Langsung ke konten utama

Pengumuman Pemenang Krakatau Award 2006

Sajak "Tamsil Damar Batu" karya Jimmy Maruli Alfian (Lampung) memenangkan Krakatau Award 2006 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Lampung (DKL). Puisi ini terpilih dari 347 judul puisi yang dikirim 142 penyair dari berbagai daerah di tanah air.

Dewan juri yang terdiri dari Acep Zamzam Noor, Budi P. Hatees, dan Isbedy Stiawan ZS juga menetapkan sajak "Nyanyian tentang Tujuh Anak Tangga Rumah Panggung" karya Anton Kurniawan (Lampung) sebagai pemenang kedua.
Lalu, pemenang ketiga diraih "Dongeng Poyang Sepanjang Sungai" karya Fina Sato (Bandung), dan keempat "Pulau Kampung Pukau Kampung" karya Hasan Aspahani (Batam).

Para pemenang, menurut Ketua Komite Sasta DKL Budi P. Hatees, berhak atas hadiah piagam dan uang. "Masing-masing penerima mendapatkan hadiah piagam dan uang Rp1 juta untuk juara satu, juara ke dua (Rp700 ribu), ke-3 (Rp500 ribu) dan juara ke-4 mendapatkan hadiah uang snilai Rp300 ribu," katanya.

Ketua Dewan Juri Lomba Puisi Krakatau Award 2006, Acep Zamzam Noor, mengatakan puisi dapat dipergunakan untuk mempromosikan sebuah daerah kepada masyarakat luas.

"Dengan lomba penulisan puisi, hal itu sangat mungkin terwujud," kata penyair asal Cipasung, Jawa Barat, seusai mengumumkan pemenang Lomba Puisi Krakatau Award 2006 di Sekretariat Dewan Kesenian Lampung, Senin (21-8).

Menurut Acep, sebagian besar puisi yang dikirim para penyair ditulis menggunakan idiom-idiom lokal khas Lampung, meskipun banyak dari idiom-idiom itu sifatnya hanya cantelan.

"Puisi para pemenang lomba ini berhasil memanfaatkan idiom dan ikon kelokalan Lampung tanpa terperangkap sebagai cantelan. Hal ini terjadi karena panitia lomba memberikan tema khas Lampung," kata dia.

Membaca puisi-puisi yang dikirim peserta tersebut, Acep yakin setiap peserta sudah berusaha mempelajari dan memahami realitas masyarakat Lampung. Secara tidak langsung, tema yang diberikan panitia telah mempromosikan Provinsi Lampung kepada peserta yang ada di seluruh Nusantara.

"Para penulis puisi butuh literatur yang banyak untuk memahami khas-khas masyarakat Lampung. Tanpa semua itu, mustahil mereka dapat menghasilkan karya puisi yang bagus," ujarnya.

-----
Berikut selengkapnya Keputusan Dewan Juri Lomba Cipta puisi Krakatau Award 2006 (Acep Zamzam Noor, Isbedy Stiawan ZS, dan Budi P. Hatees):

Juara I
Jimmy Maruli Alfian (Lampung)
Judul "Tamsil Damar Batu"

Juara II
Anton Kurniawan (Lampung)
Judul "Nyanyian tentang Tujuh Anak Tangga Rumah Panggung"

Juara III
Fina Sato (Bandung)
Judul "Dongeng Poyang Sepanjang Sungai"

Juara IV
Hasan Aspahani (Batam)
Judul "Pulau Kampung Pukau Lampung"

Enam nominasi adalah:
1. Malam Jaga Malam -- Komang Ira Puspita (Bali)
2. Bulan Menawan di Keratuan -- Muhammad Badri (Bogor)
3. Bakauheni dan Secangkir Kopi: Aroma Nostalgia -- St. Fatimah (Jawa Timur)
4. Mimpi Potong Rambut -- Lupita Lukman (Lampung)
5. Sebuah Panggung Bernama Lampung -- MT Zuharon (Yogyakarta)
6. Telah Kutitipkan Berkarung-karung Rindu padamu -- Deny Ardiansyah

Selain pemenang dan nominasi, dewan juri juga merekomendasikan sepuluh naskah puisi jika ingin dibukukan. Kesepuluh judul dan penyair itu adalah:

1. Pulang -- Endang Supriadi (Jakarta)
2. Manik dari Pugung Raharjo -- Dian Hartati (Bandung)
3. Tunggu Aku di Bakauheni -- Muhammad Badri (Bogor)
4. Cindai Bersulam Tapis -- Krissanta Daria Anni (Bandung)
5. Wasiat Leluhur -- Elya Harda (Lampung)
6. Solilokui -- Satmoko Budi Santoso (Yogyakarta)
7. Tenung Asmara Telukbetung -- Asrina Novianti (Jakarta)
8. Menanti Buih Kalianda -- Oggoy el Fitra (Padang)
9. Kota Kenangan -- Sunlie Thomas Alexander (Yogyakarta)
10. Lampung dalam Secangkir Kopi -- Tulus Jatmiko (Yogyakarta)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...