Langsung ke konten utama

Tulislah Namaku Dengan Abu



Bakarlah aku dalam bilik jantungmu
hingga yang tersisa hanya abu
Lalu dengan abu itu tulislah namaku
seperti waktu kau punguti jam-jam yang meragu

Tulislah namaku dengan abu
Sebab kenangan hanyalah catatan alam yang
berdebu
Meski hidup cuma bayangan semu
Tataplah hari-hari dengan senyummu

Tulislah namaku dengan abu
Untuk sekedar memberi kemungkinan sang waktu
Melakukan tawar menawar dengan Tuhan
Karena perjalanan, betapapun berat, harus
diteruskan

Tuliskan namaku dengan abu
Berdoalah agar dari kematianku
datang kelahiran baru
Agar aku tak kehilangan kepercayaan
kepada kesejatian

Tulislah namaku dengan abu
Karena rasa berdaya tak boleh mati begitu saja
kesabaran menjadi samudra
daya hidup menjadi cakrawala

Tulislah namaku dengan abu
Sebab kita tak pernah berencana bertemu
Tulislah namaku dengan abu
Biarlah angina membawa pergi kemana ia mau

21 Maret 1998

Komentar

  1. puisi yang mendalam banget! hehehe...kommen gue nggak intelek banget ye...

    BalasHapus
  2. kubakar dirimu

    kucoba bakar dirimu namun............tak sengaja jantungku pun terbakar
    kutulis namamu dengan abu namun ...............terkikis darah semua itu

    ku berdoa untuk kematian yang akan datang pada sebuah raga tak bernyawa kosong tak berdarah
    semua hanya selinting rokok...... panas ditangan...... pengap didada
    semua itu hanya hidup tanpa rasa tanpa kata
    janganlah berkata nista....kalau kita pandai berdusta ...ditemani nafsu yang selalu bertahta

    hai kau manusia kutunggu kau di kehidupan yang akan datang bukanlah kelahiran yang baru kau rencanakan
    kan kutulis pesan pada tuhan
    " hai tuhan kutambahkan satu orang ke daftar kelam catat dan ingatkan kalau hatiku telah kelam

    black_reagee85@yahoo.com/fs-white_REGGAE85@yahoo.com( buffalo Soldier)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007