Langsung ke konten utama

Penyair



Masih tenggelam dalam huruf-huruf?
 
Tapi, hidupmu itu :
 
Puisi nyata
 
Yang harus kau fikirkan juga!
 
 
27072006

Komentar

  1. Dan........... bila begini cara berjalan .....leher kaku, kepala tegak kedepan..... tanpa salam , tak ada sapaan..... mana ada keakraban....... atau....... memang begini cara hidupnya penyair ..........acuh dan saling mencibir..? ........Bravo....puisi anda bagus sobat.

    BalasHapus
  2. singularitashati30 Juli 2006 pukul 15.29

    ada benarnya namun rasanya banyak tidaknya. berpuisi itu adalah berkontemplasi dengan atribut masing-masing, berpuisi juga adalah memetik intisari dari perenungan yang panjang. kotemplasi dalam hidup selalu diperlukan walau tidak selalu dalam bentuk puisi. hidup itu memang nyata namun juga bukan hanya tuk dipikirkan, hidup perlu dijalani dengan perbuatan-perbuatan yang juga harus selalu dipikirkan dan dipertimbangkah langkah2nya dengan perenungan tadi. berdoa dan berusaha, berdoa lagi dan berusaha lagi, doa lagi dan usaha lagi......dst

    BalasHapus
  3. Shafitri Diniarti31 Juli 2006 pukul 19.06

    sebenarnya tidak separah itu gambaranya :(
    mengapa anda bisa menafsirkannya seperti itu saudara Putra?
    begitu kan sifat masing2 individu, bukan penyair secara universal.
    banyak juga kok penyair yang ramah, dam peduli pada sesama :)
    benar seperti yang dikatakan singularitashati..ah susah amat sih namanya hehehe
    bahwa dalam hidup ini kita harus melakukan banyak perenungan ..jangan sampai kita terlepas dari ayat2 puisi yang nyata yang datang pada kita yaitu detik dan waktu yang tengan bergulir pada kita saat ini itulah hakekat puisi itu sendiri...(saya berusaha jujur pada puisi)

    salam ceria...

    BalasHapus
  4. sha, aku tak tenggelam dalam hurufhuruf kau hanya menghanyutkan hurufhuruf ke lautan kata.
    sedangkan hidupku lautan kata yang sedang menepi menjemput permaisuri

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007