangan serba uang telah mempengaruhi pola pikir dan pola rasa manusia. Manusia yang pada mulanya berperikemanusiaan berubah menjadi berperikeuangan. Manusia yang semula bermata nurani berubah menjadi bermata uang. Pikir dan rasa yang ada dalam diri manusia yang semula merupakan satu sinergi harmonis, kini keduanya menjadi musuh bebuyutan dalam perang terbuka.

Dulu ketika bapak saya sering nembang atau “ura-ura” yang tembangnya dicuplik dari pustaka luhur karya para pujangga, kangmas dan mbakyu saya pun sering menjelaskan ulang bahwa tembang-tembang itu berisi ajaran luhur untuk selalu menjalin rasa kemanusiaan yang selalu didasari oleh rasa keilahian. Tembang itu adalah juga puisi kehidupan yang menjunjung tinggi martabat dan derajat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Waktu itu saya belum mudeng. Ajaran itu merupakan bagian dari sastra dan sekaligus sebagai budaya luhur nenek moyang bangsa ini.

Ibu saya pun dulu sering mendongengi saya dengan dongeng-dongeng yang waktu itu selalu membuat saya membayangkan hidup di dunia yang aman dan damai. Setelah mendongeng, ibu saya selalu berpesan tentang budi pekerti luhur, tata krama, tepa selira, gotong royong, aja adigang-adigung-adiguna, melu andarbeni, ngundhuh wohing pakarti, dan pesan-pesan luhur lainnya. Intinya pesan-pesan itu adalah berbagai norma atau ajaran luhur yang penerapannya menghasilkan sebuah bentuk kehidupan bermasyarakat atau berkeluarga yang bahagia, damai, aman, sejahtera lahir dan batin berlandaskan agama.

Pada zaman sekarang terlalu jarang saya dapati seorang bapak nembang atau “ura-ura” ataupun seorang ibu mendongeng untuk anak-anaknya. Seorang bapak atau seorang ibu pada zaman sekarang banyak yang terlalu disibukkan oleh upaya mencari uang atau tambahan uang untuk mempertahankan hidup atau untuk meningkatkan taraf hidup secara material. Mereka (yang begitu tadi) sama sekali tidak paham akan makna yang mendalam dari sastra tembang dan sastra dongeng bagi pembangungan kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera lahir batin. Mereka lupa bahwa kehidupan ini perlu dibangun dengan lanskap-lanskap puisi nurani.

Lebih tragis lagi ketika mereka sering “ngoprak-oprak” anak-anaknya untuk berbuat baik, sementara mereka sendiri sering melupakan petuah-petuah luhur dari orang tua mereka dan kehidupan mereka terbelenggu oleh pertimbangan-pertimbangan material keuangan. Sedangkan anak-anak sangat jarang melihat keteladanan dari para pendahulu (orang tua) mereka. Akibatnya sangat tragis, anak-anak menjadi cuek, masa bodoh, tidak peduli terhadap keteladanan dan keluhuran. Kepedulian terhadap nasib orang lainpun semakin tipis. Egoisme semakin merajai. Sikap dan tingkah laku “sak penak udele dhewe” semakin mencengkeram jiwa anak-anak. Bahkan sikap perusuh dan perusak telah demikian menguasai.

Dengan demikian, budaya berbudi pekerti luhur dan bertata krama baik yang seharusnya terwariskan turun-temurun, mengalami keterpenggalan di tengah jalan. Budaya budi pekerti luhur dan tata krama baik menjadi hal yang langka. Saya berpendapat bahwa hal itu terjadi karena sastra dan budaya luhur terpinggirkan dari sistem kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sudah saatnya kini, semuanya kembali menyentuh sastra dan budaya luhur warisan para leluhur pendahulu kita. Sudah saatnya kini, semuanya kembali ke puisi kehidupan yang begitu lekat dengan kebeningan embun nurani. Semoga berhasil dan kehidupan di bumi ini semakin baik, aman, damai, sejahtera lahir dan batin. Amin.

(Ustadji Pantja Wibiarsa, Ketua Sanggar Kalimasada Kutoarjo, sebuah sanggar kepenulisan sastra di Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...