kuhadiahkan puisiku bagi jiwa jiwa yang telah berpulang kealam tenang
ku haturkan pula kepada hati hati pedih yang teriris iris sedih
teristimewa puisiku ini ku persembahkan bagi pribadi pribadi berhati baja yang tetap tegar melangkah kemasa depan.
Si tua berhati baja.
Dijalan berdebu dan penuh liku
Diatas bentangan panjang kehidupannya
Lelaki tua itu , berjalan mengayun langkah
Walaupun tertatih tatih tak kudengar suara rintih
Walaupun bermandi peluh, tak kudengar dia mengeluh
Satu demi satu langkahnya melangkah maju
Setapak demi setapak Situa menambah jejak
Panjang sudah jalan yang telah dilaluinya
Banyak sudah beban yang harus dipikulnya
Tak terhingga derita yang menderanya
Badai topan bergantian menghadangnya
Dan kini.........
Di penggal akhir jalannya
Di senja sisa sisa hayatnya
Bencana masih saja menimpanya
Bumi bergoyang , tanah dipijak juga bergerak
Meruntuhkan bangunan rumah tempat berteduh
Menguburkan orang orang yang dicintanya.
Menghadirkan sunyi dikesepian hidupnya
Menciptakan kesebatangkaraan dirinya.
Dari bawah bangunan runtuh,
tersembul tubuh yang rapuh
Dari dalam tubuh yang rapuh
terpancar jiwa yang teguh
Sekejap Pak Tua terhenyak, lalu bangkit lagi dan tegak
Dalam kerentaan raga , tersimpan tekad membaja
Sepanjang nyawa didalam raga,pantang hati menjadi mati
Tak ada penolong pasti , selain dari diri sendiri.
Dia tak mau berhenti, dia tak mau menanti
Dia harus terus maju, tak mau membuang waktu
Pak tua itupun terus maju ,semangat tetap menggebu
Kadang langkahnya bergetar , tetapi dia tetap tegar
Walaupun bermandi peluh, tak kudengar dia mengeluh
Gempa bumi 5,9 richter besarnya
Atau bahkan Tsunami 20 meter tinggi gelombangnya
Bisa jadi membuat hidupnya semakin sepi
Tapi tak akan membuat langkahnya jadi terhenti
tekad situa sudah terpatri
hanya berhenti
ketika dia dijemput mati.
Putra Nusantara 20 Juli 2006
ku haturkan pula kepada hati hati pedih yang teriris iris sedih
teristimewa puisiku ini ku persembahkan bagi pribadi pribadi berhati baja yang tetap tegar melangkah kemasa depan.
Si tua berhati baja.
Dijalan berdebu dan penuh liku
Diatas bentangan panjang kehidupannya
Lelaki tua itu , berjalan mengayun langkah
Walaupun tertatih tatih tak kudengar suara rintih
Walaupun bermandi peluh, tak kudengar dia mengeluh
Satu demi satu langkahnya melangkah maju
Setapak demi setapak Situa menambah jejak
Panjang sudah jalan yang telah dilaluinya
Banyak sudah beban yang harus dipikulnya
Tak terhingga derita yang menderanya
Badai topan bergantian menghadangnya
Dan kini.........
Di penggal akhir jalannya
Di senja sisa sisa hayatnya
Bencana masih saja menimpanya
Bumi bergoyang , tanah dipijak juga bergerak
Meruntuhkan bangunan rumah tempat berteduh
Menguburkan orang orang yang dicintanya.
Menghadirkan sunyi dikesepian hidupnya
Menciptakan kesebatangkaraan dirinya.
Dari bawah bangunan runtuh,
tersembul tubuh yang rapuh
Dari dalam tubuh yang rapuh
terpancar jiwa yang teguh
Sekejap Pak Tua terhenyak, lalu bangkit lagi dan tegak
Dalam kerentaan raga , tersimpan tekad membaja
Sepanjang nyawa didalam raga,pantang hati menjadi mati
Tak ada penolong pasti , selain dari diri sendiri.
Dia tak mau berhenti, dia tak mau menanti
Dia harus terus maju, tak mau membuang waktu
Pak tua itupun terus maju ,semangat tetap menggebu
Kadang langkahnya bergetar , tetapi dia tetap tegar
Walaupun bermandi peluh, tak kudengar dia mengeluh
Gempa bumi 5,9 richter besarnya
Atau bahkan Tsunami 20 meter tinggi gelombangnya
Bisa jadi membuat hidupnya semakin sepi
Tapi tak akan membuat langkahnya jadi terhenti
tekad situa sudah terpatri
hanya berhenti
ketika dia dijemput mati.
Putra Nusantara 20 Juli 2006
panjang banget bah!
BalasHapustapi yang pasti bencana adalah ekpresi tuhan!!!