
Kini menjadi pemimpin Redaksi majalah Peduli (hanya beredar di kalangan Buruh Migran Indonesia di Hongkong), mengetuai paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, juga Komite Sastra Dewan kesenian Jawa Timur.
Kru puitika berkunjung di tempat kerjanya di gedung DKJT yang dulunya Musium Mpu Tantular di Surabaya. Di sela-sela kesibukannya, Bonari Nabonenar berkesempatan diwawancarai. Inilah petikannya.
Sejak kapan anda pertama kali mulai menulis puisi?
Kalau menulis puisi mungkin persisnya ketika saya SPG (Sekolah Pendidikan Guru Sore-Red) sekitar tahun 1980-81, tapi setelah itu berhenti lama tidak menulis menulis. Artinya ketika itu saya menulis sebagai tuntutan tugas guru bahasa Indonesia kemudian saya kirimkan ke majalah Siswa waktu itu. majalah Siswa itu miliknya Taman Siswa terbitnya di Yogyakarta tapi pada saat itu beredar di pasaran sampai ke Trenggalek. Kebetulan saya ikut membaca dan mengirimkan puisi dan kebetulan dimuat.
Jadi menulis puisi pertama kali dikarenakan tuntutan profesi?
Karena tugas mata pelajaran bahasa Indonesia. Karena saya senang membaca kemudian kan angan-angannya orang yang senang membaca itu kan bagaimana kalau saya bisa menulis. Tugas mengarang, menulis puisi sejak saya SD adalah tugas yang menyenangkan bagi saya.
Dari tahun 1980-an sampai dengan sekarang sudah hampir seperempat abad menulis puisi, cukup lama.
Ya, tapi saya penulis angin-anginan, kadang-kadang menulis. Cerpen misalnya, sudah hampir dua atau tiga tahun belakangan tidak menulis.
Darimana sumber inspirasi menulis puisi?
Puisi itu seperti nyanyian. Kalau mungkin Sapardi atau Budi Dharma, saya lupa, mengatakan puisi seperti catatan kecil atau kaki dari realitas yang kita lihat keseharian dimana ada angle-angle yang menarik yang membuat kita tergerak untuk menuliskan sesuatu yang mungkin menjadi kita sebut puisi.
Dan bicara masalah puisi sebenarnya saya tidak banyak menulis puisi berbahasa Indonesia. Dulu waktu di Karya Dharma ada beberapa. Puisi saya banyak berbahasa Jawa. Kalau cerpen saya banyak menulisnya dalam bahasa Indonesia walau ada juga yang berbahasa Jawa
Melihat rentang kepenulisan yang panjang 1980an - sekarang, ada perbedaan di awal menulis dan dengan sekarang?
Dengan 20 tahun yang lalu, saya cenderung menulis puisi liris. Sekarang saya justru ada semacam pencairan, ada dorongan untuk menulis puisi Jawa yang tidak begitu liris namun naratif.
Tema-tema yang diusung dalam puisi?
Tema-tema saya lebih banyak individual. Sebagian ada yang bertema sosial. Banyak yang menilai karya saya memiliki selera humor dan juga hal yang getir.
Bagaimana masa kecil anda dan peran orang tua?
Saya lahir di keluarga yang abangan. Buyut saya itu seniman. Saya beberapa kali mengambil ide mentah cerpen saya dari dia. Buyut saya itu seorang penari Reog Ponorogo. Dia yang memakai dadak. Sampai usianya relatif muda dikarenakan termakan oleh kesenian itu. Ada paman saya pemain ludruk kemudian kakek saya, seorang pengrawit yang disegani di Desa. Kalau soal tulis menulis, Ibu saya seorang guru SD yang memiliki bacaan cerita anak . Ketika kelas 4 SD saya sudah sempat membaca novel pendek berbahasa Jawa judulnya Seni Perawan Metro. Ini salah satu cerita yang memukau saya yang kemudian memperkuat angan-angan saya, bagaimana kalau saya menjadi penulis. Jadi suka membaca mendorong keinginan itu.
