Langsung ke konten utama

W Haryanto

W Haryanto lahir di Surabaya, 14 Oktober 1972. Penyair, eseis, Komite Sastra DKJT, pimred Majalah Kidung, juga penggiat kelompok diskusi TaS, selain kesehariannya sebagai staff TU Balai Bahasa Surabaya. Karya-karyanya banyak dipublikasikan di sejumlah media massa, termasuk Kompas, Jurnal Kalam, Jurnal Filsafat Mitra Budaya, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bali Post, Surabaya Post, dll. Saat ini sedang menyiapkan buku kritik sastra, "Penyair Tak Perlu Negara: menyingkap teks 10 penyair Jawa Timur".

Kru Puitika.Net berkesempatan mewawancarai penyair ini di kantor DKJT Surabaya. Berikut percakapannya.

Setiap orang memiliki cerita yang berbeda tentang pengalaman mereka menulis puisi. Anda mungkin bisa menceritakan sejak kapan menulis puisi?

Saya menulis pertama kali tahun 1994 akhir itu karena saya berinteraksi dengan beberapa kawan di kampus. Beberapa kawan saat ini masih aktif seperti Soni Karsono kemudian S. Yoga kemudian Panji K. Hadi kemudian ada lagi yang menjadi novelis itu S Jai. Saya memang berinteraksi dan waktu itu memang sebenarnya basic saya itu seni rupa . Kemudian oleh kawan-kawan saya sering diposisikan untuk menyetting, ketika teman-teman mengadakan pembacaan puisi saya disuruh nyetting . Dari interaksi itu saya mulai tertarik menulis tapi proses pertama saya bukan proses perkenalan itu tapi waktu tahun 1995 awal Februari saya KKN di daerah Pasuruan dan daerah itu daerah minus. Disana tidak ada listrik dan masyarakatnya masih sangat terbelakang sekali. Waktu itu saya dibekali oleh pemahaman kultur orang Madura itu kasar meskipun tetangga saya sendiri banyak yang Madura tapi ketika saya datang ke daerah yang masyarakatnya tidak mengenal bahasa Indonesia tetapi bahasa Madura. Saya sempat mengalami shock. Kemudian disana saya memulai semacam studi sosial. Saya banyak mendalami persoalan-persoalan di sana termasuk di sana persoalan sejarah mungkin terlepas dari kajian sejarah kita tentang Sakera. Di sana yang namanya Sakera sama adek perguruan yang berpihak pada Belanda masih ada di sana dan bertetangga. Keduanya saling berebut posisi politis. Kalau keduanya itu berfikir tidak merebut posisi aparat desa itu sangat menakutkan, masing-masing itu bisa saling membantai. Jadi di sana itu mungkin kita bisa membongkar lagi stigma kalau Kyai seseorang yang memiliki posisi tinggi tapi disana tidak, teori itu gagal. Tapi kalau ada Kyai meskipun begitu rumahnya bisa dibakar massa. Tapi kalau yang namanya Kades . Mereka tidak berani sama sekali. Makanya dari dua keluarga ini kemudian berebut dalam posisi entah kades dan kekuasaan lainnya. Berebut itu. Dans alah satu keturuannya dari adek yang menjadi musuhnya Sakera itu berkata ‘ kalau saya tidak menjadi Sekdes keluarga saya dihabisi masyarakat . Proses itu kemudian saya mencoba mengembangkan sebuah pengalaman sosiologis, pengalaman tidak langsung. Saya sering ngobrol orang di sana dan permasalahannya memang kritis banget. Tahu-tahu saat saya pulang ke Surabaya sempat cuti 2 hari saat kembali kesana ada Carok. Dan situasinya sangat mengkuatirkan. Disana itu tidak ada listrik yang ada ada diesel. Dan listrik hanya menyala jam enam sampai jam sembilan . Setelah itu mati. Tekanan-tekanan semacam itu memacu saya untuk menulis dan puisi saya yang pertama adalah Retoris Bisu , itu untuk merefleksikan persoalan seperti itu. Ada larik-larik kata seperti ini :

