Langsung ke konten utama

Patung Matahari


                               buat budi darma

sudah  berapa lama kau dipeluk salju
sedang tahun semakin beruban
hingga hati membeku dan sayu
berkelok memanjang di antara jurang
dan burung burung salju
sambil mengenang udara tropis
sambil menanti warna pelangi
setiap pagi di bulan baru
kau selalu sempatkan membakar darah
dengan seteguk martini agar kalbu hangat
lalu kau melalmun di sepanjang boulevard
berharap di musim yang bebal
dengan mantel panas dan rambut api
adakah cuaca cerah di kota mati
setegas matahari

kau berpesan pada yang pergi
jangan lewat jalan licin bersalju
karena musim dingin akan menjebak
pakailah jaket tebal ketabahan
menghadapi hidup dalam pengembaraan
karena setiap saat kau harus siap
diselimuti maut dan bulan yang gemetar
dalam keterasingan hidup yang kau terima sebagai berkah
kau sihir butir butir salju
menjadi kata bermakna

menjadi bahasa kalbu
namun kau tak pernah puas
sebab belum sempat menghayati
bahasa matahari dengan kata kata bumi
yang kau tahu hanya sebatang kata kata
dan rusuk yang remuk

saat kau kembali dari perjalanan barat
kau tak mau pulang ke rumah sunyi
sebelum kau ceburkan diri di luas samudera
sambil menanti sepi pada matahari pagi
kau berenang bagai masa kecil dulu
di taman taman dan arus kali yang hancur
kau ingin semua orang melihat
ketelanjangan dan kebeningan yang abadi
yang tak pernah kau tutup tutupi
bersih dan suci bagai saat dilahirkan dulu
kau berenangan terus menyusuri tepi pantai
di antara sampah basah dan sperma muntah
dari atas gazebo di sebuah tasik

adakah yang lebih hina dari sampah lautan
yang tak seorangpun mau mengambil
hanya muara bumi yang paling tabah
yang akan menerima setiap ampunan
sedang dari pinggir hotel remang
terdengar derit suara ranjang
yang terus menggoda tak kenal waktu
namun kau tenggelamkan pikiran ke dasar air
kau ingin mencucinya dengan bening lautan
yang terdalam, airmata cahaya

kau ingin meminum air laut yang paling tawar
agar ragamu nanti dapat ditawar
sebelum menyampah
terhanyut ke hilir

ketika kau pulang malam hari
kesunyian tetap setia menantimu
ia duduk di ruang tunggu dengan baju tidur
keabu abuan bermotif bunga rangkai
dan ular kobra kesukaanmu
siap memeluk rasa kangen
dan membaringkan telur telurnya
kau hanya tertegun di depan pintu
goyah akan pulang
atau balik ke samudera
kau tak siap menghadapi kenyataan
yang kau bayangkan hanyalah patung matahari
yang harus segera terwujud sebelum mati
kalau mati nanti kau berharap seperti burung putih
yang berkumpul dengan burung sejenis
di antara ngarai, lembah dan jurang

setiap hari di musim kemarau
kau hanya duduk duduk di ebranda
ditemani sepi yang bergelayutan di bahu
memandang kekosongan ruang
belum terisi seperti cahaya matahari
yang selalu memancar dari rumahmu
kau selalu membayangkan patung matahari
yang tiba tiba jatuh dari langit

hingga tak usah susah susah kau membuat
berhari hari kau sudah menduga duga
bentuk patung yang akan terwujud
setiap mencari inspirasi
kau selalu berjalans endirian
menjelajah sekitar kampus, sawah sawah
jalan beludak dan pinggir sungai kalimas
di kota yang panas dan kadang ganas
namun selalu kau temui bentuk yang abstrak
ujung yang cacat dan sedikit sesat

akhirnya kau putuskan mencari
patung hidup yang ada di rumah kaca
dengan anjing belerang yang berkuku macan
kau terjatuh pada langkah yang pertama
dengan kuda merah yang birahi
jidatmu luka oleh benturan kaca diri
bayangan yang hancur dari rasa takut
dipermak lima jahitan hingga yang etrdalam
adakah kenangan buruk yang membelit
hingga mata yang awas
kesadaran yang pantas
menjadi tak berguna
atau hidup ini memang absurd
dengan jalan pikiran yang terbakar
lusanya kau datang ke etalase dolly
jarak, bangunsari dan moroseneng
tempat remang di bumi
bintang langit yang merasuk
jantung malam

aku teringat surabaya johnny*
berkelana hingga kenjeran
mencari ubur ubur laut
mirip kondom dan sperma
yang dibuang setelah kapal bersauh
di etalase kau amatai tubuh sunyi
yang paling sempurna
dengan cahaya redup di sekelilingnya
kau hitung satu persatu
waktu berdetak
dalam diri sang patung
adakah ia akan berhenti
atau abadi dalam ujud patung selamanya
namun kau ingin yang lebih purba
dari patung hidup yang pernah ada
kau ingin yang lebih hidup
dari yang hidup
kau ingin lebih mulia
dari yang ada di angan

kau temukan inspirasi
kau ingin campurkan darah barat dan timur
dalam keseimbangan yang etratur
hingga akan lahir patung murni
dari lubuk kalam
kau pulang dengan rasa gembira
kau koleksi sejumput kecupan
emrah dalam darah masam dalam rasa
kau kenang kelonan hangat yang rengat
dan musnah dalam sekejab sebab
kau bawa kekosongan waktu
dalam botol botol tubuhmu
jiwamu ingin mekar
bagai bunga tersiram di pagi hari
sedang tubuhmu ingin melupakan semua
bahan bahkan hidup yang berlumpur
namun bayangan diri
selalu menyertai