Anda cerpenis, novelis dan penyair. Mana yang menurut anda sulit untuk menyandangnya?
Sebetulnya sulit. Terlalu berat dan kadang membuat saya risih. Contohnya begini, kemaren-kemaren rambut saya gondrong jadi baru saja saya potong. Sebenarnya bukan karena sok seniman (rambut gondrong-red) akan tetapi cuma sekedar variasi. Kemudian orang menulis satu-dua cerpen disebut cerpenis , nggak juga. Saya lebih senang berkesenian dan menyandang gelar sastrawan itu berat.
Puisi anda yang terlacak di dunia maya berbahasa Jawa, apakah anda memang khusus menulis puisi Jawa?
Banyak faktor, karena bahasa ibu. Karya seni kan olah pikir olah rasa, saya memiliki keterpukauan, yang bila kita sebut sebagai alat, instrumen sebenarnya sangat kaya , pada tingkatan tertentu kita bisa mengatakan bahasa Jawa itu sangat puitis. Demikian juga jika orang Melayu yang mengatakan bahasa Melayu itu juga indah. bentuk aslinya saja bahasa jawa itu sudah indah.
Lebih lanjut lagi, anda dikenal sebagai sastrawan Jawa kemudian dipertegas dengan menjabat ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS). Apa yang ingin anda capai dari paguyuban tersebut?
Secara pribadi sebenarnya saat ini bukan eranya lagi mengeksplorasi, mengoptimalisasi pribadi kita melalui paguyuban secara total. Akan tetapi tidak bisa mengatakan membubarkan paguyuban tidak semudah itu karena memiliki nilai historis. Paguyuban ini memberikan penghargaan dan rasa hormat pada senior kita dan tanggung jawab meneruskan. Formatnya saja masih pertemuan dan diskusi. Tetap diperlukan kopi darat (pertemuan fisik-red). Saya lebih aktif di "sanggar", misalnya di milis dan lain-lain. Dengan adanya teknologi informasi sebenarnya kita masih tetap memerlukan paguyuban tadi yang memberikan nuansa berbeda , lain halnya jika bertemu di dunia maya. Kopi darat tadi memberikan kesan dan juga pendalaman yang berbeda.
Belakangan di media anda banyak berbicara prihal sastra etnik lalu bagaimana hubungannya dengan keakraban anda dengan sastra Jawa? Ada juga yang menyebutkan sastra Jawa di persimpangan, anda setuju?
Jadi begini, apabila kita menyebut sastra Jawa ada pada konteks intern, saya menulis sastra Jawa. Bila mengatakan satra Jawa ada di persimpangan sebenarnya harus dilihat konteksnya terlebih dahulu. akan tetapi jika ada pengabaian, iya. Seringkali saya katakan pada teman-teman wartawan, termasuk dalam tulisan, di era saat ini ada otonomi daerah kita tidak bisa menuntut serta merta, wilayah kebudayaan-kesenian menjadi tanggung jawab penguasa lokal tadi untuk mengembangkan potensi wilayah termasuk di dalamnya kesenian lokal, ada sastra etnik tadi. kalau di Jawa tentu sastra Jawa yang dalam hal ini ada semacam banyak paradoks, kebijakan pemerintah yang dinyatakan untuk melestarikan banyak yang kemudian bertolak belakang. Banyak proyek yang tidak berkesinambungan dan itu tidak dilakukan dengan konsep dan wawasan yang bagus maka hanya akan menjadi produk kebijakan yang instan. Misalnya Kongres Bahasa Jawa yang September akan dilaksanakan. Akan tetapi bagaimana dengan hasilnya? bahasa Jawa semakin terhimpit.
