Pernah menjadi sutradara film independen bersama teman-temannya di @rekfilm Surabaya untuk lomba film di TVRI Surabaya tahun 2002, filmnya yang berjudul Ia yang pergi dan Ia yang Kembali terpilih sebagai film terbaik. Naskah dramanya yang berjudul Rumah di Tubir Jurang, menjadi salah satu pilihan dari lima naskah drama lainnya untuk dipentaskan oleh peserta dalam Festival teater remaja se-Jawa Timur 2005- Taman Budaya Jawa Timur.
Penyair yang baru saja meluncurkan antologi puisinya "Patung Matahari" akan berbicara banyak perihal diri dan puisinya dalam wawancara dengan Puitika.Net. Simak dan nikmati.
Sejak kapan Anda mulai menulis puisi?
Mulai SMP sudah bikin puisi dan cerpen, tapi hanya untuk pribadi, diary, lalu di SMA saya masuk jurusan Bahasa dan Budaya atau A4, karena lebih suka budaya dan sastranya, di SMA Purworejo-Jawa Tengah dengan beberapa teman pernah membuat antologi puisi dan cerpen "Kering Shanira" selain menulis saya juga berteater. Ketika SMA inilah ketertarikan saya terhadap sastra semakin kuat, ketika itu saya sudah suka membaca karya sastra, kebetulan perpustakaan SMA dan daerah cukup baik koleksinya, di antaranya yang pernah saya baca waktu itu Olenka; Budi Darma, Godlob; Danarto, Telegram dan Stasiun; Putu Wijaya, Lelaki Tua dan Laut; Ernest Hemingway, Kunang-Kunang di Manhattan Umar Kayam, Tegak Lurus dengan Langit, Ziarah, Koong, Merahnya-Merah; Iwan Simatupang, Jalan Tak Ada Ujung, Harimau-Harimau, Senja di Jakarta; Mochtar Lubis, Kemarau; AA Navis. Sedangkan karya puisi yang pernah saya baca waktu SMA, Empat Kumpulan Sajak, WS Rendra, Perahu Kertas, Mata Pisau, Akuarium; Sapardi Djoko Darmono, dan karya-karya Ayip Rosidi, Sajak Ladang Jagung dan karyanya yang tentang Jepang, mungkin judulnya Negeri Matahari. Ketika kuliah saya terus berteater dan menulis puisi, cerpen dan naskah drama, mula-mula hanya untuk diterbitkan sebagai antologi bersama, di teater Puska FISIP Unair. Baru pada tahun 1995 mulai menyebarkan tulisan-tulisan di media masa, baik puisi, cerpen, esai sastra-budaya dan artikel sosial, cerpen saya yang pertama dimuat di majalah Horison, Sumur Ajaib. Sedang puisi yang pertama saya kirimkan dimuat di Surabaya Post.
Anda lahir di Purworejo, bisa anda ceritakan bagaimana masa kecil anda?
Kota Purworejo hanya kota kecil di antara Yogyakarta dan Purwokerto, waktu kecil saya pernah tinggal di Yogyakarta dan pindah ke Purworejo karena ayah pindah tugas. Waktu SD saya sudah suka membaca buku cerita, kebetulan perpustakaan SD kami cukup baik menurut pandangan saya waktu itu. Beberapa buku yang pernah saya baca di antaranya karya Mochtar Lubis, judulnya lupa, tapi mengisahkan petualangan anak-anak, kemudian ada Sungai Serayu entah karya siapa dan beberapa karya perjuangan yang tidak dapat saya ingat lagi. Kebetulan juga Bude saya yang tinggal di Bandung sering membawa majalah Si Kuncung dan Bobo kalau pulang ke Purworejo, kebetulan Bude langganan, sehingga begitu memupuk daya imajinasi. Begitu juga kebudayaan yang ada disekitar tanpa saya sadari ternyata telah membentuk cara pandang dan kreatifitas saya dikemudian hari. Waktu kecil kami suka nonton wayang, ketoprak dan terlibat dalam upacara-upacara adat yang ada. Apalagi nenek saya setiap hari sebelum tidur pasti akan mendongeng cerita-cerita seperti Cidelaras, Sakuriang, Ande-Ande Lumut, Bawang Putih, Si Kancil, Timun Mas dan lain-lain, cerita-cerita ini begitu memukau masa kecil saya.
