Sih, lama tak kudengar suaramu,
batinku diguncang renjana.
Ada gempa mengamuk di luar sana,
serupa deru Merapi yang meningkah
luruhan magma. Dan kini,
senyap mengalir bersama masa
gulir nyeri berlalu begitu saja,
melibas Bantul, Klaten, Yogya.
Tapi aku akan terus menunggu,
walau tak ada gending mengalun ke alamatku
walau masih kudengar teriakan bocah
yang kian keras membuncah
menggempur tebing-tebing gelisahku.
Menyisakan galau yang teramat dalam.
Setelah gempa ini, entah masih berapa
lama lagi kuharus menanti,
sedang semua harap seakan pupus
bersama kelam yang terlanjur luruh.
Sih, langitku makin kelam dan mengenangmu hanya akan
membuatku menangis, walau masih terus kucoba menepis
mimpi buruk ini; tanganmu yang tak hentinya menggapai,
di balik reruntuhan puing-puing. Ragamu yang terperangkap
bongkah-bongkah batu dan timbunan atap, bersama ribuan mayat
terlantar menghisap tubuhmu jauh ke dasar. Nyeri ingatan
yang kian larut dalam dukaku. Demi cintaku padamu, Sih
kuingin merengkuh tubuhmu, walau untuk penghabisan kali
dan kita sempurnakan kisah percintaan kita
dengan sepotong tembang, walaupun kutahu mungkin kau tak
akan pernah lagi menyanyikannya.
*
Titon Rahmawan, Sarjana Teknik Arsitektur lahir di Magetan pada tahun 1969, beberapa karya dapat ditemui di situs Cybersastra.net dan beberapa milis-milis sastra baik dalam bentuk puisi maupun esai. Beberapa karyanya tergabung di dalam antologi bersama “Dian Sastro For President #2 Reloaded” (ON/OFF, AKY 2004) dan “Sastra Pembebasan” (Yayasan Damar Warga, 2004) . Puisinya menjadi pemenang Puisi Bulan Ini versi Puitika.net edisi Maret 2006. Saat ini masih bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan property di Jakarta.
Puisi Nominasi Sayembara Puisi Puitika Edisi Mei 2006
Dengan Tema " Kematian dan Penderitaan"
Komentar Dukungan
Tak ada kata lain selain menyentuh, dalam gaya penulisan yang sedemikian
tenang dan bahkan lembut namun justru menyiratkan gejolak perasaan yang
sedemikian dalam. Guratan kepedihan itu justru semakin dalam terasa
mengaduk-aduk perasaan.
Bravo,
"Siu Ling "<austpacprd_jakarta@hotmail.com>
________________________________________
Wah merinding saya baca sajak ini, sungguh entah mengapa sajak ini sepertinya mampu mewakili kepedihan saya dan barangkali juga banyak dari mereka yang sampai sejauh ini tak tahu bagaimana nasib dari saudara-saudara kita yang terlantar di luar sana akibat bencana yang terus-menerus menghantam negeri kita.
"Diah Ajeng" <diah.ajeng@yahoo.com>
__________________________________
Penderitaan dan kematian adalah tema yang sangat akrab, sayang tak banyak sajak yang cukup berhasil menggambarkan kedahsyatan tema ini dengan baik. Saya kira sedikit berbeda dengan tema sebelumnya hanya ada dua nominasi yang mungkin akan bersaing cukup ketat dalam ajang pilihan puisi terbaik bulan Mei ini, dan salah satunya adalah puisi ini. Mengapa? yah karena hanya puisi inilah yang menurut saya mampu menggambarkan penderitaan dan beban kematian itu dengan cara yang sedemikian puitis dan sekaligus menyentuh. Seakan kita dibawa pada gejolak perasaan sang aku lirik yang demikian terharu biru oleh beban ketidaktahuannya atas nasib gadis yang ia cintai, diantara batas keraguan dan juga kegalauan yang demikian menghentak. Secara utuh inilah puisi yang paling berhasil menggambarkan beban penderitaan dan kematian itu dengan gaya penulisan yang sangat unik dan menurut saya cukup orisinal.
"arman kelana" <arman.kelana@yahoo.com>
_______________________________________
Sekali lagi sebuah puisi yang telah berhasil menggambarkan
imaji penderitaan dan kematian dengan cara yang sangat puitis dan sekaligus
menyentuh perasaan. Melalui penggambaran yang sedemikian lembut dan sekaligus kental dengan idiom-idiom lokal yang terdengar demikian akrab di telinga seperti tembang, gending, dan detail-detail perasaan yang sambung menyambung dengan
peristiwa-peristiwa yang paling aktual di seputar peristiwa meletusnya Gunung
Merapi, dan gempa yang melanda Bantul, Klaten dan Yogya.
