Langsung ke konten utama

Personalitas dan Impersonalitas Puisi-Puisi S. Yoga*

Laboratorium Sastra yang digagas oleh Dewan Kesenian Jawa Timur pada kali ketiga mengulas puisi-puisi karya S Yoga dalam kumpulan Patung Matahari. Bertempat di gedung DKJT tanggal 26 Agustus 2006 pukul dua siang sang penyair S Yoga menyempatkan diri untuk berdiskusi langsung perihal antologi puisinya tersebut. Sebagai pembedah kali ini didaulat Lina Puryanti (Dosen Sastra Unair). Acara yang berlangsung santai tapi penuh keseriusan ini dihadiri oleh sejumlah teman dekat sang penyair yang juga diantaranya merupakan pengurus dari DKJT.

Sebut saja nama-nama seperti W Haryanto, Sony Karsono, Didik, Akhudiat, Ribut Wijoto dan penulis Soya Herawati, penyair muda perempuan Puput Amiranti serta sejumlah siswa SMU di Surabaya.

Sekedar untuk diketahui S Yoga adalah penyair yang lahir di Purworejo Jawa Tengah. Alumnus Sosiologi FISIP UNAIR Surabaya. Sajak-sajaknya tersiar di sejumlah terbitan, baik local maupun nasional. Juga menulis cerpen, naskah drama, geguritan, essay, novel dan masalah sosial. Kini bekerja sebagai konsultan pemberdayaan masyarakat.

Laboratorium sastra sendiri memang sebuah upaya menjaga konsistensi , membuka wacana, dan menjembatani teks sastra kepada pelaku , penikmat karya tersebut di Surabaya. Dalam kenyataannya memang acara ini tidak dirancang besar. Hanya beberapa orang tertentu yang diundang yang diharapkan dengan adanya proses kontinuitas maka umpan balik yang positif sangat diharapkan dari pertemuan semacam ini.

Acara dimulai dengan pembacaan puisi oleh S Yoga dilanjutkan dengan beberapa patah kata pengantar untuk karyanya yang terbaru. Pembacaan puisi juga dibacakan oleh dua siswa SMU yang hadir. di Rencananya buku ini akan dibedah di kota yang berbeda nantinya.

Berikut materi dari pembedah (Lina Purwanti) dan pengantar oleh W Haryanto .

Membaca sajak-sajak Yoga adalah perkelanaan ke banyak lapisan waktu, tempat, dan peristiwa. Dari lima puluh kumpulan puisi yang terangkum dalam Patung Matahari, maka hamper sebagian besarnya adalah lukisan-lukisan pengalaman konkrit yang dipunguti dengan ketekunan, dari setiap yang dilangkahkan, yang Yoga (agaknya) tak rela tertinggal tanpa catatan. Detail-detail tercatat dengan rapi yang berjalin dengan bisik-bisik dengan suara rendah, kesunyian kata-kata, yang menunjukkan perpaduan perasaan hati seorang penyair sekaligus etnografer yang merekam dengan teliti. Lihatlah pada sajak Ojong (Sumenep, 2005) yang menggambarkan suatu upacara ritual ini saling bertarung dengan rotan hingga terluka:

yang tinggal di atas
dekat langit dekat matahari
dan yang di gunung mari main Ojung
yang di bawah dan di lembah
mari ke atas mengentaskan diri
yang tak mau naik silahkan menyingkir
tinggallah di bawah dan jangan menyesal
karena tak akan pernah menyaksikan
panasnya matahari, pedihnya derita
sembunyilah di kegelapan bumi

diiringi tari perang
dengan musik gambang
dhuk-dhuk, tambur bercela
rotan di tangan dan ikat kepala merah
agar tabah menjalani hidup
sarung di balutan tangan kiri
tepat selasa sore di musim kemarau
saat bumi terluka oleh musim
kau bisikkan doa pada setiap gerak
di pinggang dan selangkangan
terajam huruf arab guna pegangan
baju zirah kau lekatkan di pinggang
agar lawan menyerah pada Allah.

