di sepanjang pantai ini
tahun-tahun mana, sayang, yang luput dari tangkapan tatap sembab mata kita
perahu-perahu datang dan pergi, dilayarkan cuma membawa derita deraan berdarah
karena ladang-ladang pun dibakar dendam dan hasilnya dijarah-rayah
tak satu pun butir dapat diselamatkan bagi sebuah kebersamaan
seperti kakek-nenek kita dulu telah memperjuangkan mili demi mili
kibaran bendera menyibak angkasa bertuba dengan robek dada lepas nyawa
siapa pula itu nakhoda yang merampas ganas dan terjal karangnya samudra
melimburhancurkan rumah-rumah nelayan, apa yang masih tersisa
siapa masih jumawa berkata: aku bahagia meski dengan segala kelaparan
sayang, boleh kau nekad menggelitiki gendang telingaku
meski aku tak tahu arti senyummu, kau terus merayu dengan bisikmu:
“masih bisa kusematkan kembali di dada bumi yang rentan dan tua
bahasa embun sebagai tanda bahwa aku masih ada
aku akan terus berjuang membacanya dengan seksama dan setia
seperti angin meniti arti kodrati dari benua ke benua
kemudian menuliskannya kembali dalam bahasa cinta samudra
yang akan memeluk liak-liuk cakrawala di setiap detak kehidupan kita
perahu-perahu masa lalu
akan dibilas oleh ibunda angkasa dengan doa dan zikir rahmah
ke ubun-ubun yang masih berdenyut diraut kerut kening kesah
akan ditiupkan wangi zat meruap dari kedamaian rahimnya
sayang, kita akan terlahir kembali sebagai nelayan mencari ikan dengan jala
bukan demi nafsu kepuasan dunia melainkan kita jadikan pengantin
di pelaminan samudra berpangku bumi”
tapi kenapa seusai bisikmu dan setelah kaulingkarkan tanganmu ke pundakku
kau lari penuh birahi meninggalkanku, di kepala bertengger topi nakhodamu
merentanglebarkan tanganmu menjemput ganas dan terjal karang samudra
bahasa tubuhmu meruapkan bau bir orgasme kekuasaan
sayang, jangan halangi aku berdiri di reruntuhan ini
tetap bertahan dalam bahasa tubuh dan kejujuran wajahku sendiri
dan mencari puisiku yang tertimbun, sampai tiba waktu berkata kepadamu
aku sama sekali tidak bahagia bersamamu!
Kutoarjo-Purworejo, Jawa Tengah, 2007
tahun-tahun mana, sayang, yang luput dari tangkapan tatap sembab mata kita
perahu-perahu datang dan pergi, dilayarkan cuma membawa derita deraan berdarah
karena ladang-ladang pun dibakar dendam dan hasilnya dijarah-rayah
tak satu pun butir dapat diselamatkan bagi sebuah kebersamaan
seperti kakek-nenek kita dulu telah memperjuangkan mili demi mili
kibaran bendera menyibak angkasa bertuba dengan robek dada lepas nyawa
siapa pula itu nakhoda yang merampas ganas dan terjal karangnya samudra
melimburhancurkan rumah-rumah nelayan, apa yang masih tersisa
siapa masih jumawa berkata: aku bahagia meski dengan segala kelaparan
sayang, boleh kau nekad menggelitiki gendang telingaku
meski aku tak tahu arti senyummu, kau terus merayu dengan bisikmu:
“masih bisa kusematkan kembali di dada bumi yang rentan dan tua
bahasa embun sebagai tanda bahwa aku masih ada
aku akan terus berjuang membacanya dengan seksama dan setia
seperti angin meniti arti kodrati dari benua ke benua
kemudian menuliskannya kembali dalam bahasa cinta samudra
yang akan memeluk liak-liuk cakrawala di setiap detak kehidupan kita
perahu-perahu masa lalu
akan dibilas oleh ibunda angkasa dengan doa dan zikir rahmah
ke ubun-ubun yang masih berdenyut diraut kerut kening kesah
akan ditiupkan wangi zat meruap dari kedamaian rahimnya
sayang, kita akan terlahir kembali sebagai nelayan mencari ikan dengan jala
bukan demi nafsu kepuasan dunia melainkan kita jadikan pengantin
di pelaminan samudra berpangku bumi”
tapi kenapa seusai bisikmu dan setelah kaulingkarkan tanganmu ke pundakku
kau lari penuh birahi meninggalkanku, di kepala bertengger topi nakhodamu
merentanglebarkan tanganmu menjemput ganas dan terjal karang samudra
bahasa tubuhmu meruapkan bau bir orgasme kekuasaan
sayang, jangan halangi aku berdiri di reruntuhan ini
tetap bertahan dalam bahasa tubuh dan kejujuran wajahku sendiri
dan mencari puisiku yang tertimbun, sampai tiba waktu berkata kepadamu
aku sama sekali tidak bahagia bersamamu!
Kutoarjo-Purworejo, Jawa Tengah, 2007
Komentar
Posting Komentar