Kemudian dalam konteks yang lebih luas kita menyebut sastra etnik adalah sekumpulan sastra-sastra lokal. kalau di Jawa Timur ini ada Madura, Osing, dan lain-lain. Jawa sendiri ada bahasanya dan sastranya ada surboyoan yang salah satu wujudnya acara pojok kampung di JTV. karena itulah saya dan beberapa teman berusaha untuk menggagas sastra etnik di jawa Timur. Dalam skala intern kita berusaha membuat sastra jawa ke depan dan dalam skala yang lebih luas kita bicara sastra etnik.
Rumit sekali ya?
Dulu waktu orde baru, kebijakan terpusat untuk menjaga sastra lokal dengan menerbitkan buku-buku melalui Balai Pustaka. Sekarang dengan otonomi daerah wilayah pengembangan tadi menjadi tanggung jawab daerah. Di Jawa Timur sendiri belum melihat kepentingan menerbitkans astra lokal ini. beberapa teman penulis menerbitkan biaya sendiri, Mbak Trinil, Widodo Basuki dan lain-lain. itu yang kita harap kedepana da proyek kebudayaan daerah, paling tidak bisa membantu.
Posisi tawar menawar DKJT (Dewan kesenian Jawa Timur)?
DKJT mengurusi bahasa Indonesia. Kita hanya sekedar menstimulasi, tidak bisa mengakomodasi semuanya. Niatnya baik kita ingin menggelitik agar tidak stagnan.
Bagaimana generasi di bawah Bapak?
Ada, seperti Deny Tri Aryanti, W Haryanto, Indra Tjahyadi, Mashuri, ada banyak.
Ada mekanisme khusus untuk regenerasi?
Tidak ada, alamiah saja. Sebetulnya menjadi kekuatiran ada sesuatu yang patut disayangkan. kasusnya adalahnya, Jawa kana da Jawa Klasik dan Jawa Modern. anak-anak muda sekarang ada keterputusan dengan karya lama itu kurang intens. mereka tahu wayang sdikit saja. Betul-betu mengkaji itu beberapa saja. Mungkin dikatakan hanya sebagai barang museum. jadi begini kita sering melihat puisi-puisinya Darmanto Jatman tadinya berbahasa gado-gado itu lebih Jawa dibanding puisi berbahasa jawa tapi isinya modern.
Pertanyaannya. Sastra ini kan sangat tergantung dengan media cetak. Walau Sudah ada media cyber, media cetak tetap menjadi titik penting. kalau suatu ketika media yang memuat karya sastra Jawa itu itu tidak terbit lagi maka mungkin akan menjadi sastra Madura.
Kita juga tidak mendapatkan penghargaan dari pemerintah untuk membina sanggar-sanggar. Balai bahasa misalnya berkepentingan untuk penelitian saja. Ini juga menjadi hambatan kita seringkali terbentu dengan dana. Dan saya takjub sekali dimana sebuah sanggar dimana diadakan selamatan di sebuah hotel, Menteri bisa datang. kalau di sini Walikota bisa datang sulit sekali.
Nama anda cukup unik, ada kisah dibaliknya?
Saya nggak tahu artinya apa. Di desa saya setidaknya ada lima orang yang bernama Bonari seangkatan saya. Untuk membedakan satu dengan yang lain maka Ibu saya memberi saya julukan Bonari gebleng karena telinga saya nggak bagus. Ada lagi Bonari Gabag dan lain lainnya. Biar berbeda dengan Bonari lainnya, ketika saya menulis saya tambahkan Nabonenar.
Penyair kesayangan?
Saya itu tidak fanatik pada satu aliran. Saya sangat senang membaca puisi-puisinya Darmanto Djatman, Goenawan Muhammad, Subagyo Sastrowardoyo saya bisa menikmatinya. Saya menyukai puisi-puisi Rendra siapapun saya nikmati. Ada pengarang juga yang saya sangat kagumi yang karya-karyanya monoton dan mengulang tema yang sama, Iwan Simatupang. Cerpen-cerpen Muhammad Ali, H. Rangkuti dan lain-lain.
Apa arti penting keluarga dalam karir tulis menulis?
