mungkin bagimu masih banyak debu yang kubawa dari masa lalu
puing-puing gerimis memenuhi kepala dengan sisa dedaun runtuh sudah
kubersihkan dengan tiap abjad yang kau ucap padaku dan kuanggap sebagai
mantra mengiringi semua langkah masihkah tetap tak kau percaya? bila
kata bisa berubah bukankah begitu juga bait yang kubawa padamu belenggu
yang membuat gigil hingga berserak peluh dan luka bukanlah perih yang
terus tertancap di tiap celah waktu kita pada retak malam yang lelap
sambil memeluk harapan tataplah alur yang melaju di situ esok kita akan
hinggap memang berkelok harap kita tapi tetaplah abjad dan kata
tidaklah jadi sia-sia siang, 11Juli07
Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”
Komentar
Posting Komentar