kau pesan seminggu yang lalu
bongkahan dari gunung semeru
batu gaib dan batu ekmatian
sebuah miniatur dari dunia
pusat bentuk dan hakikat waktu
yang akan tercermin pada diri sang patung
bahasa bahasa kebangkitan
dan kebeningan tangan tangan
dalam mengukir hati dan lukisan kaligrafi
yang akan membentuk
setiap sudut dan relung matahari
yang dikelilingi ribuan api
dan kata kata murni
sedang bulan hanya hiasan
bagi sang bumi

kau bawa batu gebal dalam diri
kau tenggelamkan di tengah kolam
kau tanam ketabahan dalam dingin waktu
berbulan bulan dalam sujud dan doa
agar sempurna ketika dicipta kembali
agar terpancar mata biru, kulit putih memplak
dan hidung mancung, blasteran atau albino
bumi dan langit, api dan air, baik dan buruk
kau telah siap dengan pengabdian etrakhir
sebuah karya maha agung
dengan kelamin cahaya

patung dengan tubuh
yang tegap dan kokoh
tiada berkeloneng
seolah tong kosong
yang dapat dengan berdentang bagai genta
adalah yang lebih tohor
dari patung maya yang diam
sebelum dimulai kau kumkum di kali
tepat pada bulan sura yang dinanti
agar pahatan agan arca
tak pernah surut meski berkabut
agar patung hidup menghadap kiblat
dengan tangan sedekap ke langit
dan kaki sedeku ke bumi
adakah yang lebih bijak dari sabda yang terucap
seperti nenek moyang yang mencari akar api
dengan batu yang digesekkan pada kawul
dan kaulmu  akan terwujud sebagai sedekah

semua yang di bumi hanyalah halusinasi
batu hanyalah cakrawala yang menggumpal di bumi
cahaya hanyalah mata air yang tersesat di langit
api hanyalah lumpur yang emmanas di udara
dendam hanyalah pikiran yang membeku di hati
dan di jantung akan ditanam lubuk laut
yang luasnya melebihi samudera hati
karena kau tahu barat dan timur sebenarnya satu
yang selalu berputar pada porosnya
yang selalu disinari matahari
yang selalu bercermin pada pusatnya
pada debu dan pasir yang berserakan

perjalanan panjang yang berat
telah mengukirmu seolah souvenir
yang siap dibawa kemana mana
dan dipandang sebagai berhala
seperti pikiranmu yang berkelebatan
bagai pe
rcik api masa lalu
dengan kastil kastil musim hujan
sumur tua cakrawala hidup
agar budi luhur manusia tetap terjaga
agar darma manusia tetap berguna
kau kini ingin mewujudkan
karya yang terakhir
sebuah patung matahari
yang telah kau ukur sejakd ari kalbu
karena kau tau matahari
hanyalah hati yang terbelah
setelah sekian tahun mengembara
berlumur kesunyian dan kebisuan
merambat perlahan keluar dari jiwa
sedang tubuh hanyalah tanah lapang
yang bermula dari rawa rawa
lumpur pinjaman
sebelum dicipta tembikar

kau lihat cahaya yang memancar
di siang hari saat matahari tepat di atasmu
kau siapkan patung matahari dari serakan pasir
genangan lumpur dan cahaya yang mencair
kau aduk dalam adonan doa dengan batu gunung
sebagai wadah dari rangka yang ringkih
dengan hijau kepahitan dan kuning kemenangan
yang seumur hidup telah kau kumpulkan dalam hati
kau lewati tangga waktu dan jembatan udara
agar sampai menggapaimu
dzat yang belum terwujud

kau bangun patung matahari di halaman
d sebelah kanan pintu gerbang
di antara pohon pohon yang rendah
tepat di tengah langit kepicikan
kau ingin patungmelayang layang
bukanlah berpijak pada bumi
kau akan melihat burung cahaya yang lepas
dari sudut mana pun dan tak ada ayat yang patah
cahaya yang bernyanyi dan memancar lancar
kau ingin dari dalam patung muncul air mancur
yang selalu dapat mengalir kebumi dan kebun kata
hingga orang orang yang sedang kehausan
di tengah perjalanan hutan lambang
dapat meminumnya dan berkata kata

kau tahu sejak dulu, perjalanan
adalah tempat menemukan waktu
dan bentuk baru yang paling sempurna
kompleks dan mengejutkan sebagai sebuah karya
bukan dari tubuh tapi dari jiwa
bukand ari otot tapi dari pikir
bukan dari pesan tapi dari rasa
bukand ari kisah tapi dari kesan
setelah mengembara ke segenap benua
dengan kenangan busana bermahkotakan kabut
ternyata kau tetap terikat pada sebuah tempat
pada satu jiwa yang hidup dalam diri sang patung
setelah kaidah diindahkan
dan keheningan di gunung sukma
menyamar di patung air
yang akan selalu berlumut
dalam bayangan hujan
sebelum kembali ke tanah

pada saatnya nanti
kau ingin menikmati hidup
dari mata kanak kanakmu yang dulu
kau ingin mendengar cerita dari derita punggungmu
kau ingin melihat kenyataan dari perih luka lamamu
kau ingin merasakan hidup dari tubuh kalbumu
kau ingin selami semua ini hingga ke pusat tahta
dan bukan dari bayang bayang hidup
kau inginsegera selesaikan patung matahari
yang tak pernah memiliki bayangan
ialah sumber segala bayang
sekaligus sumber cahaya yang tak pernah mati
yang selalu memancar dari seluruh tubuhnya

Surabaya-Sumenep, 2006
*judul cerpen Sony Karsono

Komentar

  1. Wow! Panjang sekali...
    Insya allah kalau selesai membaca saya akan kasih komentar lagi!
    regards,
    Lintang Dalu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...