Kau yang ada di atas
Adalah wasitnya
Berkeliling mengawasi
Setiap gerak pemain'
Bla terluka segera diobati
Dengan ludah kehidupan
Yang akan memberi pelajaran pahit
Pengalaman pada derita serta rasa sakit
Sebelum bertanding
Kau berjalan berhadapan
Dan berbalik punggung
Untuk memberi hormat pada hidup
Agar tidak ada yang main dari belakang
Agar diri jujur dan bersih



Pada puisi di atas Yoga berbiaa tentang peristiwa yang hidup, bergerak, berdarah sehingga menjadikan peristiwa itu benar ada di antara kita. Yoga tidak sedang menjalankan peran kenabian seorang penyair yang berkhotbah di atas bukit kepada umatna (pembaca) yang jauh ada di dasar lembah . Kita seolah melihat sebuah dimana Ojung sedang dimainkan dan Yoga menjdi penonton yang mencermati mengamati. Puisi semacam laporan pandangan mata yang ada di dalamnya hanya tersisa sedikit "rasa Individual" sang penyair . Dalam beberapa puisinya yang lain suasana pandangan mata ini juga masih terasa gentanya. Lihatlah pada puisi Oseng-Oseng Mercon, Nyadar, Dolalak; penggunaan kata kamu, mu menjadi pilihan Yoga dibandingkan dengan ku yang menandakan ekspresi individualnya sendiri sebagai bentuk penghayatan terhadap sebuah kisah. Bahkan pada puisi Kerang ataupun Kekelawar Hijau dimana ku dipakai, impersonalitas ini tetap terasa karena ku bukan menunjukkan posisi subyek Yoga sebagai penyai tetapi lebih pada bagaimana sang kerang dan kekelawar melihat, memandang, menakar, dan menghayati dirinya, hidupnya. Dalam sajak-sajak tersebut Yoga memang mengedepankan persepsi daripada konsepsi. Alam benda menjadi hadir dalam makna yang sesungguhnya, imaji yang bebas tumbuh melalui panca indera kepekaan sang penyair. Ia membiarkan peristiwa sebagai sesuatu yang terus menjadi, mengalir , tanpa pretensi untuk memaknainya secara pasti yang berarti juga membekukannya. Tapi Yoga tetap bersembunyi malu-malu. Ia tidak datang dengan segenap keperkasaan seorang penyair yang siap menyediakan jawab bagi setiap pertanyaan yang elalu muncul dari sketsa-sketsa yang dicatatnya. Tetapi perenungan ini tidaklah ia munculkan kembali dalam bentuk yang membuat keberadaan personalnya mudah dikenali. Ia masuk kepada peristiwa tetapi sekaligus mencoba menjaga jarak dengannya.
Beberapa puisi Yoga yang berbau personal banyak merujuk pada pengalaman yang berbau relijius namun otentik, teka-teki hidup dan kematian, pencarian akan yang hakiki. Sesuatu yang dikatakan Aiken tentang puisi sebagai "potret manusia yang dengan peluh di kening, darah di tangan, siksa-siksa neraka di hati, dengan gayanya, dengan absurditasnya, dengan kejalangannya, keyakinan-keyakinannya dan keraguan-keraguannya. Dalam puisi Kitab Kehidupan, misalnya, potret jujur ini dapat ditemukan

….
Doa-doa tak terbalas dalam setahun
Di sore hari anjingku yang patuh
Berlarian di antara ilalang panjang
Mengejarku di tubir jurang
Menyaksikan kenangan yang terperosok
Ke dasar lembah
Kuhadapkan wajah di beranda rumah
Sesosok wajah jahat penuh rajah
Memahat hatiku yang membatu
Rambutnya yang tergerai
Seperti peri
Atau ilahi
Setelah peristiwa itu
Ingin kupastikan perasaan hatiku yang luput
Apakah aku masih milikmu
Kepercayaan-kepercayaanku yang purba
Telah longsor menghadapi kenyataan cacat