Kelebihan lain dari puisi ini adalah dalam strukturnya yang seakan mengajak
berdialog namun di balik itu terungkap adanya kegelisahan dan kegalauan hati yang
sedemikian kuatnya yang justru mampu menyentuh kesadaran kita yang paling dalam. Puisi ini secara ekspresif mampu mewakili gejolak perasaan kita dan sekaligus
mengusik dan mengundang empati yang demikian besar lewat ungkapan:
Demi cintaku padamu, Sih
kuingin merengkuh tubuhmu, walau untuk penghabisan kali
dan kita sempurnakan kisah percintaan kita
dengan sepotong tembang, walaupun kutahu mungkin kau tak
akan pernah lagi menyanyikannya.
dan betapa sesungguhnya kita tak mampu meretas segala permasalah berat yang
membebani bangsa ini sendiri saja...
rugard exo" <rugard_exo@yahoo.co.id>
__________________________________
tenang dan bahkan lembut namun justru menyiratkan gejolak perasaan yang
sedemikian dalam. Guratan kepedihan itu justru semakin dalam terasa
mengaduk-aduk perasaan.
Bravo,
"Siu Ling "<austpacprd_jakarta@hotmail.com>
________________________________________
Wah merinding saya baca sajak ini, sungguh entah mengapa sajak ini sepertinya mampu mewakili kepedihan saya dan barangkali juga banyak dari mereka yang sampai sejauh ini tak tahu bagaimana nasib dari saudara-saudara kita yang terlantar di luar sana akibat bencana yang terus-menerus menghantam negeri kita.
"Diah Ajeng" <diah.ajeng@yahoo.com>
__________________________________
Penderitaan dan kematian adalah tema yang sangat akrab, sayang tak banyak sajak yang cukup berhasil menggambarkan kedahsyatan tema ini dengan baik. Saya kira sedikit berbeda dengan tema sebelumnya hanya ada dua nominasi yang mungkin akan bersaing cukup ketat dalam ajang pilihan puisi terbaik bulan Mei ini, dan salah satunya adalah puisi ini. Mengapa? yah karena hanya puisi inilah yang menurut saya mampu menggambarkan penderitaan dan beban kematian itu dengan cara yang sedemikian puitis dan sekaligus menyentuh. Seakan kita dibawa pada gejolak perasaan sang aku lirik yang demikian terharu biru oleh beban ketidaktahuannya atas nasib gadis yang ia cintai, diantara batas keraguan dan juga kegalauan yang demikian menghentak. Secara utuh inilah puisi yang paling berhasil menggambarkan beban penderitaan dan kematian itu dengan gaya penulisan yang sangat unik dan menurut saya cukup orisinal.
"arman kelana" <arman.kelana@yahoo.com>
_______________________________________
Sekali lagi sebuah puisi yang telah berhasil menggambarkan
imaji penderitaan dan kematian dengan cara yang sangat puitis dan sekaligus
menyentuh perasaan. Melalui penggambaran yang sedemikian lembut dan sekaligus kental dengan idiom-idiom lokal yang terdengar demikian akrab di telinga seperti tembang, gending, dan detail-detail perasaan yang sambung menyambung dengan
peristiwa-peristiwa yang paling aktual di seputar peristiwa meletusnya Gunung
Merapi, dan gempa yang melanda Bantul, Klaten dan Yogya.
Kelebihan lain dari puisi ini adalah dalam strukturnya yang seakan mengajak
berdialog namun di balik itu terungkap adanya kegelisahan dan kegalauan hati yang
sedemikian kuatnya yang justru mampu menyentuh kesadaran kita yang paling dalam. Puisi ini secara ekspresif mampu mewakili gejolak perasaan kita dan sekaligus
mengusik dan mengundang empati yang demikian besar lewat ungkapan:
Demi cintaku padamu, Sih
kuingin merengkuh tubuhmu, walau untuk penghabisan kali
dan kita sempurnakan kisah percintaan kita
dengan sepotong tembang, walaupun kutahu mungkin kau tak
akan pernah lagi menyanyikannya.
dan betapa sesungguhnya kita tak mampu meretas segala permasalah berat yang
membebani bangsa ini sendiri saja...
rugard exo" <rugard_exo@yahoo.co.id>
__________________________________
Komentar
Posting Komentar