Langsung ke konten utama

Desember

dingin menggila di penyusupan kehangatan pada penjuru-penjuru hati gamang. tidak pamrih itu kemana bepergian menjelang penyembelihan hewan kurban. ternak-ternak berpesta menikami kuasa-kuasa terbatas kantung kecemasan berekor pengharapan-pengharapan semu tak terejawantahkan, nirwana terjanjikan.

dingin menggila di darjah dua puluh tujuh koma lima lintang utara, tercipta keraguan berteguh menginjaki jalan-jalan tikus. menerus berteduh dalam apartemen-apartemen dan kadang kerasukan ujaran-ujaran kuno tak terlumpuhkan di depan tungku-tungku hangat menjilat langit menyapa kabut tak lelap. tersengal berpeluh menyiangi jendela-jendela ratapan menangis menyesali keteledoran yang terus terulang.

dingin menggila di penjelajahan takluki mimpi tak berujung selesa, pengharapan tak kunjung datang. bertengki api disuguhkan sebagai sesajen kebudayaan jangan terlupakan. dihadirkan itu pencair gunung es oleh kerumunan penantian datang berganti berkelompok-kelompok pasang surut mengisi apa saja yang kosong melahap apa saja yang lunak. tapi segunung kemenyan kiranya luluh berlutut, sejuta do'a lumpuh tercecer berserakan. karena takdir hanya akan bergetar oleh kuasa sesuatu yang maha menguasai.

dingin menggila di kaki-kaki petani mencangkuli ladang-ladang lapuk mengetami letih tanpa keringat. sebenar-benar mencari pangan untuk menjadi energi kembali bertanam tanaman mungkin sayur-mayur buah-buahan itu yang kita rasakan legit di ucap, bersinergi kembali mengaisi laba dan upah. entah mengingat atau tidak ketika lentera-lentera kegundahan dinyalakan tentang serbuk-serbuk obat penawar keserakahan dikumpulkan dalam gubug-gubug kesabaran dan kesyukuran yang menepikan cambukan-cambukan setan untuk berjingkrakan bertepuk menari riang.

dingin menggila di kerumunan pesta-pora seakan tak akan pernah melahap kematian. bersenda-gurau meneriaki kebahagiaan yang tak kunjung datang walau lumbung penuh berjejal padi-padi. pelarian-pelarian busuk terpilih, itu bukan pilihan. bergumul dengan kilatan-kilatan nestapa mungkin pengakhiran yang seharusnya mematangkan urat-urat nadi dan bukan lagi-lagi meneguk pangkal-pangkal di mana nestapa itu menjamur.

dingin menggila di tiang kokoh tanpa getar.

dingin menggila di gradasi-gradasi tanpa peduli.

Des '06

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007