Langsung ke konten utama

Sore Pastorale


 
Sepanjang jarak jari-jari lembut udara mengusap muka
Ombak hijau yang bergoyang mirip selendang hujan penari
Dan sepertinya ada yang sedang bernyanyi
Dihembuskan nafas hidung udara.
 
Dingin yang menggigil telah dihisap cahaya
Lidah-lidah matahari yang bercecambah.
 
Sisa hujan, gigil rumput, hanyut daun di tubuh arus
Menciumi harum keringat asam sulfat
Lendir hidung udara, sama demamnya dengan tanah basah.
 
Matahari menungguku di ujung jalan
Dijagai lembing dan belukar ladang.
 
Di bibir padang jagung
Rindu menitip jalan setapak
Mencari raut, menerangi pandang membusung
Hampir meledakkan gelembung katak.
 
Sesuatu mirip desa mengintai kedatanganku
Tak ada siapa-siapa
Mungkin saja seekor serigala sedang menunggu
Mangsa yang tersesat.
 
Di tubuh sungai telanjang yang terlentang
Perempuan-perempuan memamerkan tetek pepaya mereka
Dan rambut bagai tenunan diurai.
 
Sang gelap samar-samar dan amat pelan
Mulai menampakkan lebar dadanya,
 
Tampaknya ia tengah mengawasi seorang bocah
Dengan kerbaunya, dan ia berhenti sejenak
Melihat si belia menggiring angsa bapaknya.
 
Di rimbun lembing dan rumput yang berderik
Kadal, ular, dan sejenis melata mulai menetapkan
Batas-batas penginapan
Bersama jangkrik-jangkrik,
 
Sepertinya mereka hendak menyelenggarakan
Pementasan orkes si kumbang hutan
Dan lengkingan sopran ngengat ladang.
 
Sore merebahkan punggungnya di pipi laut
Dengan selimut hijau
Yang menutupi kakinya
Memandang malam yang sebentar lagi mendarat
Di dadanya.
 
Mungkin di tanah ini
Daun dan angin adalah kekasih setia
Amat peduli pada hidup
Dan kemalangan.
 
Air yang berdesakan ke pintu waduk
Mungkin rindu lumpur
Dan tubuh perempuan berhanduk
Dengan kristal bening mengguyur.
 
Seorang bapak melempar jalanya
Hanya mengangkat kaleng berlumut
Dan ranting berkarat,
 
Rasanya aku mendengar gumam hatinya:
Sebentar lagi anakku pulang
Lebih baik aku berterus-terang
Ikanku kembali dijarah tangan
Sang sungai yang mengkilat.
 
Sekarang langit masuk ke mata
Dan matahari masuk ke liangnya
Aku lihat juga orang-orang
Ditelan gelap desa.
 
2006

 

Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten 1 Januari 1978. Antologi puisinya berjudul Mazmur Musim Sunyi (Songsong Budaya, Juli 2005). Selain menulis puisi, saat ini aktif sebagai penggiat Jaringan Intelektual Mahasiswa dan Masyarakat Serang (JIMMS) di Serang, Banten, dan periset di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...