Bagaimana peran keluarga dalam proses kepenyairan anda dan sekarang khususnya istri?
Keluarga ibu saya adalah pemain-pemain wayang orang di masa mudanya, mereka suka berlatih menari dan sesekali bermain ketoprak. Dalam dunia berkesenian, orang tua saya tidak mau ikut campur, karena mereka membiarkan anak-anaknya menentukan pilihan hidupnya sendiri, mendorong tidak, melarang juga tidak. Sedangkan istri saya, karena saya menikah ketika saya sudah berkecimpung di dunia satstra sehingga secara pembentukan karakter karya tidak begitu bepengaruh karena saya sudah memiliki cara pandang dalam dunia sastra sebelum menikah. Hanya dalam proses kreatif seringkali mnemberikan dorongan dan ide-ide. Tulisan saya yang pertama kali membaca ya istri saya, kadang ia mengritik dan saya tanggapi tapi kadang juga saya biarkan saja. Ada sebuah pernyataan dari teman-teman penulis yang mengatakan tantangan terberat seorang penulis adalah ketika bekerja dan menikah, karena secara waktu dan pikiran pastilah sudah terbagi sehingga bagi penulis ketika bekerja dan menikah masih bisa eksis dalam dunia kepenulisan maka yang bersangkutan bisa dibilang "hebat". Demikian juga saya tantangan menulis rupanya lebih berat ketika sudah bekerja dan menikah, bukan dari idenya namun dari waktu dan kesempatan, sehingga inspirasi yang sering muncul seringkali terlewat begitu saja oleh rutinitas keluarga atau kerja. Jadi kalau dibilang produktifitasnya tentu lebih produktif sebelum menikah.
Darimana sumber-sumber inspirasi menulis puisi?
Sumber penulisan saya bisa saja lewat bacaan, perjalanan atau cerita teman-teman. Namun semua itu tidak akan merangsang saya menulis kalau tidak ada sebuah ide yang menarik di dalamnya. Seringkali dari kisah yang sederhana atau cerita yang sepele justru memunculkan ide yang menarik. Yang saya pertaruhkan adalah kreatifitas atau menyulap hal yang sederhana menjadi menarik, di sinilah kerja penulis menurut saya. Suatu saat saya tidak dapat menulis apa-apa karena rutinitas kerja maka saya imbangi dengan membaca buku-buku yang bermutu sehingga insting dalam kepenulisan tetap terjaga. Pada periode tahun 1999 s/d 2002 saya jarang menulis puisi namun lebih cenderung ke cerpen karena saya merasa intuisi saya lebih cair atau prosais sehingga untuk menulis puisi rasanya agak berat. Sehingga dalam berkarya saya sering mengikuti kata hati, kalau pikiran sedang mengkristal maka saya akan menulis puisi dan sebaliknya. Inspirasi apa pun bisa ditulis, namun secara tidak sadar rasa-rasanya saya menulis umumnya banyak yang berkaitan dengan kesewenang-wenangan dan pencarian jati diri. Bagi saya inspirasi hanyalah pelatuk untuk berkarya yang lebih penting lagi adalah obsesi pengarangnya, karena obsesi pengarang inilah yang umumnya akan menjiwai karya-karyanya, entah apa pun materi yang akan ia tulis.
Antologi anda yang terbaru berjudul "Patung Matahari" bisa anda ceritakan benang merah dari antologi tersebut?