Ternyata orang-orang tidak berjalan dengan kakinya tidak menangis dengan matanya

Ketika saya datang kesana dengan sebuah kultur saya sebagai anak kuliah dengan idealisme tinggi dengan dibekali teori sosial dan saya datang kesana dengan pesan sosial. Kalau mau ngomong kapan saya menulis pertama kali ya itu. Jadi saya memang menulis itu karena bukan seperti teman-teman yang mungkin bergaul dengan sastrawan dan membaca buku. Saya nggak, saya punya strategi sosiologis. Dan sejak itu saya gemar berjalan-jalan antar kota. Dan sering saya amati itu ekspresi orang-orang, tapi saya tidak melakukan interaksi dengan mereka. Jadi saya cukup didekat mereka kemudian saya menikmati ekspresi mereka. Saya pernah ke Solo itu ada tukang kuli barang. Ada teman-teman mahasiswa mau nunggu kereta. Mereka teman saya yang baru pentas jadi bawa alat musik lengkap karena nunggu kereta jadi alat musiknya nganggur. Tau-tau tukang kuli barang tadi meminjam alat musik tadi dan kemudian memainkannya dan enak ternyata. Satu hal yang tidak sangka orang ini menemukan sebuah tingkat kebenaran lain. Disatu sisi ia itukan dalam tekanan sosial tapi di sisi lain ketika ada alat musik dia ingin mengekspresikan secara total. Ekspresi dia itu saya nikmati banget. Nah dari sini jika bicara proses , saya menulis itu bukan dari kasus persoalan sosial tapi dari ekspresi yang saya tangkap mungkin ini lebih pada strategi drama. Karena memang awalnya saya anak Teater.

Dalam perjalanannya, anda dikenal penyair yang mengusung tema “Maut”, anda setuju?

Di awal-awal tulisan saya memang bercerita masalah maut . Itu karena saya punya trauma, punya memori yang sampai sekarang saya bawa. Waktu saya masih kecil mungkin masih SD kelas satu ada kecelakaan kereta dibelakang rumah saya. Ada bis kota ngebut ditabrak kereta. Dan hari itu langsung meningal lebih dari seratus. Orang kampong saya mengeluarkan tikar. Satu hal yang saya ingat itu mayatnya bajunya itu bersih. Yang hancur kepala dan berdarah dan itu terbawa sampai sekarang. Saya berfikir manusia itu tidak lebih dari tubuh bukan esensi . Memori itu saya bawa dalam tulisan saya di awal-awal. Kemudian saya terlibat dengan kultur lain, aspek-aspek kebudayaan dunia lain misalnya saya pernah ke Bugis disana ada persoalan. Jadi setelah periode kedua dari tahun 1999 sampai dengan sekarang lebih pada bagaimana seorang pengarang berada ada satu kultur lain tapi bukan dalam konteks menghakimi tapi pada posisi bagaimana dia membangun dialog budaya. Dia menemukan ukuran budaya.

Jika dihubungkan dengan profesi anda sebagai PNS saat ini, bagaimana menjaga konsistensi tadi sementara waktu anda tidak cukup luang untuk melakukan perjalanan?

Kalau sekarang saya mencoba menulis esai. Saya mau menyusun sebuah buku, judulnya “Penyair Tidak Perlu Negara : Menyingkap Teks 10 Penyair Jawa Timur”. Sebuah kajian tentang 10 penyair Jawa Timur. Strategi saya seperti ini. Jika saya tidak memiliki kesempatan untuk berjalan-jalan saya akan menulis esai.

Mungkin anda bisa menceritakan tentang kajian anda tadi?

