: gadis pengemis kecil dan adiknya di KRL
panas siang ini tak seterik dadanya
kusam kaca kereta ini tak semuram hatinya
punggungnya mulai terasa letih
menggendong adik kecilnya sebagai penjala hiba
"permisi om, permisi tante!" lemah suaramu mengharap belas
dengan raut muka lebih kuyu dari daun meranggas
pembungkus permen yang jadi penadah uang itu
berpindah dari satu tatapan ke tatapan yang lain
entah sudah berapa banyak gerbong hari ini
di pojok gerbong adiknya merintih
"kak...lapar"
batinnya tambah berkeringat
"sabar ya dik, satu stasiun lagi kita makan"
irama lapar perut adiknya sebenarnya sudah sejak tadi
terdengar sampai kedadanya
kalau bukan karena dirampas preman tanggung di Manggarai
mestinya mereka sudah bisa rehat siang ini
mengganjal perut sambil menghitung uang setoran
hari ini masih akan panjang perjalanan
entah berapa panjang lagi esok hari
entah berapa lama lagi seperti ini
ia bertanya dalam hati kepada langit
sambil menyeka ingusnya yang bercampur debu
entahlah ...
langitpun tertunduk tak berani menatap
Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”
Komentar
Posting Komentar