Suara anakanak itu penuh gelak
di antara percik kembang api dan malam terakhir ramadhan.
tapi perginya ramadhan menyurutkan cahya bulan 1000
Suara anakanak itu memetik bintangbintang dan bulan gapaian
Ada pedih meratap dari belukar malam
Belukar yang menyimpan 30 malam sarang nyawaku
mengeram luka dan menetaskan doa laut yang gelora
dalam musimmusimku yang bertolak dari rindu
Rindu yang kembali ke masa bayi,
ketika harihari terseret dengan selempang yang berlumpur hitam
dan kelam berlayar membasuh alis bulan yang melengkung
dari pucuk ramadhan ke batang syawal
Anakanak itu berlarian menyusul percik kembang api
yang kian ramaimemenuhi ruang kelam
Kelam yang kembali hiruk dari balik kotak gambar
yang bergerak mengintai lelap mata
081703634xxx
Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”
Komentar
Posting Komentar