Bagi sebagian orang kerja kepenyairan justru seringkali dipandang sebagai kerja sambil lalu, dan bahkan sekedar sebagai sebuah batu loncatan untuk menjadi penulis novel yang dianggap memiliki tantangan yang lebih serius dan sekaligus lebih prestisius. Pendek kata sajak sebagai sebuah bentuk hasil kreativitas seringkali masih dianggap sebagai bentuk karya sastra yang simpel dan dapat disikapi dengan cara yang enteng, santai dan tak terlalu dianggap serius. Pandangan serupa ini yang kemudian bahkan menjelma menjadi tembok penghalang bagi para calon penyair dalam menuliskan karya-karya yang baik dan berbobot. Banyak penulis pemula yang menulis sajak sekedar untuk menuangkan apa yang mereka alami atau mereka rasakan, dan sajak-sajak yang kemudian tercipta menjadi sebuah sajak yang tidak berjarak dengan realitas dan tampil sekedar sebagai sebuah imitasi dari realitas tanpa memiliki muatan estetis apa pun. Sikap-sikap yang seolah tanpa pretensi serupa itulah sebetulnya yang melemahkan penilaian atas mutu sebuah karya.
Sesungguhnya tidak berbeda dengan novel, novelet, ataupun cerita pendek, sajak memiliki esensi yang tak kalah bobotnya sebagai sebuah genre sastra. Ia tidak bisa dipandang sebelah mata hanya karena kependekannya, betapa pun sebuah sajak yang baik pastilah menghadirkan sebuah nilai, dan nilai itu bisa saja meliputi banyak hal. Pertama-tama tentu saja keindahan yang terkandung di dalam keharmonisan dan kepaduan sajak itu sendiri yang mampu menyentuh kesadaran emotif pembaca. Namun sesungguhnya di dalam sebuah sajak yang baik tidak sekedar terkandung unsur keindahan semata, karena di dalam keindahan itu haruslah terkandung pula nilai-nilai kebenaran yang mampu merefleksikan kehidupan manusia itu sendiri secara utuh. Nilai yang menurut hemat saya merupakan hal yang jauh lebih esensial sifatnya, karena nilai-nilai serupa inilah yang menjadikan sebuah sajak dapat meraih pemaknaannya yang tertinggi. Di mana muatan-muatan yang terkandung di dalam sajak tersebut dapat menyentuh aspek terdalam dari kehidupan manusia.
Penekanan pada muatan sajak inilah yang kemudian akan membedakan bobot antara seorang calon penyair yang secara serius berniat untuk menjadi seorang penyair dan mereka yang hanya sekedar menulis sajak untuk mencari kesenangan atau hiburan semata. Hampir pasti dapat dikatakan bahwa seorang penyair yang serius senantiasa meletakkan karya-karyanya dalam suatu rangkaian proses berpikir. Apa yang sebetulnya terungkap di dalam sajak yang baik, tak lain dan tak bukan adalah tentang hakekat kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu sajak harus mengandung muatan pikiran atau perenungan yang sublim. Sajak yang baik tidak mungkin terlepas dari adanya muatan pemikiran atau kosong dari adanya pengertian dan pemaknaan. Ia tidak mungkin berhenti sebagai sekedar rangkaian bunyi, atau sekedar sebagai tumpukan kata-kata yang tidak mendukung kesatuan makna tertentu.
Titik sentral dari pemikiran di dalam sajak tentu saja adalah pada hal-hal yang selama ini menjadi titik perhatian manusia, apakah itu berkaitan dengan masalah keindahan dan seni, masalah filsafat, spiritual dan religius, psikologis dan kejiwaan, ataupun berbagai hal yang berkaitan dengan masalah sosiologis dan kemasyarakatan. Oleh karena itu apa yang menjadi titik perhatian penyair dalam menuliskan sajak-sajaknya adalah mengacu kepada pergumulan pemikiran dan perenungan jiwa yang merupakan aspek internal dari diri sang penyair itu sendiri. Walaupun tentu saja kita tidak bisa mengabaikan aspek teknis dalam penulisan sajak namun pada akhirnya aspek teknis tersebut akan menjadi suatu hal yang sekunder sifatnya, karena betapa pun isi yang terkandung di dalam sebuah sajak lebih berperan dalam menentukan bobot dari keseluruhan sajak itu sendiri.
