Langsung ke konten utama

Dari Balik Reruntuhan Gempa

kuhadiahkan puisiku bagi jiwa jiwa yang telah  berpulang kealam tenang
ku haturkan pula kepada hati hati pedih yang  teriris iris  sedih
teristimewa  puisiku ini ku persembahkan bagi pribadi pribadi berhati baja yang tetap tegar melangkah kemasa depan.

 


 
Si tua berhati baja.
Dijalan berdebu dan penuh liku
Diatas bentangan panjang  kehidupannya
Lelaki tua itu , berjalan mengayun langkah
Walaupun tertatih tatih tak kudengar suara rintih
Walaupun bermandi peluh, tak kudengar dia  mengeluh
 
Satu demi satu langkahnya melangkah maju
Setapak demi setapak Situa menambah jejak
 
Panjang sudah jalan yang telah dilaluinya
Banyak sudah beban yang harus dipikulnya
Tak terhingga derita yang menderanya
Badai topan bergantian menghadangnya
 
Dan kini.........
Di penggal akhir jalannya
Di senja sisa sisa hayatnya
Bencana masih saja menimpanya
Bumi bergoyang , tanah dipijak juga bergerak
 
Meruntuhkan bangunan rumah tempat berteduh
Menguburkan orang orang yang dicintanya.
Menghadirkan sunyi dikesepian hidupnya
Menciptakan kesebatangkaraan dirinya.
 
Dari bawah bangunan runtuh,
tersembul tubuh yang rapuh
Dari dalam tubuh yang rapuh
terpancar jiwa yang teguh
 
Sekejap Pak Tua terhenyak, lalu bangkit lagi dan tegak
Dalam kerentaan raga , tersimpan tekad membaja
Sepanjang nyawa didalam raga,pantang hati menjadi mati
Tak ada penolong pasti , selain dari diri sendiri.
 
Dia tak mau berhenti, dia tak mau menanti
Dia harus terus maju, tak mau membuang waktu
Pak tua itupun terus maju ,semangat tetap menggebu
Kadang langkahnya bergetar , tetapi dia tetap tegar
Walaupun bermandi peluh, tak kudengar dia  mengeluh
 
Gempa bumi 5,9 richter besarnya
Atau bahkan  Tsunami 20 meter tinggi  gelombangnya
Bisa jadi membuat hidupnya semakin sepi
Tapi tak akan membuat langkahnya  jadi terhenti
 
tekad situa sudah terpatri
hanya berhenti
ketika dia dijemput mati.
 
 

Putra Nusantara 20 Juli 2006
 
 


 

 

Komentar

  1. panjang banget bah!
    tapi yang pasti bencana adalah ekpresi tuhan!!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...