Hanya bayang-bayang yang dapat kukejar
Dan kueja dalam penyamaran ini
Samar-samar wajah yang kekal dan berjamak rupa
Selalu menghantui jalan fikiran


Puisi di atas menjadi semacam rekaman dari seorang manusia yang mencari-Nya. Bukankah sebuah pencarian yang romantis tetapi penuh dengan luka seorang yang terus mendamba. Dengan begitu pembicaraan curhat hati disini tidak tampil sebagai suatu yang melangit, tetapi dengan bahasa manusia yang sangat biasa. Tuhan menjadi sebentuk kehadiran yang selalu muncul di tiap baris. Sementara Yoga yang merumuskan Kehadiran itu dengan bunyi mu.. dengan m kecil menjelaskan adanya Engkau yang dekat, yang intim. Mu… dengan M besar yang muncul pada baris-baris paling akhir menunjukkan bagaimana pada akhirnya Tuhan dalam KehadiranNya masih merupakan sesuatu yang jauh dan sayup

"bila kau datang tiba-tiba
Seret aku dalam ketelanjangan imanku
Yang buta ini
Pulang
Ke rumahr />
Mu



Kehadiran yang teramat dekat tapi tidak seluruhnya terpahami memunculkan satu sikap pencarian yang semakin memuncak. Dalam Patung Matahari pencarian ini makin menemukan bentuknya. Pada bagian akhir puisi ini terasa setiap baris makin menemukan kekuatannya untuk sampai pada klimaksnya. Kegelisahan menjadi selesai. Yang becming telah diputuskan menjadi being. Tak ada lagi ambiguitas, semua sudah seterang matahai yang tak punya bayang-bayang karena semua cahaya sudah terserap dirinya. Apalagikah yang masih tersisa, Yoga?


W Haryanto selanjutnya memberikan pengantar untuk membuka dialog diskusi "Patung Matahari" karya S Yoga.