Selama ini kan penyair kita itu kan dibekali dengan sebuah beban nominal. Jadi mereka itu tidak pernah berfikir kritis dengan karyanya. Jadi mereka sudah cukup merasa bangga ketika membaca puisinya diundang pada event tertentu. Sementara kualitas itu nggak ada Saya pernah pengalaman membuat lomba kritik sastra, waktu itu di Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya. Saya memang melontarkan itu. Dan itu memang cuma satu orang dan saya memang meresahkan proses ini karena sastra memang tidak bisa dilepaskan dari kritik. Tanpa kritik kualitas itu tidak bisa dibaca. Sebenarnya tulisan ini kumpulan dari makalah-makalah saya. Jadi beberapa kali saya menjadi pembicara yang saya kembangkan lagi menjadi tulisan. Dan kalau beberapa pengarang ini saya memang tidak menggunakan ukuran isme atau gaya atau rentang waktu. Karena memang itu bukan masalah yang urgen dalam perkembangan sastra Jawa Timur .karena banyak sekali pengarang-pengarang sastrawan Jawa Timur yang lama-lama pun belum perah diulas. Jadi beberapa pengarang yang maket yang sudah jadi antara lain Trinil sendiri itu tulisan saya sempat dimuat di Surabaya Pos kemudian pengantar saya untuk Sabrot D. Malioboro, Almarhum Brewok. Kemudian beberapa penyair muda dari Unair sudah saya ulas. Kemudian penyair dari Jerman, saya mencoba membangun pertandingan dengan penyair Saiful Hajar, kemudian ada lagi penyair dari Malang, Rego, Panji dari Madiun dan kemudian S Yoga.

Bagaimana dengan nama-nama lain di Jawa Timur?

Mungkin akan saya sajikan lain di edisi berikutya.

Anda banyak berkomunitas misalnya FS3LP , seberapa besar komunitas membantu proses kepenyairan?

Kalau bagi saya justru di awal-awal tapi ketika komunitas mulai besar kontribusi dari komunitas itu malah gak ada, tapi justru komunitas itu masih belum terbangun jadi masih gerilya jadi masih sekumpulan orang sering berkumpul di warung kemudian membangun komunitas di Teater Gapus. Waktu itu masih ada Panji, Pamuji, disana saya digodok. Tapi ketika Teater sudah mulai besar, terbalik. Bukan komunitas membangun saya malah saya bergerak sendiri. Artinya komunitas itu bukan jaminan . Yang jadi jaminan dari komunitas itu komunitas sosial dalam komunitas itu sendiri. Karena memang banyak dalam komunitas itu toko-toko sentral yang kemudian membangun jarak antar generasi dan itu berbahaya dan itu memang terjadi di hampir semua komunitas. Jadi bicara penulisan sudah bersifat pribadi bagaimana dari pribadi itu membangun disiplin untuk sebuah proses. Komunitas itu faktor B jadi hanya masalah iklim saja. Jadi seseorang bisa lahir dari komunitas tapi proses itud ari penyair itu sendiri bukan dari komunitas.

Menulis sejak lama tentunya ada masa kritis bagi kepenyairan anda?

Masa kritis itu pada saat saya menghadapi skripsi. Pada waktu saya diharapkan banyak teori menghadai ujian akhir. Itulah masa Kritis saya. Jadi disana pola pikir kreatif saya tidak jalan yang jalan pola rasio. Saya mengalami itu hampir satu tahun lebih , saya masih menulis puisi tapi puisi saya jelek.

Setiap penyair memiliki falsasah hidup, bagaimana dengan anda?

Saya ingin merebut apa yang tidak bisa saya rebut. Apapun itu.

Berbicara masalah penuangan ide ke dalam puisi, bagaimana prosesnya bagi anda secara pribadi?

