Langsung ke konten utama

Kebahagiaan Hermann Hesse (renungan akhir tahun 2007)

*Sebuah Catatan Akhir Tahun SUTRISNO BUDIHARTO


Dunia memang makin hiruk pikuk. Itulah yang tercatat dalam memori saya menjelang tutup tahun 2007 dan menjelang datangnya tahun baru 2008 ini. Tengok saja lembaran berita surat kabar atau dokumen faktual lainnya: Indonesia memang makin hiruk pikuk semenjak reformasi digelindingkan 1998 lalu. Makna hiruk pikuk yang saya maksud tentu sangat beragam; ada yang postif, tapi ada juga yang negatif.

Makna hiruk pikuk yang postif dapat dilihat dari keadaan masyarakat Indonesia yang sementara ini (sejak 1998-menjelang tutup tahun 2007) tidak terkurung dalam cengkeraman penguasa represif yang suka main tangkap dan menghilangkan orang.

Makna hiruk pikuk yang negatif, masa transisi Indonesia pasca reformasi 1998 sampai kini masih belum memiliki arah yang jelas. Masyarakat memang memiliki kebebasan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat, tapi proses reformasi dan demokratisasi yang sudah dilaksanakan belum benar-benar bisa menjamin pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, budaya (Ecosob) maupun hak-hak sipil dan politik (sipol). Buktinya, anggaran negara masih banyak dipakai untuk kepentingan elit, sedang pemerataan ekonomi belum merata hingga ke tingkat akar rumput. Di sisi lain, beberapa RUU yang diharapkan bisa memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat tetap masih menjadi draft yang ditarik ke kanan-kiri (seperti RUU Pelaynan Publik maupun RUU Transparansi Informasi).

Yang menyedihkan, Indonesia selalu dinobatkan dalam kelompok negara-negara yang paling korup di dunia. Hal itu diperparah dengan makin banyaknya pengangguran dan kemiskinan. Karena itu, wajar saja jika di tengah masyarakat kini banyak bingung dan bimbang. Padahal, zaman makin menuntut suatu perubahan nilai.

Rumitnya persoalan itu, kadang membuat waktu dan ruang terasa makin sempit karena orang-orang makin banyak yang kejar target dan dead-line. Celakanya, terkadang orang-orang juga jadi lupa akan dirinya sendiri, lupa akan tujuan akhir dari pentas di dunia ini. Bahkan, ada juga yang lupa dalam memaknai arti kebahagiaan dalam hidup ini sendiri.

Tapi, di tengah hiruk pikuk dunia ini, semoga saja segenap elemen bangsa ini tetap masih banyak yang mampu bersikap eling lan waspada. Untuk membangun Indinesia menjadi baik, memang masih perjuang ekstra keras karena masih banyak memerlukan penataan lembaga di tingkat pemerintahan dan politik, penataan hukum maupun pembaharuan budaya masyarakatnya. Dan untuk melakukan perubahan menjadi baik itu, tentunya Indonseia memerlukan orang-orang yang eling lan waspada, yakni orang yang berani tidak keliru dalam memaknai suatu ujian baik dan buruk. Paling tidak, ujian dalam memaknai kebahagiaan seperti yang dipaparkan penyair Jerman -- Hermann Hesse (2 Juli 1877 – 9 Agustus 1962) -- dalam puisi di bawah ini:

Selama engkau mengejar kebahagiaan/
engkau belum matang untuk berbahagia/
biarpun milikmu segala kesayangan.//

Selama engkau ngeluh karena ada yang hilang/
dan punya tujuan serta tiada tenang,/
kau belum tahu apa arti kedamaian.//

Baru setelah engkau lepaskan segala keinginan/
tak kenal lagi hasrat dan tujuan/
tak lagi nyebut nama kebahagiaan/
maka banjir segala kejadian tak lagi nyentuh hatimu/
dan jiwamu akan tenang.

Kutipan puisi itu barangkali bisa menjadi pengantar untuk berkontemplasi di tengah realitas dunia yang semakin padat dengan persoalan ini. Diakui atau tidak, kebahagian memang sangat beragam takarannya dan relatif nilainya. Ukuran kebahagian seorang petani desa misalnya, tentu sangat lain dengan ukuran kebahagiaan seorang diplomat yang sering terbang ke berbagai negara. Dengan kata lain, seorang petani desa yang miskin belum tentu tidak bisa bahagia. Sebaliknya, seorang diplomat yang kaya raya belum tentu tidak akan pernah menemukan kesedihan atau ketidakbahagiaan. Pendek kata, setiap pribadi memiliki kemampuan yang berbeda dalam menerjemahkan kebahagian dan ketidakbahagiaannya.

Lantas, kalau kita sudah bisa meraih kebahagiaan atau kesenangan yang diinginkan, masih ada pertanyaan lagi; Apa yang bisa kita dapat dari kebahagiaan itu sendiri? Kadang-kadang saya malah tidak tahu apa yang saya dapat dari kebahagiaan yang pernah saya rasakan sendiri. Tapi kadang, saya malah mendapatkan sesuatu yang berharga dari sebuah kesedihan yang pernah menyergapkan batin.

Akhirnya, semoga saja para politisi, birokrat, akademisi, aktivis LSM, maupun pengusahanya, makin tercerahkan dan mampu memaknai kebahagiannya seperti ini puisi karya Hermann Hesse di atas.

Demikian saja, dan selamat menyongsong tahun baru 2008.


dari SUTRISNO BUDIHARTO (pecinta seni, yang juga pegiat COMMITMENT for Democratic Governance and Social Justice)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...