Saya mencoba membuat semacam kata pembuka. Jadi ada beberapa ungkapan dari Mbak Lina tadi mengenai ketidakstabilan. Jadi ada sebuah proses kalau kita membicarakan relijiusitas. Dan kemudian ketika ada sebuah pengertian tentang jarak budaya mengenai mu kecil dan Mu besar saya teringat puisinya Jeffry Qadri, Tuhan Tidak Menjenguk kita. Saya pernah membuat sebuah kajian tentang Jeffry. Ia memandang konsep Tuhan itu bukan konsep transendensi tetapi konsep sosiologis. Jadi Tuhan itu datang dalam sebuah pengalaman sosiologis . Jadi saya ingat sebuah kutipan ini " sebelum proklamasi Tuhan itu datang ke Jakarta tapi selama 10 menit membisikkan pada Sukarno , Indonesia harus merdeka". Kemudian Sukarno bersama teman-temannya melantunkan proklamasi, setelah itu menurut Jeffry Tuhan tidak lagi menjenguk Indonesia tetapi ia berada di belahan dunia lain. Ia sedang memerdekakan bangsa-bangsa lain". Tuhan dalam konsep ini adalah kemerdekaan, pembebasan". Kalau kita kembali ketidakstabilan ini bisa menjadi proses yang menarik dari seorang S Yoga. Jadi yang saya kenal dari Yoga ini, karya-karya dia sejak kenal di awal 10 tahun lalu, Yoga memang seorang yang dingin dalam hal yang sifatnya personal. Karya ia lebih mengembangkan masalah jarak. Jarak antara aku teks , adalah sebuah jarak. Dan itu adalah kekhasan Yoga termasuk cerpen-cerpennya. Jadi puisi yang saya kenal adalah puisi dingin. Jadi hampir tidak ada "aku" Yoga . yang ada "aku" yang melihat Yoga. Jadi posisi ini adalah pengembaraan dari seorang S Yoga. Ketika saya sentil Yoga nantinya bisa mengadili Budi Darma bukan masalah sesuatu tetapi benar apa yang dikatakan Mbak Lina tadi bahwa kumpulan puisi ini ditujukan untuk Budi Dharma tapi bukan arti mengadili tapi Ini kan Matahari, matahari sebuah cahaya jadi sebuah patung. Judulnya saja sudah menyiratkan Yoga sedikit tersentil dengan sikap Budi Dharma yang belakangan ini yang cenderung menjadi patung dari sebuah cahaya yang sudah mati. Jadi ada beberapa persoalan yang bisa dibicarakan lebih lanjut. Tadi Mbak Lina sudah menyinggung masalah seperti tahap, peristiwa, etografer. Bagi saya tahapan ini cukup unik dan tahapan bagi seorang penyair masuk kedalam hal puitis seperti ini tradisinya memang lebih tradisi Sougi dibanding teori sastra itu sendiri . jadi pentahapan itu Yoga masuk kedalam sebuah ruang , menjalani ruang tapi mengambil jarak dengan ruang itu kemudian dari proses itu dia menjadi ruang itu. Dari tiga tahap itu kita bisa mengambil satu teknik dari Kris Budiman tentang Proses Pengasingan. Kris Budiman itu membuat sebuah pengandaian 3 tahap, Tahap pemisahan : pemisahan dari tradisi social jadi Kris pernah mengupas tentang Bulan Pasinya Rendra Nyanyian Angsa Rendra. Tahap pertama melepas semua kebiasaan sosialnya untuk menuju proses sakral, kemudian saat aku bertemu dengan Tuhan dimana ia terjebak dengan dunia antara, tahap ketiga si pelacur bersetubuh dengan Tuhan. Aku sudah masuk, Tahap penyatuan. Kris Budiman mengupas Nyanyian Angsa dalam konteks relijiusitas. Dari sini Yoga masuk dalam posisi ini. Ia datang pada peristiwa tradisi Madura ia berjarak dan terakhir ia menyetubuhi tradisi itu. Yoga bilang saya menafsirkan tafsir. Jadi ia bukan lagi orang yang melihat atau berjarak, tapi tahap ketiga Yoga sudah menjadi seorang yang lebih Madura dibanding madura itu sendiri. Saya pernah dialog dengan beberapa kawan, setiap kali saya membaca puisi tentang Madura saya tidak bisa menghilangkan kenangan dengan Zawawi Imron. Baru setelah Patung Matahari saya bisa melihat sesungguhnya Madura setelah Zawawi masih ada. Tapi sayangnya bukan Madura tapi pendatang. Jadi ini merupakan tantangan bagi orang Mmadura itu sendiri. Dari banyak karya orang Madura yang saya baca banyak mereka yang ternyata malu menjadi Madura, kesadaran psikisnya cenderung seperti itu. Jadi Madura itu ada dua konsep sesungguhnya , konsep memori sebagai Madura, kesadaran sebagai Madura. Jadi orang Madura sekarang cenderung menganggap Madura sebagai memori karena ia bersuku Madura bukan menjadi orang dengan kesadaran Madura. Memang sesungguhnya jika kita bandingkan dengan sastra Jawa , ini bukan masalah dukungan Madura di Madura sendiri ada majalah Pakem Madu , sebuah majalah yang mengkhususkan diri dalam studi Madura. Jadi saya fikir Yoga tidak sekedar hadir dalam konteks personal dia sebagai penyair tapi Yoga lebih pada seorang pejalan. Dia menjalani dan menjadi Madura lain yang bisa jadi mengkoreksi Madura.

 

*
Diskusi Laboratorium Sastra DKJT , 26 Agustus 2006

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...