Langsung ke konten utama

Tanah Pekuburan


      Kafan kafan basah
      Belatung dan cacing tanah
      Dan pepohonan tanpa buah
      Diantara patok rumah-rumah
      
      Berdiriku tegak masih separuh
      Terisak yang tak sempat jatuh
      
      Pada pintu yang berderit
      Batin ini pasrah menjerit
      
      Aku rindu kalian semua
      
 



*
Moeraindra lahir August 8th 1983, di Surabaya. Moeraindra - nama pena untuk Adli Muraindra Rahmanto -, mulai mengenal sastra sejak duduk di bangku SMP, namun kegemaran menulis puisi hanya dituangkannya dalam catatan-catatan yang tidak diarsipkan.   Sejak masuk bangku kuliah dan mengenal situs-situs sastra,  moeraindra  ikut aktif dalam sejumlah diskusi yang digelar. Tanpa  ada background pendidikan mengenai sastra tidak menyurutkan dirinya  untuk ikut berkarya dan mencoba mengkritisi karya-karya lain.   Beberapa karyanya tersebar di sejumlah milis dan situs seperti halnya  cybersastra.net ; milis Apresiasi Sastra ; milis Forumdiskusinya_fordis  dan juga termuat dalam blognya moeraindra.blogspot.com   Kini sastra bukan hanya hobi sampingan baginya. Sastra sudah menjadi  bagian dari jalan hidupnya untuk menapaki masa depan. Dengan beberapa  rekan yang kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember sedang  menyusun sejumlah naskah yang akan segera diterbitkan dalam bentuk buku.  Moeraindra juga dikenal karena konsistensiannya mengusung sastra-cyber hingga dapat diakui di dunia kepenyairan.



Puisi Nominasi Sayembara Puisi Puitika Edisi Mei 2006
Dengan Tema " Kematian dan Penderitaan"


Tanpa Komentar Dukungan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007