Kalau saya suka membuat buku catatan kecil. Jadi sebuah puisi tidak tiba-tiba menjadi sebuah puisi. Kalau imajinasi saya selalu dalam perjalanan. Ada pernah buku alamat itu saya buang karena isinya bukan alamat tetapi isinya potongan-potongan kalimat. Dalam perjalanan saya banyak sekali mengamati baik itu ekspresi atau apa . Dari sana muncul rasa kata. Baru kemudian saya endapkan sekian lama. Kemudian pada saat saya hendak menulis buku itu saya buka lagi. Saya buka pelan-pelan satu persatu. Untuk sampai ke tema.

Proses koreksi dalam puisi sering dilakukan?

Paling sering. Satu puisi bisa beberapa kali koreksi.

Banyak berkenalan dengan penyair tentunya selama ini. Siapa penyair favorit dan antologi kesayangan anda?

Kalau saya favoritnya. John Keats, penyair romantik Inggris. Bahasanya luar biasa, padat dan ia itu paling jujur. Diksi-diksinya penuh kejujuran. Kemudian ia kalau menulis larik begitu padat. Ketika ia mencapai suatu teknik perlambangan itu begitu tinggi jadi tidak sekedar sebuah bunyi, bunyi letupan. Tetapi mengandung sikap pribadi seorang penyair pada dunia. Kalau di Indonesia saya paling suka Subagio Sastrowardoyo karena ia memiliki intelegensi paling tinggi. Menurut saya di Indonesia dia yang paling tinggi. Dia tidak Cuma memiliki kemampuan filsafat, kajian kebudayaan. Tapi ia justru menulis puisi itu sederhana tapi dalam.

Kalau antologi kesayangan dari Subagio Sastrowardoyo itu “Hari Dan Hara”.

Anda memiliki latar belakang bahasa secara akademis yang baik. Tetapi jarang sekali anda menulis puisi dalam berbahasa Inggris. Ada apa?

Saya menulis memang dalam bahasa Indonesia. Bahasa Inggris saya cuma membaca dan belajar.

Sedikit menyimpang, penyanyi favorit anda?

Saya suka Hallowen. Paling suka.

Makanan favorit?

Ikan asin (tertawa kecil)

Membaca puisi paling berkesan, kapan dan dimana?

Pada tahun 1996, waktu membaca di DKS. Saya di undang dalam forum itu saya tidak merasa demam panggung.

Dibalik penelitian/kajian tadi? Ada rencana lain selanjutnya untuk diwujudkan?

Saya ingin menulis kritik sastra semua penyair di Jawa Timur

Semua yang berdomisili di Jawa Timur?

Tidak semua yang berdomisili di Jawa Timur tetapi mereka yang mencitrakan jawa Timur karena sebagian itu banyak yang keluar misalnya di Bali. Tapi karya mereka itu masih memberikan citraan Jawa Timur.

Identitas Jawa Timur itu ditunjukkan melalui nama tempat atau hal lainnya seperti bahasa daerah?

Oh bukan tapi karakter bahasanya, kelihatan dari sistem lariknya. Ini Jawa Timur ini nggak. Kemudian dari pilihan kata tapi bukan merujuk pada kata khas daerah seperti ‘jancuk”. Justru pada saat ia menggunakan kata-kata biasa justrru ada ekspresi “jancuk” di sana. Jadi memang perlu ketelitian.

Bagaimana dengan globalisasi? Idiom yang kita kenal bersama dinikmati bersama?

Memang sulit. Makanya buku yang pertama ini banyak dari penyair yang tua. Jika kita bicara masalah generasi memang sulit. Penyair tua ini lebih kental Jawa Timurannya. Kalau generasi sekarang akrab dengan buku terjemahan tanpa sempat berkontemplasi. Akhirnya karakter mereka ini hilang karena bergelimang dengan buku terjemahan ini. Mereka tidak sempat membangun dialog dengan buku.Mereka langsung menelan buku tersebut dan membuat maket untuk menulis. Penyair generasi sekarang seragam. Jadi kalau mau dibuat kajian itu sulit karena karakter mereka sama semua. Fikiran sama semua. Padahal setiap daerah itu kekhasan persoalan, personal itu berbeda semua. Masalahnya ini seringkali luput dari generasi sekarang. Makanya saya dengan mutasi mutakhir saya kesulitan mencari angle jawa Timurnya mana. Kalau penyair seperti Brewok kelihatan banget. Nafas Suroboyonya khas banget. Ada karakter-karakter dalam tulisannya.