Oleh karena itu mau tidak mau untuk menjadi seorang penyair yang baik dituntut untuk memiliki sebuah konsep kepenulisan yang jelas, ia tidak mungkin mengungkapkan karyanya tanpa beranjak dari sebuah batu pijakan, dan batu pijakan itu akan lebih banyak berperan nantinya dalam menjelaskan misi dan visi kepenyairannya. Hanya penyair-penyair serupa itu yang saya pikir akan mampu menciptakan sebuah tradisi baik melalui hasil pemikiran ataupun perenungannya. Tanpa mampu mengungkapkan visi kepenyairan yang jelas saya kira sulit bagi seorang penyair untuk menjadi seorang penyair yang serius, karena dibutuhkan totalitas untuk menyatakan kebenaran. Visi kepenyairan membantu sang penyair untuk menggali potensi dirinya dan mengarahkan dirinya menuju apa yang ia harapkan. Visi berfungsi serupa sayap dalam diri seekor burung. Dengan sayap itu sang penyair dapat terbang untuk meraih kebenaran dan kemudian mengungkapkannya ke dalam sajak.
Dalam banyak hal sajak sering mengambil peran sebagai bentuk dialog antara sang penyair dengan dirinya sendiri, atau dengan kata lain ia adalah sebuah solilokui. Banyak penyair yang bahkan memperlakukan sajak-sajaknya sebagai ranah bagi pencarian kebenaran dan sekaligus penemuan jati diri sendiri. Sajak dalam beberapa hal bahkan kemudian mengambil peranan yang lebih tinggi lagi yaitu sebagai media untuk berkomunikasi antara diri sang penyair dengan Sang Khalik, dan dengan demikian sebuah sajak bahkan diperlakukan setara nilainya dengan doa atau zikir. Sebuah sajak yang baik dengan kandungan nilai-nilai estetis dan kebenaran universal tidak saja memiliki bobot yang sama nilainya dengan sebuah novel yang baik, lebih jauh lagi sajak tersebut dapat pula berperan menjadi jembatan yang efektif untuk menyelaraskan nalar atau logika sebagai produk pemikiran dengan perasaan sebagai produk dari hati. Barangkali betul bahwa energi yang diperlukan untuk menulis sebuah novel tidak sepadan dengan energi yang diperlukan untuk menulis sebuah sajak. Akan tetapi seorang penyair yang memiliki cukup visi dan misi tentu saja tidak akan berhenti setelah menulis sebuah sajak, ia akan berkonsentrasi untuk menyusun sebuah antologi.
Kepenyairan menurut saya bukanlah sebuah dunia yang eksklusif, semua orang bisa terlibat dan semua orang berhak untuk menjadi penyair asal mereka mau. Dan dengan demikian maka puisi bukanlah sekedar milik dari kalangan tertentu saja. Hanya dengan cara demikianlah maka sebuah tradisi akan terbentuk dan terpelihara, yaitu di mana semakin banyak orang yang merasa dekat dan terlibat dengan dunia yang menuntut kreativitas ini. Di mana orang dapat mencintai puisi dan mengekspresikan sajak-sajaknya dengan bebas, bahkan pada diri anak-anak sekalipun. Tak ada cara yang lebih baik agar puisi itu dicintai selain melalui upaya agar ia dapat berpijak di bumi dan akrab dengan keseharian kita, agar dengan leluasa setiap orang dapat bermain-main dengannya tanpa merasa kikuk atau terbeban. Sudah seharusnyalah puisi membawa kebebasan; kebebasan berekspresi, kebebasan berkreativitas, serta bebas memberikan nilai sebagaimana setiap insan bebas memberi makna pada setiap aspek kehidupannya masing-masing. Karena pada dasarnya setiap manusia bebas untuk terbang dengan sepasang sayap; terbang secara leluasa dengan segenap hati dan pikirannya.
Jakarta, 10 Maret 2006
Titon Rahmawan
Komentar
Posting Komentar