Pada mulanya saya kesulitan untuk menentukan judul antologi ini, namun setelah saya pikirkan masak-masak "Patung Matahari"lah yang tepat, memang kedengarannya gagah untuk sebuah judul buku. Pada diskusi buku di Ponpes Anaqoyah Guluk Guluk pertanyaan seperti ini juga muncul. Bagi saya patung matahari adalah cita-cita semua manusia dalam hidupnya di mana sebelum mati ia ingin membuat patung yang dapat dikenang siapa pun, patung adalah benda yang bersejarah, namun yang dibuat bukan patung sembarangan namun patung matahari, sedangkan matahari adalah benda yang selalu akan bersinar di mana pun ia berada, di mana sinar itu akan berupa cahaya-cahaya yang dapat menerangi siapa pun. Jadi benang merah dalam antologi saya kurang lebih hendak menceritakan jatuh bangunnya manusia dalam membuat patung matahari atau memburu cahaya-cahaya agar dapat menerangi hidupnya, yang seringkali ditutupi oleh bayang-bayang yang berseliweran atau jati diri yang belum ketemu. Sastrawan Akudiat dalam diskusi di DKJT dengan tepat mengambarkan obsesi saya yang katanya dapat diwakili oleh puisi "Pandai Besi" di mana dalam puisi itu dipertanyakan dari apa dibuat, dan untuk apa dibuat kalau akhirnya nanti juga lebur dalam api kuasanya, hidup hanyalan penyamaran-penyamaran yang seringkali mengalami kegagalan, sedang pandai besi adalah kehidupan yang keras yang selalu berhubungan dengan api dan lewat ububan ia akan memainkan cahaya, cahaya itu dapat dikecilkan atau dibesarkan atau dimatikan sekehendaknya. Meski dalam antologi saya banyak memakai materi lokal, kesenian, tari, upacara, tempat-temapt wisata dan lain-lain namun itu hanyalah tubuh pinjaman yang rohnya adalah pencarian jati diri dalam menemukan cahaya.
Puisi-puisi dalam antologi "Patung Matahari" ditulis di atas tahun 2000. Apakah ada fase menulis dalam hidup anda? Apa perbedaan yang besar antara puisi yang ditulis sebelum tahun 2000 dan setelahnya?
Seperti juga hidup dalam berkarya pun tentunya mengalami fase-fase juga, yang tentunya harus dilalui. Kalau boleh saya mengambarkan perjalan kepenulisan saya, rasanya hingga saat ini ada 3 fase yang saya alami. Fase pertama adalah fase di mana saya memandang, sehingga karya-karya saya banyak sekali yang kuat di dalam intuisi. Fase kedua adalah fase di mana saya dipandang sehingga karya-karya saya banyak yang mencerminkan nafsu dan hasrat atau gejolak yang kadang tidak terkendali karena kuatnya fenomena yang saya hadapi, seolah saya tersedot oleh bahan tulisan saya, yang kadang kalau tidak pandai menjinakan akan nampak emosional. Sedangkan fase yang ketiga merupakan fase yang memandang dan dipandang sehingga terjadi dialog yang diharapkan obyektif dan terjadilah ruang itu sendiri atau obyek itu sendiri yang bicara. Pada antologi "Patung Matahari" saya merasa berada pada fase yang ketiga tersebut. Saya masih menyimpan puisi-puisi yang ada di fase pertama dan kedua yang akan saya terbitkan nanti. Namun fase-fase itu hanyalah pembatas yang tidak absolut karena seringkali saya juga masih suka menulis puisi-puisi yang berada pada fase pertama dan kedua, dan hal itu memiliki kenikmatan sendiri-sendiri. Perlu dipahami juga bahwa seseorang dalam membuat antologi puisi umumnya mengumpulkan karya-karya dalam satu antologi yang memiliki karakter yang berdekatan/berkaitan sehingga dapat disebut kesatuan yang kokoh/kuat/utuh.
Dari sekian banyak penyair yang anda ajak kerja sama atau anda baca karyanya, siapakah yang menjadi favorit anda?