Kebetulan istri saya bukan kutu buku , kalau saya menulis dalam bahasa Jawa dia membahasnya karena dulu orangtuanya berlangganan majalah Jawa. tapi sekarang kalau menulis dimana tidak begitu diperhatikan. Jadi dia asik dengan dunianya saya pun begitu.
Anda aktif di DKJT. Bagaimana peta kepenyairan di Jawa Timur?
Ada nama-nama potensial seperti Indra Tjahyadi, Mardi Luhung, W Haryanto . Sebenarnya tidak cuma di wilayah sastra tapi kesenian secara umum tidak bisa menyodok ke permukaan. Ada potensi, yang anehnya Jawa Timur itu apa salah kemasannya atau medianya. kalau kita bilang dalam seni paling elit pun ada yang namanya promosi. Misalnya Kartolo, tidak ada yang intens melihatnya di publik Surabaya tapi Romo Sindhu melihatnya berbeda.
Kantong Sastra Jawa Timur masih di Surabaya?
Kalau saya melihat ada Sumenep, Lamongan, dan Ngawi. Saya melihat pesantren-pesantren di Sumenep, ada Jambore sastra tiap tahun. Di lamongan ada Herry Lamongan. Mereka orang-orang yang layak mendapatkan award. dia berkarir tidak untuk dia sendiri untuk tumbuhnya bibit-bibit baru. itulah kesuksesan virus cinta Herry Lamongan menularkan kecintaan menulis pada masyarakat.
Kalau punya kesempatan berkeliling dunia tempat pertama kali yang ingin anda kunjungi dan mengapa?
Saya ingin ke Suriname. Ada keinginan untuk mengetahui masyarakat Suriname sesungguhnya seperti apa. Ada penasaran yang besar.
Rencana ke depan?
Ingin membukukan tulisan. Misalnya perjalanan ke Hongkong bersama Kuswinarto itu. Saya ingin membukukannya walaupun secara sederhana.
Pengalaman berkesan membaca puisi dan dimana?
Saya bukan pembaca puisi yang baik. Mungkin sekali diberi tepuk tangan waktu membaca di taman Budaya Cak Durasim. Saya membaca puisi Tragedi Bangsa Pemabuk. Pesan yang saya sampaikan saya tidak menunjukkan kesalahan bahwa dalam puisi saya katakan ketika Tuhan memanggil beberapa jiwa dengan cara yang menurut kita begitu mengangetkannya dan membuat kita terisak, sebenarnya tangan-tangan kita sendiri yang menyebabkannya. Dan kita menjadi bangga ketika menguasainya.
Puisi bagi Bonari Nabonenar?
Saya tidak punya kata-kata sendiri. Akan tetapi saya cenderung menyitir yang samar-samar saya ingat. Semacam catatan kaki, hidup ini akan lain rasanya tanpa itu. Catatan kaki bagi kehidupan ini.
Terima kasih banyak atas perbincangannya.
Sama-sama.
salam kenal, saya Budhi Setyawan. pegawai negeri Departemen Keuangan di Jakarta. sedang belajar menulis puisi. saya salut kepada yang masih terus semangat berkarya. konsistensi dan semangat itu adalah hal yang sangat penting. mohon saran2 untuk berkualitasnya hasil tulisan.
BalasHapusTerima kasih,
Budhi S
08158030529
maksudnya tuh, Rie cinta banget ma majalah Peduli. Ya maklum aja, Rie khan berada di negara dimana majalah itu diterbitkan. Hongkong gitu loh, jelasnya ya mbabu disana. Salut deh ama Pak Bonari, kalo ke Hongkong kase tau ya Pak, sukur2 kalo bisa ngadain seminar gituh buat bagi2 ilmunya.
BalasHapusSaya seorang guru di kab Mojokerto yang berasal dari Trenggalek. Dulu di Trenggalek orang tua saya berlanggan majalah PS dan Jaya Baya. Tapi sekarang saya kesulitan menemukan kedua majalah itu di Mojo kerto .
BalasHapus