ruangan ini memanjang dan mereka di sana, duduk berhadapan dengan wajah yang jatuh pada remang lantai. tidak ada suara yang masuk. hanya detak jantung yang mengetuk diri sendiri. pelan, seperti desir dari gelombang yang tidak pernah menepi. cahaya lilin mengerjap, bergoyang oleh hembus nafas yang berat. tangan jatuh di pangkuan. detak, menghitung mundur pada ketiadaan. katakan kau akan menyatu pada pekat yang menyelinap di tepi pintu yang terkunci. kesadaran telah tercampur dengan bayang dari kehidupan di tepi seberang yang lain. sosok-sosok samar melayang lembut di tekstur udara. kau memainkan jemarimu di antara asap lilin yang merambat.
nyanyikan sebuah requiem, ucapmu.
ia tersenyum berusaha meregangkan kakinya yang terkunci didekap lantai. bibirnya terbuka tapi suara yang terdengar hanyalah sebentuk erang yang lirih. bahasa menemukan kemurniannya dalam isarat hati yang purba ketika seorang menatap jauh pada jurang yang terbuka di bawahnya. kau tertawa dengan getar parau.
ucapkan kata pertama ketika kau mengingat dunia.
hujan.
cemara.
gelepar sayap.
ia bernyanyi semakin keras. tangan yang menegang pada lantai dingin. aku akan menguraikan segala kejadian. cahaya yang menyeruak masuk. tangisan. wajah-wajah dengan sorot asing pada yang tidak diketahui. diciptakan dari darah dan gelepar ketidakjumpaan. tubuh yang merangkak di atas kain lembut. ucapkan namamu adam dari mata air yang merembes di tembok hutan.
perlahan kau mengambang meniti udara. tangan yang memutih.
kau akan pulang jam 8.30 malam.
ada gelak radio yang lupa dimatikan. ada laba-laba yang mengapung di bak mandi.
"izinkan aku menciummu dengan nafas penghabisan."
kau memejamkan mata. gemuruh hutan.
"aku akan berbaring di tepi ngarai dengan lengking air yang meluncur pada putih."
aku akan pulang jam 8.30 malam.
"aku akan mengetuk rumah para penghuni kesunyian."
aku akan berendam di bak mandi dengan kepala yang terkulai.
"aku akan menyebutkan nama segala benih yang bersitahan di dasar kemarau."
ada radio tua menyanyikan puja.
"aku akan menyapih warna belerang dari lahar yang mengendap."
ada detak jam yang berdenting hingga ke dasar tulang
"tubuh-tubuh melayang menguraikan kabut dari bintik gerimis."
ketuk di pintu mengabur bersama jejak yang dihisap debu.
"aku akan menjemputmu di sebuah padang yang terbuka."
aku akan menemukan bercak darah dari kupu-kupu yang meregang di jejaring laba-laba.
"kenapa wajahmu seperti membiru?"
"kenapa bibirmu lembab oleh bisu?"
sebilah pisau seharga tubuh yang menggelandang di trotoar.
"di belakangmu ada raung dari helai rambut yang luruh."
aku mendengar nyanyian dari bangku kosong yang terbenam.
engkaukah lengking yang menghalau pelaut pada daratan yang tidak terpeta?
engkaukah cabik yang menguraikan tubuh pada tanah?
"aku mengenalmu di lencana pagi yang diputihkan."
aku akan berbaring di halaman belakang dan weker akan berbunyi jam 7 pagi
"ornamen zirah dan panji yang berkibaran."
aku akan terlelap tanpa mimpi.
"tubuh yang diusung seratus mata panah."
aku akan terlelap tanpa mimpi.
"wajah yang menengadah pada langit merah."
aku akan terjaga di pagi hari.
"akan direstui oleh anak-anak waktu yang gelap."
berlimpah hidup akan menunggu.
"berlimpah hidup akan dijabarkan."
aubade.
requeim.
Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”
Komentar
Posting Komentar