Tentu saja saya sangat kagum dengan Amir Hamzah dan Chairil Anwar, puisi-puisinya begitu memukau. Yang lain saya suka serat Wulangreh karya Paku Buwana IV, Wedhatama; Mingkar mingkure angkara/angkarana karenan mardi siswi/sinawung resmining kidung/sinuba sinukarta…. karya Mangkunegaran IV Kalatidal; amenangi jaman edan/ewuh aya ing pambudi/melu edan nora tahan/yen tan melu anglakoni/boya kaduman melik/kaliren wekasanipun/……karya pujangga besar R Ng Ronggowarsito dan suluk-suluk pesisiran. Kelihatannya kuno ya, namun kadang kita tidak paham pada tradisi sendiri dan mengagung-agungkan karya dari luar, bukannya yang dari luar jelek, tapi yang dari tradisi kita sendiri banyak yang bagus-bagus. Mau cari yang surealis, absurd, realisme magis ada dalam khazanah sastra lama kita. Contoh tembang Semut Ireng; Semut ireng anak-anak sapi/Kebo bongkang nyabrang kali bengawan/Keong kondhang jarak sungute/Timun wuku ron wolu/Surabaya geger kepati/Gegering wong nguyakmacan/Cinandak wadahi bumbung/Alun-alun Kartasuro/Gajah meto cinancang wit sidoguri/Mati cineker pitik trondol. Merupakan sebuah karya yang sangat simbolis sekaligus surealis bagi saya. Juga tembang Ilir-Ilir yang diciptakan Sunan Giri (ada yang berpendapat diciptakan Sunan Kalijaga, tapi dugaan kuat Sunan Girilah yang menciptakan karena beliau sering menciptakan lagu anak-anak) yang mempesona itu, yang tidak sekedar tembang anak-anak. Cuma kadang kita yang malas untuk membacanya. Justru orang luar yang terkagum-kagum dengan Serat Centhini misalnya. Memang saya juga membaca karya-karya Octavio Paz, Derek Walcot, Baudeliar, TS Eliot, Pablo Neruda dan yang lainnya.
Anda senyatanya lahir di Jawa Tengah namun berdomisili di Jawa Timur. Puisi-puisi anda lekat dengan nafas Jawa Timur khususnya Madura. Bahkan ada yang menganggap puisi S Yoga lebih Madura dibanding orang Madura sendiri. Anda setuju?
Bukan kapasitas saya untuk menjawab pertanyaan ini. Kalau boleh saya menganalogikan pengarang itu bagikan seekor bunglon yang selalu ingin beradaptasi di mana pun tempatnya, sehingga ia akan dapat meyerap rasa dan suasana tempat yang ditinggali. Dan apakah itu memberikan kenyamanan bagi orang disekitarnya atau tidak itu bukan soal. Dan apakah karyanya akan dianggap mencerminkan komunitas tertentu itu juga bukan soal, karena tugas pengarang adalah menyampaikan kebenaran sesuai yang dapat ia rasakan waktu itu, dan kebenaran itu bisa jadi terasa pahit, bukankah jamu untuk kesehatan juga rasanya pahit.
Literatur-literatur apa yang anda baca?
Pada prinispnya saya tidak membatasi bacaan, bacaan apa saja saya baca asalkan itu menarik, unik dan bagus, karya-karya lama kita seperti serat-serat sering saya baca berulang-ulang. Apakah itu relevan atau tidak dengan kepenyairan itu bukan soal. Karena bacaan adalah memberikan wawasan pengetahuan kepada kita, sehingga dengan banyaknya wawasan maka hal apa pun akan bisa kita tulis.
Apakah anda punya strategi dalam menulis? Tema-tema apa saja yang anda bawa dalam puisi anda?
Strategi menulis tidak ada yang khusus, hanya saya memiliki teknik dengan menempatkan sudut pandang yang obyektif terhadap sebuah materi, sehingga menurut W Haryanto karya-karya saya begitu berjarak dan dingin. Untuk dapat menulis tidak ada resepnya kecualai disiplin, latihlah setiap hari, bisa lwat penghayatan terhadap hidup, lewat bacaan atau menulis langsung entah apa yang ditulis, bisa jadi hanya sketsa-sketsa saja namun hal itu bagus untuk melatih insting kita dalam berkarya. Tema umumnya dalam karya-karya saya tidak jauh dari pencarian jati diri atau inginya manunggaling kawula gusti sedangkan sub-sub temanya bisa bervariasi; kesewenang-wenangan, kesunyian, kematian dan kesementaraan.
Apa falsafah hidup anda?
Ojo Dumeh. Di atas langit masih ada langit.
Secara keilmuan anda berlatar belakang pendidikan Sosiologi, seberapa besar latar belakang tersebut mengasah intuisi anda dalam menulis puisi?
Perannya cukup besar karena analisa bisa bertalian dengan intuisi, dalam Sosiologi sesuatu fenomena haruslah dipelajari dulu dari dalam dan diharapkan dapat memunculkan analisa tertentu secara obyektif entah itu fenomena baik atau buruk kemudian barulah diolah dalam dunia intuisi yang berjarak dan harus memahami roh dari materi yang akan diangkat sehingga diharapan bentuk dan isi dapat menyatu dalam sebuah karya. Sehingga kata teman-teman karya-karya saya begitu sosiologis.
