Rumah lama, berlumut dan mengikat magrib
lekat ke kulit mencapai isi
sebuah langgam: azimat menjadi pasti
mata yang menangkap ikan dari ruang yang
ditinggalkan-isi yang sembunyi
dan berpura-pura
ke balik warna kusta,
Kita membangkang, letak yang diraih
kupu-kupu yang terburu, bubar dari gelanggang
jeda dari bunga-bunga gunung
Kita sementara, putus dari gelombang warna
dan akal-mengingat letak yang berbintik
bintik, suara ibu nun jauh,
tampak biru, Semeru
tetangga dengan pecahan kecambah
di ujung bibir. Malam habis. Kita menetap
pada gelombang waktu, tak mengingat
firman lama, tak menyentuh alir air
cuma tingkah kesal yang merogoh saku
mencari-cari uang recehan. Kita
senantiasa
di luar ingatan: diam-diam menggiring
ternak dari kanal, menyisih
dan tak padam. Dalam dingin yang ingkar
(Sidoarjo, 6 April 2006)
*) dari babad Joko Tingkir
Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”
Komentar
Posting Komentar