Karya-karyanya bertebaran di berbagai milis puisi seperti Bunga Matahari, Apresiasi Sastra, Puitika, Penyair, Fordisastra & media cetak. Di antologi "Jogja 5,9 Skala Richter" dan "Empati untuk Yogya" puisinya ikut bersanding dengan para penyair lainnya.'Mengalir bagai air, saat sumbat terbuka' begitu puisi baginya. Karena itu, ia tak hentinya belajar dari banyak penyair yang dianggapnya sebagai guru, seperti Hasan Aspahani, TS Pinang dan Joko Pinurbo. Buku-buku puisi, entah itu kumpulan esai atau antologi dilahapnya karena sumur sastra memang tak hentinya habis ditimba. Kru Puitika.Net berkesempatan berbincang dengan penyair generasi cyber, Johannes Sugianto via e-mail. Berikut hasilnya bisa anda baca.
Sejak kapan anda mulai menulis puisi?
Berbicara soal 'menulis', apakah harus berwujud coretan di kertas atau tersimpan di file computer? Ketika jatuh cinta, puisi telah tertulis meski tak terkata. Ketika tersayat oleh duka, puisi juga tercipta.
Meski baru mempublikasikan karya puisi lewat media cyber/internet dan media massa, saya sejak SMP sudah menyukai dunia sastra. Puisi-puisi Rendra, Sapardi, Subagio Sastrowardojo sudah saya baca. Lirik-lirik lagu juga merupakan puisi bagi saya.
Sumber-sumber inspirasi menulis puisi?
Sumber inspirasi menulis puisi adalah perjalanan hidup. Tapaknya meninggalkan jejak yang terekam dalam jiwa. Lalu satu demi satu menetes, menjadi inspirasi. Pergulatan hidup saat kecil, untuk bisa membayar uang sekolah dengan berjualan kripik atau kerupuk, saya tuangkan dalam puisi 'Keripik Singkong'. Ketika anak saya ketiga, Anggita, pergi karena sakit, puisi-puisi tercipta dari sini. Begitu juga saat datang ide ketika menyaksikan reruntuhan rumah dan wajah putus asa para warga yang tertimpa gempa di Yogya.
Bagaimana masa kecil dan remaja anda, pernah terbersit untuk menjadi seorang penyair?
Saya lahir di Bojonegoro, di desa yang saya tinggalkan saat berusia satu tahun untuk pindah ke Malang. Di kota dingin ini saya menikmati masa kecil dan remaja yang mengesankan.
Menjadi seorang penyair? Hehehehe...tidak pernah terbersit sedikitpun. Ketika kecil, saya ingin menjadi pemain sepakbola, dengan posisi sebagai back atau pemain bertahan. Pernah ketika kuliah mendirikan kesebelasan yang hanya seumur jagung, dan ingin suatu saat punya klub sepakbola.
Lalu saat mulai jatuh cinta pada puisi, terutama tahun 2006 ini begitu intens menulis, saya juga tidak berpikir akan menjadi seorang Penyair. Saya hanya mencintai sastra, terutama puisi. Jika lalu ada sebutan sebagai Penyair, saya hanya bisa ucapkan 'alhamdulilah' karena karya saya dikenal dan lalu dianggap sebagai Penyair. Tetapi apapun sebutan yang ada, saya selalu merasa kurang dalam belantara sastra ini. Jika bicara ilmu, baru setinggi got saja, masih cetek kerena sumur sastra memang begitu dalam untuk diselami.
Anda lekat dengan komunitas Bunga Matahari, anda bisa ceritakan kepada kami kiprah anda di sana dan seberapa besar peran komunitas menyokong kepenyairan anda?
Bunga Matahari, seperti halnya milis apresiasi-sastra, penyair, sejuta-puisi, fordisastra, puitika.net dan lainnya, adalah wadah yang berarti untuk penggodokan kematangan seorang calon penyair. Dengan kredo yang sangat bagus 'semua bisa berpuisi', Bunga Matahari menjadi tempat menuangkan puisi tanpa mempedulikan kaidah sastra, dengan bahasa yang semau gue, asal dan sebagainya.
Komunitas yang ada, punya peranan cukup besar untuk pengembangan dan penggembelengan diri. Tapi ini saja tidaklah cukup. Saya melengkapinya dengan terus dan terus membaca karya puisi, esai puisi dan bahasan-bahasan seputar puisi, bertemu para penyair, cerpenis dan sebagainya untuk mengasah (mencuri) ilmu. Tanpa itu, dalam wadah apapun namanya, kita hanya akan 'berjalan di tempat', tak ada kemajuan berarti meski sekian lama berpuisi.
Selain itu, mempertajam naluri dan empati saat di jalanan, dialog dengan warga di kampung saya serta jeli melihat apa yang terjadi di jalanan, fenomena sosial yang tertangkap dalam berita televisi, media massa dan internet.
Dalam waktu dekat ini antologi puisi tunggal anda akan segera terbit, bagaimana benang merah antologi anda dan hal menarik di dalamnya?
Hmm....antologi, atau saya suka menyebutnya kumpulan puisi, merupakan suatu 'prasasti pribadi' tempat kita bisa memahatkan karya-karya puisi kita. Apa yang kita alami dalam hidup, sebagian tertuang di situ, ada dokumentasinya.
