Langsung ke konten utama

Kembali Ke Komunitas

Entah ada hubungan apa antara sastra dengan ilmu ekologi, tetapi yang menjadi pikiran saat melakukan perjalanan ke kota Cilegon untuk bertemu dengan Pemimpin Redaksi Fordisastra : Nanang Suryadi, adalah bahwa ada kemiripan antara niche (relung ekologi) dengan komunitas puisi cyber. Keduanya berlaku sebagai unit-unit fungsional dengan peran yang sangat menonjol di dalam habitat yang luas. Jika bicara niche maka kita bicara soal lingkungan hidup di suatu tempat tertentu, tetapi jika kita bicara soal komunitas puisi cyber maka kita bicara soal penyair. Keduanya adalah unit kecil di tengah-tengah sebuah kompleksitas.

Kembali pada kisah perjalanan ke Cilegon. Setelah menyaksikan alam yang sedang diterpa oleh panasnya matahari musim kemarau, didapatkan pengetahuan baru dari seorang Nanang Suryadi - yang mengaku sedang vacuum menulis sejak dikaruniai sebuah puisi konkret yaitu seorang anak perempuan bernama Cahaya - bahwa komunitas seorang penyair tidak bisa dibatasi. Pertemuan yang ramah di rumah beliau sungguh membuktikan bahwa penyair kondang akan selalu terbuka untuk menerima orang-orang yang ingin belajar menyair padanya. Dan dalam perjalanan selanjutnya, teorema seperti ini sudah menjadi fakta dan tradisi, sebab mereka yang namanya sering kita baca di media cetak sangat ingin menumbuhkembangkan sastra sehingga tak segan menerima yang ingin berguru. Nyantri, istilah blue4gie.

Atas dasar pemikiran Nanang yang lahir di Pulomerak, Serang pada 8 Juli 1973 dan keinginan yang menggebu, sebuah tawaran ke Rumah Dunia (RD) dan Sanggar Seni Serang (S3) yang dikomandani oleh Gola Gong, Tias Tatanka, Toto St Radik, serta Venayaksa langsung kami sambar tanpa piker panjang lagi. Di sana, kembali kita dapatkan kembali fakta bahwa seorang Gola Gong menerima dengan tangan yang terbuka. Bahkan beliau menyambut rencana Johannes Sugiyanto yang hendak menerbitkan antologi puisinya November mendatang, untuk dijadikan agenda diskusi puisi pada Januari 2007. Rumah Dunia yang terbuka untuk diskusi setiap sabtu dan minggu, bahkan menawarkan diri sebagai tempat jika komunitas puisi cyber ataupun komunitas sastra lainnya jika mempunyai agenda acara. Juga bersedia untuk menyiapkan para pembahasnya.

Sebuah terobosan yang sedang digarap oleh RD dan S3 adalah proyek penerbitan buku (baik buku puisi maupun kum-cer) oleh beberapa penyair / penulis secara bersama dan dalam format sederhana sehingga bisa ditekan biaya cetaknya. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa saat ini penerbit banyak yang mengeluhkan soal kurangnya dana. Juga ada indikasi adanya budaya “siapa yang mengenalkan siapa” untuk mengangkat seorang penyair bisa masuk dalam media massa, hal yang dirasakan sendiri oleh Gola Gong di dunia penulisan skenario sinetron yang di dominasi kelompok-kelompok penulis tertentu. Terobosan ini dapat ditiru oleh komunitas puisi cyber atau sastra lainnya. Dengan demikian makin banyak penyair dan penulisa sastra bisa bermunculan dengan pesat. Di RD kami pun berkenalan dengan penyair-penyair muda ; Qizink La Aziva dan Bahroji.

Kunjungan terakhir di rumah Toto St Radik melengkapi kenikmatan bertemu para sastrawan di Serang ini. Terutama mengenai nasib puisi yang masih dianggap tidak punya nilai jual oleh kalangan lain di luar sastrawan. Dia mencontohkan buku puisinya yang dijual kepada anggota dewan di tingkat provinsi Banten saat mereka bersidang, seharga Rp. 10.000,- dan tidak ada yang mau membeli. Ketika Totok memberitahu itu gratis, semua anggota Dewan yang terhormat itu tanpa risih langsung mengantonginya. Hal ini adalah tantangan yang luar biasa bagi para penyair. Beliau juga menekankan agar para penyair muda dalam satu komunitas harus mau banyak “bergaul” dengan komunitas lain demi terciptanya kebersamaan semangat dan hal-hal yang bersifat saling mengisi.

Berbekal hal itu semua, dalam perjalanan pulang kembali ke Jakarta, terpikirkan bahwa komunitas puisi cyber bukanlah satu niche tetapi seyogyanya adalah satu mata rantai dari sebuah gerakan kesadaran bersastra.

(Kami yang melakukan perjalanan di Jumat 27 Oktober 2006 : Johannes Sugianto, Dino F. Umahuk & Dedy Tri Riyadi )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...