Langsung ke konten utama

Dosa Kita

kepada Saut Situmorang

 

dosa kita adalah mulut yang menganga tanpa kepala
dosa kita adalah kata kata yang terhimpun dalam juta riakbusa dahak airliur yang menyembur dari mimbar khotbah hingga pulang mereka ke rumah rumah membawa dendam amarah mengasah parang pedang lalu turun ke jalan jalan membakar harapan menghanguskan mimpi mimpi
sambil berteriak nyaring seakan Tuhan tuli dan berkata seakan Tuhan kecil hingga perlu diseru 'TUHAN MAHA BESAR'

dosa kita adalah mulut dari hati yang busuk,
menjadikan ayat ayat suci sebatas mantra penghalau jin
pengusir setan demit dan gendoruwo atau penarik simpati
hingga ayah ibu lugu rela memberikan anak gadis mereka karena yakin masuk sorga meski dijadikan bini ketiga keempat kelima dan seterusnya

dosa kita bukan hanya pikiran yang busuk
tapi hati yang menyarang ular dengan sekian juta racun bisa yang siap membunuh siapa saja, tak peduli ayah tak peduli anak tak peduli ibu tak peduli saudara tak peduli teman apalagi hanya temannya teman ayahnya teman ibunya teman anaknya teman

dosa kita bermula dari hati dan pikiran busuk berbau anyir berdarah nanah yang melembaga dalam negara dengan undang undang fanatik menjadi algojo pemancung 'YANG LAIN, YANG BERBEDA' yang sesat yang kafir yang tak sesuai dengan kitab suci tak selaras etika moral yang dikarang karang padahal mereka bukan pengarang apalagi penyair yang dibilang sinting dibilang murtad padahal saleh dan waras karena masih menulis sajak meski tak rima meski tak indah seperti puisi puisi para pendusta
dengan pujapuji kritikus kritikus sakit kelamin yang kelak masuk neraka karena menyundali sekian banyak karya sastra

dosa kita adalah dosa dosa dosa TAK TERKIRA!

Surabaya, 2006


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...