Penerbitan kumpulan puisi ini juga sarat dengan idealisme. Sejak awal, saya tahu dan sadar bahwa janganlah bermimpi buku ini akan laris, habis dibeli. Budaya masyarakat kita belum mencapai tataran cukup untuk menghargai karya puisi. Karena itu, saya lebih menekankan pada suatu semangat yang ingin saya tawarkan lewat penerbitan buku ini, kepada semua penulis dan penggemar puisi, bahwa 'kemauan, keberanian dan kesempatan' harus diraih. Saya berharap ini dapat menjadi dorongan bagi pengembangan dunia puisi kita.
Anda demikian produktif menulis puisi, bagaimana teknik anda menyampaikan ide gagasan ke puisi?
Terima kasih jika dibilang produktif. Terus terang, saya orangnya otodidak, tidak memiliki latar belakang pendidikan sastra. Saya suka membaca puisi-puisi dari buku, majalah sastra (yang memprihatinkan karena tinggal Horison dan beberapa saja di daerah), di media cetak (yang hanya terbit seminggu sekali, dan ini pun terbatas).
Saya tak punya teknik khusus Saat ada ide, dengan getaran di dada, saya langsung menghadapi komputer mengetik puisi. Jika tidak, saat di jalan, ya menulis di handphone untuk disalin di komputer. Mungkin sejalan dengan ilmu yang diberikan para guru puisi, juga pengalaman yang masih tak seberapa, saya endapkan puisi yang telah tercipta. Saya lihat lagi kata-katanya. Jika terasa kurang pas dengan alur yang ada, saya bongkar dan jika perlu dihapus.
Tentang puisi-puisi anda, adakah tema besar yang anda bawa?
Kehidupan. Pada anak, gejolak jiwa, gelisah, bertanya dan juga cinta secara universal.
Bagaimana dukungan keluarga dengan karir kepenyairan anda?
Pada awalnya, mereka tak mengerti kenapa saya suka puisi. Bagi mereka, dan ini juga cermin dari masyarakat kita, menulis puisi itu sia-sia. Cengeng dan kurang 'macho'. Namun karena mereka melihat saya keras kepala, akhirnya menerima dan tak lagi ada kata-kata untuk puisi yang tercipta, untuk pergulatan saat melihat saya membaca, menuliskan kata dan terlibat dalam berbagai kegiatan sastra.
Penyair favorit dan antologi kesukaan anda?
Penyair favorit saya antara lain Rendra, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo dan Joko Pinurbo. Sedang antologi kesukaan saya "Sajak-sajak Sepatu Tua" (Rendra), "Hujan Bulan Juli" (Sapardi) dan "Kekasihku" (Joko Pinurbo).
Saya juga membaca dan belajar banyak dari para sastrawan yang menuliskan essay dan puisi, seperti Linus Suryadi AG, Abdul Hadi W.K., Kahlil Gibran, Hasan Aspahani dan lainnya.
Makanan kesukaan anda?
Saya punya kelemahan dalam makanan : tidak bisa pedas sedikitpun dan tak suka sayur. Maka makanan kesukaan saya tak jauh dari dagin dan kuah, seperti Rawon, Sayur Bayam, Soto, Sop Konro atau Sate.
Apa prinsip hidup anda?
Menerima dengan pasrah, memberi dengan tulus.
Apa rencana anda selanjutnya?
Mempunyai usaha sendiri dan terus menulis puisi.
Membaca puisi paling berkesan?
Saat peluncuran antologi 100 penyair "Jogja 5,9 Skala Richter" di Jakarta, saat membaca karya sendiri "Maafkan Aku"di depan para penyair lainnya yang dimuat di antologi itu.
Dengan kata-kata anda sendiri, apa itu puisi?
Puisi adalah perayaan hidup, curahan hati yang jujur dan jernih.
Pada suatu siang, saya ditelepon oleh seseorang. dia bilang Mas Jo... saya terus bercakap dengan mas Jo, yang dalam benak saya masih berpikir ini Mas Jo yang mana ya? karena lama tak membuka puitika, juga karena sedang ada pekerjaan kantor. tapi kami bercakap, dan saya salut Mas Jo cepat sangat akrab, khas orang dari Jawa Timur. malamnya mengajak ketemuan dengan HAH dan Hari Koriyun, juga Dedy TR di TIM. Ah... ini kesempatan bertemu dengan orang-orang yang sudah senior dan mumpuni di bidang sastra. Maka malamnya ketemu......dan ternyata Mas Jo itu ya Mas Johannes Sugianto. Terima kasih Mas Jo, atas keakrabannya dan semoga saya bisa belajar banyak dari Mas Jo dan teman2 di puitika, juga dimana-mana. Salam sastra!
BalasHapusJo adalah sebagian dari orang yang bisa membuat puisi sambil tidur,kecintaan atau kegilaannya pada puisi boleh diacungi jempol...kalau perlu jempol kaki ikut,saya pernah ngobrol dengan Jo di sebuah tempat...pulangnya langsung bikin puisi,diposting di Buma,jadi ngobrol aja jadi wahana dia berimajinasi. Dasar Jo..
BalasHapusCuma satu kegilaannya yang sampai sekarang aku gak ngerti..kegilaan pada 'Alis yang Melengkung ".. entah apa dan siapa itu..pastinya sesuatu yang sangat ' nancep' di benaknya. Terus mencipta Jo...jangan pernah mati..