Langsung ke konten utama

Entah Berapa Lama Lagi?

  
: gadis pengemis kecil dan adiknya di KRL


panas siang ini tak seterik dadanya
kusam kaca kereta ini tak semuram hatinya

punggungnya mulai terasa letih
menggendong adik kecilnya sebagai penjala hiba

"permisi om, permisi tante!" lemah suaramu mengharap belas
dengan raut muka lebih kuyu dari daun meranggas

pembungkus permen yang jadi penadah uang itu
berpindah dari satu tatapan ke tatapan yang lain

entah sudah berapa banyak gerbong hari ini
di pojok gerbong adiknya merintih
"kak...lapar"
batinnya tambah berkeringat
"sabar ya dik, satu stasiun lagi kita makan"
irama lapar perut adiknya sebenarnya sudah sejak tadi
terdengar sampai kedadanya

kalau bukan karena dirampas preman tanggung di Manggarai
mestinya mereka sudah bisa rehat siang ini
mengganjal perut sambil menghitung uang setoran

hari ini masih akan panjang perjalanan
entah berapa panjang lagi esok hari
entah berapa lama lagi seperti ini
ia bertanya dalam hati kepada langit
sambil menyeka ingusnya yang bercampur debu

entahlah ...
langitpun tertunduk tak berani menatap

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007