Langsung ke konten utama

Ringin Sepuh, 1966-2006

RINGIN SEPUH, 1966-2006
/1/

malam marah,     susut terselimut luka
erang seperti zakar            randu runduk
        adalah keparat
aku mengapung                           lagu yang bodoh
kesombongan     yang tak diingat           kupu: dalam sunyi
kupisahkan diri dari masa lalu    tumbuhlah lentik api
     
dongeng cinta yang bodoh
    jadi mimpi dalam bayangan
seperti erang pada jahitan bajuku-
apiku menebas kutu, bau busuk
                denging lapar yang hina

tatapanku runtuh            malam tuli
arah pengetahuan            pepohon filsafat
          anyir candu
sebuah candi                                       abu yang menangis
di relief batu                jurang waktu dipatahkan hujan
sedih cuma tertulis            sekering daun
                                 sembunyikan kata
    
aku pengungsi, sebuah candi adalah ruang kosong
jalan tak bernama, pesannya seakan bunga

("rasa takut menjadi kulit!")

hantu-hantu membayang
menumpuk kayu bakar, dalam doa
dalam doa: bangkai candi
tak beralamat dan penuh semak

/2/

kubaca lagi, sebuah candi meluncurkan sungai
seperti insomnia, yang terbayang mata, aku mencari jiwa
dalam muntahan: serangga-serangga melepas panah waktu
bercermin pada grimis, menuai makna, aku berlutut
dengan kaki memar, kubaca lagi……

         mimpi yang luang
hantu dan abu                                             bisik candi yang bernyanyi
kukenali dunia dalam semak                      ruh malam tinggal isak
lokomotif membelah kabut                        masa lalu samar seperti kesan
aku setabah kolam                                      memberi mukim batu-batu
kupisahkan kenangan dari masa lalu
asal-mulaku, menapaki buluh malam, bayanganku
terbawa gerak cahaya, mataku mencari matahari
cinta kupanggil, kutunaskan ke dinding, lahirkan lumut
memencarkan     ingatanku ke udara, aku terisak ke batu
lalu meluncur bersama angin, arahku tak jelas mau kemana
melagukan gairah perih

.........puisi-puisiku......

(2000-2006)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...