Langsung ke konten utama

Joko Pinurbo : Puisi Memperbaiki Salah Cetak Hidup dan Nasib Kita

Berikut ini saya ingin sajikan sambutan Joko Pinurbo dalam peluncuran buku puisi 'Di Lengkung Alis Matamu', 25 November 2005 lalu di MP Book Point, Cipete, Jakarta Selatan. Bukan karena ini disampaikan pada acara saya, terutama juga banyak menyebut nama saya, tapi menurut saya apa yang dikemukakan oleh Jokpin menarik untuk disimak, karena di situ beliau juga berbicara tentang komunitas sastra. Semoga bermanfaat.

Saya sangat senang atas terbitnya buku ini, terutama antara lain karena covernya yang sangat indah. Saya mengatakan pada Yo, bahwa inilah buku puisi Indonesia dengan cover yang bagus, termsuk yang salah satu yang terbaik dari segi cetak.

Lalu yang kedua, editingnya yang nyaris sempurna. Nyaris tak ada ralat. Satu-satunya kesalahan cetak adalah menyangkut nama saya.Dan itu saya anggap tidak penting.

Coba Yo bandingkan dengan buku puisi saya yang pertama "Celana", itu sangat penuh dengan salah cetak. Sehingga saya harus membuat daftar khusus yang berisi ralat. Saya kira salah cetak dalam buku puisi itu adalah sesuatu yang wajar.

Jangankan puisi, jangankan buku, hidup dan nasib kita sendiri sering banyak salah cetak.

Saya ingin mengatakan bahwa menulis puisi sebetulnya adalah merefleksikan berbagai kesalahan salah cetak dalam hidup dan nasih kita. Dan itulah yang saya baca dari puisi-puisi Yo, yaitu bagaimana dia merenungi berbagai "salah cetak", yang mungkin banyak terjadi dalam perjalanan hidupnya.

Saya kira ini yang menarik bahwa menulis puisi menjadi sesuatu yang merangkan menggairahkan. Karena kita selalu dihadapkan dengan berbagai salah cetak, seakan-akan kita selalu dalam suasana ingin meralat. Ingin meralat nasib kita, ingin meralat hidup kita. Dan ini sangat terefleksikan dalam puisi-puisi Yo.

itu yang pertama. Editingnya nyaris sempurna,kecuali itu menyangkut nama saya, dan itu tidak penting.

Kemudian yang kedua, Yo memilih tanggal 25 November sebagai tanggal atau hari peluncuran karya perdananya. Saya tanya pada Yo, kenapa memilih tanggal 25 November? Dia punya satu rahasia, itu adalah tanggal ulangtahun ibundanya.

Semula saya menyangka bahwa ini suatu kebetulan saja. Tapi setelah saya membaca ulang puisi-puisi Yo, saya mempunyai kesadaran, interpretasi nampaknya memang sosok ibu menempati posisi yang begitu penting di dalam hidup Yo. Saya dapat mengatakan, bahwa puisi-puisi Yo adalah satu rangkaian pendekatan keibuan terhadap berbagai persoalan hidup.

Saya sepkat dengan yang dikatakan TS Pinang, yang tadi mengaku sebagai Marjuki itu, bahwa sajak-sajak Yo adalah semacam refleksi dari seorang lelaki yang resah, yang gelisah.

Lha yang menarik bagi saya, meskipun kita berhadapan dengan subyek lelaki yang resah, yang gelisah, tapi pendekatan si lelaki terhadap kegelisahannya itu dilakukan dengan karakter keibuan. dan inilah ciri khas puisi-puisi Yo : penuh ketenangan, penuh dengan kesabaran,penuh dengan ketabahan menghadapi nasih, menghadapi hidup yang penuh salah cetak itu.

Sehingga menurut saya, memang warna utama dari puisi-puisi Yo adalah adanya spritualitas keibuan di dalam menghadapi hidup ini. Inilah yang bermakna bagi Yo,yang saya kira bisa dikembangkan lebih lanjut dalam karya-karya berikutnya.

Sangat lain dengan Chairil Anwar, yang selalu penuh dengan pemberontakan, seakan-akan hidup ini adalah neraka. yo menghadapi neraka ini dengan kesadaran bahwa itu adalah nasib yang harus dijalani dengan penuh ketabahan, dengan penuh derita dan harus kuat menanggung derita itu.Itulah mengapa Yo melakukan peluncuran buku pertamanya tanggal 25 November, menurut penangkapan saya sebagai seorang pembaca.

Nah, saya menemukan 2 puisi yang secara khusus bicara tentang sosok ibu. Salah satunya ingin saya baca, karena itu termasuk salah satu sajak Yo yang sangat saya sukai. Dan terus terang, puisi yang akan saya bacakan ini endingnya begitu menghentak, menggigit. Saya anggap ini suatu ending yang luar biasa.

Dan catatan saya yang ketiga. Saya senang bahwa belakangan ini dunia sastra jadi tampak meriah dan menggairahkan, terutama karena hidup dan berkembangnya komunitas-komunitas sastra di dunia maya lewat milis-milis misalnya.

Saya kira, peranan terbesar dari komunitas-komunitas sastra adalah menjadikan sastra menjadi sesuatu yang terbuka bagi siapa saja. Bukan produk kelompok sastra elite tertentu. Nah lalu lintas komunikasi dan dialog di dalam dunia maya itu berlangsung sangat cepat, sehingga ini juga jadi tantangan bagi para pengarang, bagi para penyair untuk mempunyai intensitas mental yang lebih dalam supaya semuanya bisa diendapkan dengan lebih baik.

(Joko Pinurbo membacakan puisi "Mengantar Bunda")

Saya pada akhirnya mengucapkan selamat kepada Yo atas buku perdananya yang telah dikerjakan dengan begitu bagus. Saya yakin pada tahap berikutnya, Yo akan memasuki pergulatan yang lain. Kalau dalam buku pertamanya begulat bagaimana menjadikan puisi sebagai media koreksi bagi pengalaman hidupnya, dalam pergulatan berikutnya pergulatannya akan lebih internal yaitu bagaimana menjadikan puisi sebagai media pergulatan bahasa. Saya kira Yo akan memasuki tahap itu.

Dan sekali lagi selamat atas keberanian dan kenekadannya menjadi penyair. Jadi Yo sekarang benar-benar seorang penyair.
Dan dia akan tetap jadi penyair, paling tidak bagi dirinya sendiri. Sekali sudah diluncurkan tak bisa dicabut lagi kepenyairannya. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...