Menyinggung masalah kritik sastra. Bagaimana menurut anda membudayakan kritik sastra?

Jadi sebenarnya alternatif itu dari kampus. Jadi pihak kampus harus ada kurikulum yang memadai untuk melakukan kritik. Kemudian pemahaman orang berkuliah . karena pemahaman orang kita tentang berkuliah itu seringkali salah. Sehingga mahasiswa kita ada satu pemahaman bukan lagi untuk mencari ilmu tapi untuk mencari pekerjaan. Kalau pekerjaan kan semua orang mencari pekerjaan tap ketika berkuliah dia harus intens dengan ilmunya itu. Bisa jadi seorang sarjana sastra bekerja di Bank tapi setelah pulang dari bank dia meluangkan waktu untuk kritik sastra. Tapi itu tidak terjadi. Bahkan mereka yang bersinggungan dengan sastra. Habis lulus mereka menjadi guru misalnya tapi tidak menulis sastra. Dan itu sesungguhnya masalah mental pendidikan kita yang sudah salah. Kalau bicara masalah alternatif memang sebenarnya di akademik sastra. Bukan di kroan bukan di Dewan Kesenian tapi Akademisi sastra. Kalau koran itu kan perkembangan sistem kesenian bukan kritik, untuk kualitas itu tanggung jawab akademi karena tiap hari mereka berkecimpung dengan teori.

Anda aktif di DKJT, mungkin bisa cerita perihal kiprah DKJT meningkatkan minat berpuisi?

Adanya Laboratorium Sastra. Misalnya dengan membedah buku karya sastrawan. Kami tidak mengundang banyak orang dan memang setiap acara biasanya tujuh orang yang datang. Termasuk pengarangnya sendiri. Di sana kami mencoba mendistribusikan pemahaman, apresiasi. Selama ini kan pengarang setelah menulis selesai , saya coba menghadapkan penulis dengan apresiator. Kemudian saya juga melibatkan dosen-dosen sastra. Saya ingin fakultas sastra terlibat paling tidak dari dosennya tertarik untuk menulis buku.

Anda banyak berkenalan dengan penyair muda. Bagaimana dengan nama-nama muda yang muncul di Jawa Timur yang berpotensi?

Kalau itu saya belum bisa jawab karena penyair Jawa Timur sekarang sudah terkooptasi dengan gaya-gaya penulisan Jakarta. Sebenarnya ada beberapa misalnya Ragil Sukriwul dari Malang. Dia aktif di Teater seringkali dia melakukan perjalanan panjang muhibah ke beberapa tempat dan wilayah dan dari sana dia menuliskan catatan-catatan. Membangun sebuah dialog. Paling tidak ia punya modal besar cuma saya pun berani bisa bilang ia punya potensi tapi seringkali saya membaca karya Ragil itupun saya belum melihat kekuatan penyair muda Jawa Timur. Setelah eranya Arief Prasetyo paling kalau digenerasi saya itu S Yoga. Setelah itu nggak ada.

Apakah ada keharusan penyair menulis esai?

Saya pikir itu harus. Puisi kan abstrak banget ketika menulis bunyi, tema. Ketika menulis esai dia dipertaruhkan dengan logika. Bagaimana dia mempertanggungjawabkan pikiran-pikiran dia ke audiens. Kebanyakan saya lihat penyair besar adalah penulis esai yang handal . Subagyo Sastrowardoyo itu buku-bukunya luar biasa. Ada bukunya yang monumental dan saya jadikan patokan “Sosok Pribadi Dalam Sastra”, kemudian Sapardi juga aktif dan Goenawan juga. Kenapa kritik sastra kita lemah karena mereka paling lemah menulis esai. Untuntuk mempertanggungjawabkan pikiran-pikiran dia.