Anda lekat dengan Madura, mungkin anda bisa ceritakan peta penyair di pulau tersebut dan geliat sastranya?
Dalam dunia sastra kita lihat banyak penyair-penyair Madura yang bermunculan, pada mulanya saya menduga mereka dapat ilmu dari mana, namun setelah saya tinggal di Madura, rupanya mereka secara alamiah membentuk dirinya sendiri menjadi penyair. Hal ini kurang lebih dapat saya jelaskan begini, di Madura tradisi macapat masih berlangsung di desa-desa hingga kini sehingga secara tradisi mereka sudah mengenal apa itu sastra, kognitif mereka sudah terisi dengan sendirinya. Apalgi dunia semacam parikan atau patun di sini masih berlangsung. Bahkan dalam upacara pernikahan hal ini terjadi, ketika sang juru bicara mau masuk ke pengantin wanita mereka beradu patun kalau yang satunya belum bisa menjawab maka tidak diperkenankan masuk. Di samping itu ponpes-ponpes begitu menjiwai darah anak-anak Madura, rasanya malu kalau belum mondok di pesantren, karena prinsip mereka ilmu agama lebih penting dari pada ilmu umum. Sedang dipondok mereka mengkaji kitab dan mempelajari ilmu agama, yang mana antara agama, filfasat dan sastra adalah saling bergandengan tangan, kalau diibaratkan merupakan trisula hidup, yang akan membawa manusia ke jalan yang lebih baik. Akhirnya mereka lebih mudah menghayati dunia sastra. Sehingga sampai sekarang geliat satra yang ada di Mudara banyak terdapat di pesantren seperti Anaqoyah Guluk Guluk, Al Amin Prenduan dan lainnya, di samping itu ada di kampus STKIP dengan sanggar Lentera yang nota bene mereka juga pernah mondok. Ada pula komuintas radio Nada yang setiap minggunya menampilkan acara Sastra Udara yang membacakan dan membahas karya-karya yang masuk. Peta sastra di Madura nampaknya berputat di Sumenep karena begitu banyaknya penyair-penyair yang lahir dari Sumenep. Umumnya karya-karya mereka sangat intuisi dan memiliki kekuatan sastra lisan yang tinggi.
Apa rencana anda selanjutnya?
Menulis, menulis, menulis, menulis dan menulis. Selain keliling kota membacakan puisi-puisi yang ada di "Patung Matahari" agar lebih banyak yang beli he he he. Sayang kalau ndak beli karena dari 50 puisi 25 di antaranya pernah dimuat di media masa, yang 15 puisi pernah dimuat di Kompas. Promosi he he he.
Membaca puisi paling berkesan dan dimana?
Wah kalau membaca puisi paling berkesan, masing masing tempat memiliki keistimewaan sendiri-sendiri, paling istimewa kalau banyak cewek-ceweknya ha ha ha. Karena saya bukan pembaca yang baik tak ada tempat yang istimewa, semua tempat saya hayati, bukankah penyair itu bunglon ha ha ha.
Terakhir, apa itu puisi menurut anda?
Puisi adalah menyederhanakan hal yang tidak sederhana dengan kata-kata yang telah memiliki drajat dan kehormatan, sebelum kata-kata itu memiliki drajat dan kehormatan maka itu bukan puisi yang baik. Penyair adalah tukang sulap yang pandai menyihir kata-kata tak sederhana menjadi kata-kata yang lebih bermakna bagaikan berlian yang berkilauan dari segala arah.
salam kenal, saya BUDHI SETYAWAN, asli dari Purworejo, juga alumnus SMAN 1 Purworejo lulus tahun 1988. saya bekerja di Departemen Keuangan di Jakarta. saya hobi musik dan sastra. tiap bulan saya usahakan belanja buku. kalau boleh tahu, dimana saya bisa mendapatkan buku Mas Yoga? saya sedang belajar menulis puisi juga, walaupun usia saya sudah tua.
BalasHapusatau ada alamat e-mail Mas Yoga?
terima kasih.
Budhi S
08158030529
Makasih Mas.... Banyak yg saya cari ada disini
BalasHapusSkali lagi Suwun Yooo
semoga patung mataharinya laris
BalasHapus