Beberapa esai yang ditulis oleh rekan-rekan dari Jawa Timur cenderung mengangkat nama-nama penyair jawa Timur, ada strategi khusus?

Kenapa tidak, karena mereka layak masuk dalam sejarah sastra. Karena selama ini sejarah sastra jawa Timur pun sangat tergantung dengan Jakarta. Di DJK sejak dua tahun lalu mendapat proyek dari Diknas, membuat buku panduan untuk pelajaran sastra. Termasuk selama ini kan pelajaran sastra itu kan berhenti di Chairil Anwar, terakhir Rendra. Nah sekarang oleh DKJ, jadi mereka membuat program, membuat catatan, membuat sejarah sastra sulit untuk dilakukan di daerah karena membutuhkan biaya besar, jadi mereka mengundang beberapa penyair datang ke Jakarta dan dibiayai Cuma masalahnya ini bias juga . karena memang yang terpilih pun teman-teman dekat kuratornya. Ini yang jadi masalah. Kayak kasus di Yogyakarta ada beberapa nama penulis muda yang punya potensi tapi tidak masuk justru yang amsuk pengarang yang masuk seperti generasi tahun 70-an. Itu kan jadi masalah. Dengan masalah itu saya berfikir kenapa tidak membuat sejarah sendiri. Saya mengangkat sastrawan jawa Timur saja.

Anda bisa memperjelas posisi Surabaya di antara kota besar di Indonesia; Bandung, Yogya dan Jakarta?

Kalau saya, Indonesia itu hampir sama saja. Kalau di Jakarta memang lebih baik karena disana masih ada dialog-dialog antar komunitas, kemudian kegiatan bedah buku dan itu rame. Kalau itu kita jadikan ukuran perkembangan maka iya. Setiap kali bedah buku di sana rame, entah pengarang muda, terkenal selalau ramai. Bahkan terakhir kali waktu itu saya tidak sempat menghadiri tapi saya langsung pulang ada bedah buku. Pengarangnya sudah tidak terkenal, mati muda dan ia hanya dikenal sebagai penyair komunitas Metro Mini. Jadi pengarang-pengarang Batak itu punya komunitas namanya Metro Mini. Jadi pengarang itu meninggal waktu menjadi supir. Waktu itu dibahas di TIM, rame. Jadi tidak masalah apakah terkenal atau tidak. Sebenarnya apakah buku itu layak atau tidak, itulah yang tidak dipegang di Surabaya. Jadi kalau mau ngomong, kalau di Yogya lebih parah. Yogya punya khas, orang-orang tua itu menjegal anak muda terang-terangan. Kalau disini tidak terang-terangan tapi menjegal. Kalau disini kan acara anak muda kan tidak mau datang. Kalau disini orang Surabaya sulit sekali diajak diskusi. Ini sudah saya temui sejak euforia 98. Terakhir rame itu pas acara Tengsoe Tjahyono, dan penontonnya aktif dan kemudian dari beberapa wilayah di Surabaya. Terakhir kali pas saya menjadi pembicara Rego malah sedikit yang datang.

Kampus pun sekarang jarang membuat jaringan. Mereka mebuat jalan-jalan sendiri. Kalau mengundang pun hanya alakadarnya. Tetar kampus itu sekarang gap.

Terakhir, puisi menurut anda?

Puisi itu adalah sebuah logika. Logika menghadapi dunia menandingi alam karena manusia sendiri kalah dengan alam. Kita kalah dengan angin, kalau angin kencang sedikit kita sakit. Dan manusia dilahirkan untuk menaklukkan alam tapi bukan untuk mengeksploitasi alam. Dan Puisi arahnya kesana, menandingi alam. Alam tandingan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...